Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
401
Penayangan
5
Bab

(21+ CERITA INI MENGANDUNG UNSUR DEWASA, MOHON BIJAK DALAM MEMILIH DAN MEMBACA, PASTIKAN ANDA SUDAH DEWASA DAN TAU RESIKONYA) Berisi kumpulan kisah nyata tentang pengalaman para akhwat di dunia lendir yang diceritakan langsung oleh narasumber/reader author.

Bab 1 IMPIANKU YANG MENJADI NYATA PART 01

"Syukron ana sampaikan untuk Widasu yang telah mau bekerjasama dan meluangkan waktu untuk merealisasikan penulisan kisah sesuai yang saya mau. Sudah beberapa bulan ini saya membaca karya - karya Widasu dan berkeinginan untuk berbagi pengalaman, Dan juga catatan untuk para pembaca, ana tidak bermaksud menjelekkan salah satu pergerakan Islam. Ana hanyalah 'oknum', dan cerita ini ana publish melalui persetujuan antara ana dan Widasu hanya sebagai hiburan semata. Dan juga dalam penulisan, ana dan Widasu setuju untuk adanya penyuntingan disesuaikan dengan gaya penulisan Widasu.

Dan sebagai penutup, ana harap para pembaca untuk bijak dan tidak menyalahkan pergerakan Islam yang ana ikuti"

"Mas Miguel, ayok sini... abi udah mau berangkat... salaman dulu cepet...", kata istriku pagi itu yang mengenakan jilbab, abaya, dan cadar hitam.

"Dah yah, abi berangkat dulu... mas Miguel jaga dek Embun yang baik, dijaga sholatnya, jangan bikin repot umi, sekolah juga yang baik jangan malas - malasan", kataku sambil mengusap kepala Miguel, anakku yang pertama.

"Abi... Abi... besok kalau pulang bawa hadiah yaa... kata Umi, abi mau beliin hadiah kalau pulang...", kata Miguel sambil menarik - narik jubah yang kupakai.

"Umi bilang gitu yaa?? Inshaa Allah... tapi mas Miguel juga minta sama Allah yang banyak ya...", jawabku sambil menatap sedikit kesal pada istriku.

"Ehh, mas Miguel... coba dek Embun di dilihat sana, siapa tau udah bangun...", ujar istriku sambil menunjuk ke arah kamar.

"Yaa umi...", jawab Miguel yang segera berlari menuju kamar tempat adiknya tidur.

"Hemm... Hemm... gitu yaa... malah diajarin minta hadiah gitu yaa...??", kataku sambil merangkul pinggang istriku, Fadiyah.

"Ahh... ahahah... biar abi gak lupa sama Miguel... Jangan lupa umi juga dibawain hadiah yaa...", jawab istriku mesra seraya kedua tangannya yang putih itu merapikan kerah rompi yang kupakai.

"Mau hadiah yang gimana sih? Yang ini yaa??", jawabku sambil menarik tangan kirinya ke selakanganku.

"Eehh... Kalau yang ini sih wajib 'ain hukumnya...", jawab istriku menggodaku dengan mata lentiknya sembari tangannya meremas - remas batangku.

"Ahahah... cium dulu lah mii... ", kataku sambil memagut bibir istriku yang tertutup cadar tali hitam.

"Mmmhh... sshh... udah bi, ga enak kalau dilihat tetangga", kata istriku sambil mendorongku perlahan.

"Yaah... dasar umi... belum berangkat aja udah bikin kangen...", kataku sambil mencium dahinya.

"Iya abi sayang, awas telat ntar... hati - hati di jalan, jangan lupa do'a dulu", pesan istriku sambil melambaikan tangannya melepas keberangkatanku.

Ohh iya, perkenalkan namaku Suganda. Saat ini aku berumur 37 tahun. Aku dan istriku sudah cukup lama tinggal di Jogjakarta. Pagi ini memang sudah jadwalku untuk berangkat dakwah keliling sebagai agenda tahunan. Alhamdulillah, karena Allah perkenalkan aku dengan teman - teman yang baik dan sering ke masjid, aku pun dipertemukan dengan jamaah dakwah ini.

Sebenarnya aku berasal dari keluarga islam, namun yaa hanya islam saja bahkan sholat pun hanya sholat Jum'at saja. Hampir tidak pernah bagiku menjalankan yang namanya sholat fardhu, apalagi pergi ke masjid. Setiap Jum'at aku memaksa diri untuk ke masjid hanya karena malas saja kalau nantinya dibilang kafir oleh teman - teman, bukan karena kesadaran akan wajibnya sholat Jum'at.

Kedua orangtua ku pun tak pernah peduli dengan ibadahku. Keduanya sibuk bekerja dan selalu pulang malam. Bahkan terkadang di rumah, teman - teman ayahku sering berkumpul untuk minum - minum bersama. Qodarullah saat aku berumur 28 tahun, ayahku meninggal dunia karena kecelakaan. Semasa hidupnya ibu sering menegurnya untuk berhenti minum - minum, tapi yang ada ayahku malah memarahinya. Namun alhamdulilah kini ibuku sudah berubah. Setelah mengetahui perubahan pada diriku yang terlihat mulai lebih ta'at, ibu pun berubah dan mulai mau sholat. Sekarang Alhamdulillah sudah mulai istiqomah berjilbab.

Setiap tahun, aku selalu meluangkan waktu setidaknya 40 hari untuk pergi berdakwah. Setiap kali aku berangkat pasti aku selalu menjumpai ibuku lebih dulu untuk pamitan dan berpesan untuk selalu menjaga sholatnya. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak aku berumur 31 tahun. Saat itu pernikahanku dengan istriku, Ukhti Fadiyah, baru berumur kurang dari 1 tahun. Aku pun mengenal istriku karena dikenalkan oleh teman. Kami sempat berpacaran selama sekitar 5 bulanan. Meskipun aku berasal dari keluarga yang tidak mengenal agama, namun Allah masih jaga diriku dari seks di luar nikah dan Alhamdulillah berkat dari keberkahan hijrahku, sekarang istriku sudah mulai bercadar.

Jam 10 pagi adalah jadwal pembekalan keberangkatan ku bersama jama'ah yang akan dikirim ke Semarang selama masa 40 hari. Karena masih dalam masa pandemi, maka jumlah maksimal anggota dalam jama'ah hanya 6 orang saja. Saat itu hanya aku sendiri anggota jama'ah yang paling muda. Rata - rata anggota jama'ah yang lain sudah berumur di atas 45 tahunan. Memang ini bukanlah kali pertama aku menjalani kegiatan dakwah keliling selama 40 hari seperti ini, tapi rute dakwah ke Semarang adalah yang pertama bagiku. Setelah bermusyawarah, tanggal 10 Agustus 2020 jam 02.00 pagi kami memutuskan untuk memulai keberangkatan. Hal ini ditujukan untuk menghindari razia tim covid selama perjalanan.

"Mam... gimana semalem? Lancar toh 'setoran' sama istri?", tanya Pak Khairul menggodaku karena aku yang paling muda.

"Awas ojo kakean, mengko encok malah ora sido mangkat (Awas jangan kebanyakan, nanti encok malah gak jadi berangkat)", timpal Pak Sunandar yang sama - sama mengerjaiku.

"Waduh... kalau sampai encok malah enak dong pak di rumah teruss... hahah...", jawabku santai.

Pak Khairul dan Pak Sunandar sudah berumur di atas 40 tahun. Di umur mereka yang sudah hampir separuh abad itu, mereka sudah pernah berdakwah hingga ke luar negeri berkali - kali. Aku pun menganggap keduanya sebagai guruku dalam jama'ah ini karena pengalaman mereka.

"Kalau istri mas sekarang umur berapa mas Suganda?", tanya pak Mukhamad yang merupakan amir (pimpinan) jama'ah kami.

"Kalau sekarang umur 27 tahun Mir (panggilan untuk Amir jama'ah)", jawabku.

"Lhaa, kalau mas Suganda sendiri umur berapa sekarang??", tanya pak Mukhamad penasaran.

"Wah... kalau saya umur 37 tahun Mir...", jawabku.

"Mmm... berarti 10 tahun yaa?? Bisa dapet yang kepaut 10 tahun gitu gimana caranya?? Pantes aja mesam - mesem gitu... ahahahah... masih kesat sih yaa", goda pak Mukhamad yang duduk di samping supir.

Kalau diingat - ingat, dulu kenapa aku bisa bertemu dengan istriku yang sekarang pun aku setengah tidak percaya. Jujur saja saat itu umurku dianggap cukup tua bagi teman - teman sebayaku yang sudah menikah lebih dulu. Kebanyakan teman - temanku yang ahli masjid sudah menikah maksimal di umur 25 tahun, sedangkan aku yang berumur 29 tahun belum juga menikah.

"Mam, tekan kapan kowe meh jomblo? Opo ora pengen wedokan meneh awakmu? (Mam, sampai kapan kamu mau jomblo? Apa ga doyan perempuan lagi dirimu?)", tanya Tsani yang merupakan temanku kajian di masjid.

"Yo pengenlah Tsani... sopo jal sing ora pengen?? Tur opo ono sing gelem karo awakku? (Yaa mau lah Tsani... Siapa coba yang gak pengen? Tapi apa ada yang mau sama aku?)", Tanyaku pesimis pada Tsani.

"Kan durung tau njajal to kowe? Kae nek gelem karo si Fadwa wae lumayan... Jilbab'e yo wes gede, ayu, putih, aktif melu ngaji... (Kan belum pernah nyoba toh kamu? Itu kalo mau sama si Fadwa aja lumayan... Jilbabnya juga udah besar, cantik, putih, aktif ikut ngaji)", Kata Tsani sambil menepuk punggungku.

Sesaat setelah Tsani berkata begitu, Ukhti Fadwa dan Ukhti Fadwah baru saja selesai beres - beres ruang sholat putri masjid. Memang malam itu jadwal kajian rutin masjid di sekitar tempat kos ku.

"Assalamu'alaykum akhi Suganda... afwan tolong minggu depan ngabari Ustad Surya untuk mulai kajian ba'da maghrib ya, soalnya pas banget sama jadwal kita ujian paginya...", pinta Ukhti Fadwa yang mengenakan jilbab jumbo warna cream cerah dengan abaya hitam panjang.

"Oohh... Inshaa Allah ukhti... kalau bisa sehari sebelumnya ana tolong diingatkan, WA juga boleh...", Jawabku dengan sedikit menggoda Ukhti Fadwa.

"Inshaa Allah ana ingatkan... Assalamu'alaykum...", jawab Ukhti Fadwa sambil berlalu pergi.

"Ciee... lagi wae diomongke langsung praktek yaakk... jaann tenan... nek dudu Suganda rak mungkin wes... (Ciee... baru saja diomongin langsung praktek yaa... emang bener... kalo bukan Suganda gak mungkin lah)" sorak Tsani sambil memukuli punggungku.

"Woy!! Loro!! Tapi aku rak wani nek kon nembung... ayu banget jhe... gek solehah ngono... (Woy!! Sakit!! Tapi aku gak berani kalau di suruh ngomong... cantik banget sih... solehah juga gitu...)", sahutku pesimis.

"Halah... jajal sek wae... kan jodo rak eneng sing ngerti... haha (Halah... coba dulu aja... kan jodoh ga ada yang tau... haha)", ujar Tsani menyemangati ku.

Memang hampir semua teman - teman masjid yang juga anak kos - kosan sering menyarankan aku untuk mencoba melamar ukhti Fadwa. Namun karena rasa minder yang berlebihan, akhirnya 3 bulan kemudian ukhti Fadwa dinikahi oleh ikhwan lainnya. Saat itu rasa menyesal yang amat sangat mendera diriku karena tak mencoba mengambil kesempatan untuk menanyakan pada ukhti Fadwa tentang menikah denganku.

"Naahh... gelo rak kowe?? Kesuwen sihh... (Naahh... kecewa gak kamu?? Kelamaan sih...)", Ujar Tsani dengan nada kesal padaku.

"Iyo jhe... Ahh tapi jodo ki wes dhewe - dhewe... (Iya sih... Ahh tapi jodoh juga udah sendiri - sendiri...)", jawabku sebagai pembenaran diriku.

"Heleh... ngeles wae... ngomong wae nek loro ati (Heleh... alasan aja... ngomong aja kalau sakit hati)", balas Tsani dengan nada mengejek.

Hari itu kita diundang untuk hadir dalam acara pernikahan ukhti Fadwa. Karena kita sering ikut dan mengurusi kajian di masjid yang sama, sungkan kalau tidak menghadiri undangannya, meski sebenarnya hadir dalam acara itu cukup menyiksaku. Tapi sesaat kemudian terlihat seorang akhwat lain yang menarik perhatianku. Ia terlihat begitu akrab dengan Ukhti Fadwa dan yang lainnya. Meski tak secantik Ukhti Fadwa, namun manis senyumnya dan indah matanya menghujam kuat ke hatiku.

"Heh Tsani... sopo kae?? Sing nganggo jilbab pink... (Heh Tsani... siapa itu? Yang pake jilbab pink...)", tanyaku pada Tsani.

"Hem? Sing ndi?? Kae sing lagi ngobrol karo Fahimah? Iku jenenge Fadiyah... orak kenal kowe?? (Hem... yang mana?? Itu yang baru ngobrol sama Fahimah? Itu namanya Fadiyah... gak kenal kamu??)", jawab Tsani sambil menikmati jamuan prasmanan.

"Orak ki... anyar po? Kok aku ora ngerti? (Nggak tuh... Baru kah? Kok aku gak tau?)", tanyaku heran.

"Woo... kelingan aku. Wong'e pernah melu kajian sih, tapi bar kuwi pas awakmu gabung, dewek'e lagi pulkam... (Woo... ingat aku. Orangnya pernah ikut kajian sih, tapi abis itu pas kamu gabung, dia nya lagi pulkam...)", jelas Tsani yang masih asik dengan makanannya.

Singkat cerita mulailah aku berusaha untuk mengenal ukhti Fadiyah dan mendapati nomor WhatsApp nya dari grup kajian di masjid dekat kos.

"Assalamu'alaykum... benar dengan Ukhti Fadiyah?", tanyaku memulai chat WA.

"Wa'alaykumsalam... benar, dengan siapa ya?", tanya Ukhti Fadiyah.

"Afwan, ana Suganda. Benar kalau ukhti yang tadi pagi pakai jilbab pink saat walimahannya ukhti Fadwa ya??", tanyaku.

"Iyaa benar.... Ohh, kak Suganda... afwan ana ga tau...", jawab ukhti Fadiyah.

"Ana cuma penasaran aja kok baru keliatan lagi kemana aja?", tanyaku modus.

"Iya kak afwan, soalnya kemarin ortu sakit, jadi ana balik dulu buat ngerawat ortu...", balas ukhti Fadiyah.

Dan begitulah seterusnya aku pendekatan pada Ukhti Fadiyah. Mulai dari sekedar basa - basi tanya tentang hal - hal yang tidak penting, urusan kajian, dll. Apapun yang bisa ditanyakan pasti aku chat Ukhti Fadiyah. Hingga tak terasa 2 bulan sudah berjalan sejak dari yang awalnya chat WA sekedar seperlunya, kini terkadang Ukhti Fadiyah yang nge - chat aku lebih dulu. Entah apa yang terjadi, namun aku mulai merasa sayang meski tak pernah berbicara ia intens berdua.

Suatu hari aku mencoba memberanikan diri untuk mengajaknya makan bersama di luar. Selama ini aku tak merasa ada penolakan apapun saat aku bertanya macam - macam padanya dan aku juga tak ingin kejadian seperti dengan Ukhti Fadwa terulang kembali.

"Ehh, ukhti ntar malam ada agenda?", chat ku via WA

"Ntar malem kalau ba'da isya'sih nggak ada kak... gimana?", tanya Ukhti Fadiyah.

"Gini, kalau nemenin ana makan malam di luar bisa? Soalnya makan sendirian kan ga sunnah... katanya sih...", balasku dengan canda.

"Ahaaha... kak Suganda nih modusnya ga pinter sih...", jawab Ukhti Fadiyah.

"Wah, ketauan nih... jadi gamau ya...?", jawabku dengan perasaan malu.

"Emang ada ya kalau Fadiyah bilang ga mau??", balas Ukhti Fadiyah yang membuatku begitu senang.

"Alhamdulillah... berarti bisa ya? Ketemuan di mana nih?", tanyaku.

"Terserah kak Suganda aja... eh, kalau di tempat makannya aja gimana kak?", tanya Ukhti Fadiyah.

"Yaa gapapa sih... ntar ana kabarin lagi yaa lokasinya...", jawabku sedikit kecewa.

Meski begitu aku tetap menemuinya di tempat makan sesuai yang aku janjikan. Itulah awal mula aku mulai berani untuk jalan berdua dengan Ukhti Fadiyah. Mulai dari sekedar makan malam, sampai belanja kebutuhan harian pun berdua. Meski banyak sekali kesempatan yang terbuka bagiku untuk menikmati tubuhnya, namun keimanan dalam diriku berontak melawan. Ukhti Fadiyah pun juga seperti membatasi dirinya ketika bertemu denganku, tapi kini ia sudah lebih berani untuk melingkarkan tangannya saat boncengan dan juga menggandeng tanganku saat kita hangout berdua. Kami berdua tau bahwa yang kami lakukan sebenarnya bagian dari zina, tapi rasa sayang di antara kami berdua meruntuhkan segala kajian yang pernah kami dengar tentang hal itu.

"Hah??? Jadi beneran kalau baru umur 18 tahun?? Kirain kalau adek bercanda...", kataku terkejut sembari merangkul pundaknya menikmati indahnya Bukit Bintang Jogjakarta.

"Iya lohh... kak Suganda sih yang ngeyel...", jawabnya sambil menyandarkan kepalanya yang terbalut jilbab hitam berukuran sedang di pundakku.

Sekitar jam 11 malam kita berdua baru sampai di kos Ukhti Fadiyah. Suasana kampung cukup sepi yang semakin menguatkan kehangatan rasa di antara aku dan Ukhti Fadiyah.

"Alhamdulillah... syukron kak, Fadiyah seneng banget malam ini...", kata Ukhti Fadiyah yang terlihat agak kesusahan membuka helm.

"Iya, kakak juga... Susah ya? Coba sini kakak bantu", kataku sambil mendekatkan wajahku ke wajah Ukhti Fadiyah yang manis seraya mengecek tali pengikat helmnya.

"Oohh... bentar... ini mah..."

Belum selesai aku menjelaskan tentang kerusakan helmnya, tiba - tiba kurasakan nafas Ukhti Fadiyah membelai wajahku. Saat itulah aku baru sadar kalau bibir kami sudah begitu dekat dan nampak Ukhti Fadiyah memejamkan mata seolah pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Kata ustad, kalau ada pasangan lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, maka yang ketiga adalah setan, dan itulah yang terjadi. Aku pun tak berpikir panjang dan langsung mendaratkan bibirku di bibir pink manis Ukhti Fadiyah. Aku pun mencoba memagut lembut bibirnya dan tak kusangka Ukhti Fadiyah pun membalas pagutanku. Sekitar 3 detik saja hal itu terjadi sebelum kemudian Ukhti Fadiyah tersadar dan sedikit menjaga jarak dariku.

"Afwan kak Suganda, Fadiyah masuk dulu... Assalamu'alaykum...", ucap Ukhti Fadiyah sambil bergegas masuk ke kosan.

Sesaat kemudian hatiku pun berkecamuk. Meski bagiku hal yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang besar dan parah, tapi aku lupa kalau Ukhti Fadiyah adalah seorang akhwat yang sedang hijrah dan sudah barang tentu baginya ini adalah sesuatu yang sangat ia hindari. Aku pun kembali ke kosan dengan penuh rasa bersalah karena terlalu terburu - buru padanya.

"Assalamu'alaykum dek Fadiyah... Maafin kakak buat yang tadi yaa... kakak khilaf... kakak sama sekali ga ada niatan buat lakuin hal itu... maaf...", chatku ke Ukhti Fadiyah setelah aku sampai di kos.

"Na'am kak... Fadiyah juga salah kok. Fadiyah tidur dulu kak... Assalamu'alaykum...", balas Ukhti Fadiyah singkat.

Semenjak malam itu, hari - hari berikutnya yang kujalani tak seindah hari - hari yang lalu. Ukhti Fadiyah pun terkesan menjaga jarak dariku meskipun chat WA ku tetap ia balas namun terasa hanya seperlunya saja dan itu semua berjalan hingga 1 bulan. Rasa sakit yang kurasakan tak mampu lagi ku pendam. Kemudian ku beranikan diriku untuk mengajaknya bertemu di salah satu cafe di Jogja dan Alhamdulillah Ukhti Fadiyah pun menyanggupinya karena aku bilang ada sesuatu yang penting yang ingin ku sampaikan. Sekitar jam 16.30 Ukhti Fadiyah pun datang ke cafe di mana aku sudah menantinya.

"Macet ya ukhti jalannya...??", tanyaku membuka pembicaraan.

Sudah seperti yang kuduga kalau pertemuan ini tidak akan mudah. Karena aku sudah tau akan terjadi seperti ini, maka aku pun menyiapkan semua yang mau aku sampaikan padanya sore itu.

"Mmm... untuk yang pertama, kakak mau minta maaf secara langsung untuk kejadian malam itu. Jujur, dalam hati, kakak tidak pernah ada sama sekali keniatan untuk melakukan hal itu pada dek Fadiyah. Kakak benar - benar merasa bersalah dan kakak harap dek Fadiyah memaafkan kakak meskipun tidak bisa secara total...", kataku sambil melihat Ukhti Fadiyah yang hanya tertunduk diam.

"Kemudian yang kedua... Jujur saja, kakak sudah terlanjur cinta pada dek Fadiyah, sejak pertama kali dek Fadiyah mau menemani kakak malam - malam di luar itulah saat pertama kehangatan rasa ini masuk ke hati kakak... Namun semua itu berubah drastis semenjak kejadian malam lalu. Sakit sekali hati ini saat dek Fadiyah berubah menjauh dari kakak. Kakak tau itu semua salah kakak, tapi tetap saja hati kakak kangen banget sama dek Fadiyah yang dulu dan kakak berharap rasa itu masih di dalam hati dek Fadiyah...", lanjutku.

"Hemh... kemudian yang terakhir, kakak ga mau lagi terjadi untuk kedua kalinya. Kakak gamau kehilangan lagi orang yang kakak suka tanpa kakak coba untuk mendapatkannya. Maka sore ini kakak coba memberanikan diri bertanya pada dek Fadiyah... Bolehkah kakak menjadi suami sah dari adek...??", tanyaku dengan penuh harap.

Aku pun terkejut saat kudengar samar - samar suara sesenggukan Ukhti Fadiyah setelah mendengar pengakuanku karena aku tak pernah melihat seorang akhwat menangis di hadapanku sebelumnya. Aku pun panik dan berusaha untuk menghiburnya.

"Aduh... kakak salah lagi yah dek? Maaf...", kataku dengan panik karena keadaan di cafe yang cukup ramai.

Sore itu Ukhti Fadiyah mengenakan jilbab dan gamis warna coklat susu muda. Memang jilbabnya tak sebesar Ukhti Fadwa, tapi cukup panjang hingga menutupi perutnya. Wajahnya yang cantik, manis, putih pun terlihat kemerahan karena tangisnya. Yang semakin membuatku bingung, Ukhti Fadiyah tidak berkata apa - apa dan hanya menggelengkan kepala. Beberapa kali tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi chubbynya.

"Duhh... kalau nggak karena kata - kata kakak kenapa dong?? Kakak jadi bingung...", jawabku masih dengan panik.

"Mau...", ucap Ukhti Fadiyah lirih.

"Ehh, gimana dek Fadiyah...??", tanyaku karena kurang jelas.

"Mau kak...", ucap Ukhti Fadiyah yang kedua kalinya.

Saat mendengar jawaban Ukhti Fadiyah yang singkat namun begitu berkesan, membuat seluruh pahit yang selama sebulan ini kurasakan pun sirna. Aku pun segera mengabari Tsani tentang keinginanku menikahi Ukhti Fadiyah dan memintanya untuk menemaniku ke Magelang guna berjumpa langsung dengan orang tua Ukhti Fadiyah. Alhamdulillah orang tua Ukhti Fadiyah menyambut gembira tentang kesungguhanku untuk menikahi anak mereka, begitu pula Ukhti Fadiyah yang juga duduk di samping orangtuanya terlihat menahan senyum bahagianya siang itu.

Tak butuh waktu lama, setelah aku memberi kabar pada ibuku dan ia merestuinya, tak lebih dari 2 minggu kami pun sah menjadi pasangan suami - istri.

"Hey! Mas Suganda... malah ngelamun... mesti udah ingat istri lagi yaa??", goda pak Mukhamad.

"Ahahah... penak'e sing isih enom... (Ahahah... Enaknya yang masih muda...)", timpal pak Sunandar.

Ya karena aku yang paling muda di antara anggota jama'ah lainnya maka diperlakukan seperti itu bagiku wajar saja.

Sekitar jam 04.30 kami pun sampai di masjid pusat Jam'ah Dakwah di Semarang. Sudah menjadi arahan dari Ulama kami apabila hendak berdakwah di suatu daerah maka diharuskan untuk transit dulu di masjid pusat di daerah yang di tuju. Ini ditujukan agar setiap jama'ah yang hendak berdakwah di daerah tersebut mengetahui kondisi medan dakwahnya serta mendapatkan pembekalan yang sesuai sehingga tidak terjadi suasana masyarakat yang keruh.

Setelah selesai pembekalan dan menginap sehari semalam di masjid pusat dakwah Semarang, kami pun di rute kan selama 40 hari di salah satu kecamatan di sana. Sesampainya di masjid pertama, maka kami segera bersiap - siap untuk program termasuk memberi kabar kepada Umara' kampung tentang kedatangan kami. Setiap kami datang di satu masjid, penting untuk menyampaikan maksud kedatangan kami di kampung tersebut yaitu untuk ishlah (perbaikan) diri, belajar memakmurkan masjid 24 jam, dan juga untuk belajar amar ma'ruf pada saudara muslim di sekitar masjid. Biasanya setiap jama'ah yang datang hanya akan ber'tikaf di satu masjid selama 3 hari, tapi ada juga yang bisa sampai 6 hari, tergantung target dari masing - masing jama'ah yang datang.

Meski sudah berkali - kali mengikuti kegiatan dakwah 40 hari setiap tahunnya, tapi tetap saja rasa rindu dengan istri saat terpisah seperti ini pun tak tertahankan. Pada prinsipnya setiap anggota jama'ah dilarang membawa HP saat mengikuti kegiatan dakwah seperti ini supaya pembelajaran dan perbaikan iman dan amal dalam diri bisa lebih maksimal. Yah memang aku nya saja yang bandel, jadi HP pun tetap ku bawa. Jujur saja semenjak aku dan istriku (Fadiyah) menikah dan merasakan nikmatnya ngentot untuk pertama kalinya, kami berdua pun ketagihan untuk terus melakukannya. Bahkan dulu sebelum Miguel lahir, kami pernah ngentot sehari hingga 5x. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, yang ada hanya hasrat yang begitu menggebu - gebu untuk menikmati tubuh indah istriku yang masih belia. Istriku, Fadiyah, pun sama saja denganku.

Ternyata di balik jilbab dan gamis syar'inya tersimpan gelora syahwat yang luar biasa dan aku bersyukur mendapatkan istri sepertinya yang bisa memahami liarnya nafsu birahiku. Hampir setiap malam aku chat istriku via WA mulai dari ngobrol biasa hingga membahas selakangan.

"Miumiumiumiumi...", chatku ke istriku malam itu.

"Ya abi sayang? Kok chat mulu tiap malam? Gak ditegur Amir jama'ahkah??", balas istriku.

"Sering sih, tapi yaa sambil bercanda gitu... btw umi sayang lagi apa?", balasku.

"Biasa bi... lagi ngangenin seseorang di sana yang sok ganteng...", balas istriku.

"Hayoo... siapa tuh? Si Miguel sama Embun gimana??", balasku.

"Uda pulas daritadi bi... mmm... siapa yaa?? Mas Suganda ku dong...", balas istriku dengan emot love.

"Uhh... abi juga kangen nih sama istriku Fadiyah... kalau lagi kangen gini biasanya umi ngapain??", tanyaku yang sudah menahan rindu padahal baru hari ke delapan.

"Iyakah? Kangen umi juga?? Uww... ngapain yaa?? Bayangin di ciumin abi ajah...", balasnya.

"He'emh, banget... tiap detik kepikiran umi mulu... kangen bibir manisnya umiihh... Ehh, diciumin apanya nih sayang...??", tanyaku menggodanya.

"Auuww... mau diapain bibir umi sayang?? Mau diciumin semuanya...", balas istriku.

"Mau abi ciumin sepuasnya bibir atas sama bawahnya... Semuanya? Ntar kalau ketagihan gimana tuh...??", tanyaku yang mulai terangsang.

"Aahh... Uhhh... Mau bii... siniihh... Umi pasrah mah diapain ajah sama abih... kalau ketagihan?? Perkosa aja umi sih bii... uww... pengen...", balas istriku yang sepertinya mulai terangsang juga.

"Duuhh... kangen nihh pengen emut ama sedot - sedot puting coklat umih... terus jilatin memek nyahh sambil umi jongkok gituhh... lezat banget mii... ", jawabku sambil mengelus - elus kontolku yang mulai bangun.

"Uuhh... abi nakal siih... jadi pengen banget nih bii...", jawabnya dengan emot terong.

"Aww... lagi apa nih mi?? Lagi colmek yaa??", balasku yang sudah tegang maksimal.

"Aahh... abi sih godain mulu... u'umhh... lagi enak bii... tapi ga ada terongnya abi nihh...", balas istriku yang sudah terangsang berat.

"Mau ini kah...?", balasku sambil mengirimkan foto sarungku yang sudah menjulang di desak kontolku.

"Iyaa bi... mau ituu... mau yang ada di balik sarung...", balas Fadiyah istriku.

"Mau diapain sayang...?? Sini selfie dulu dong...", balasku.

"Mau diemut, dijilat, mau semuanyah... uuhh... ", jelas istriku sambil mengirimkan fotonya yang sudah ngangkang hanya mengenakan daster hitam motif bunga - bunga merah.

"Uuhh... beceknya Miihh... abi jadi haus nih pengen minum pipisnya umii...", jawabku yang semakin terangsang melihat selakangan putih mulus Fadiyah istriku dihias memek beceknya yang berwarna coklat gelap.

"Uuhh... abii... ga tahan loohh... VCS yuu...", balas istriku yang sudah tak bisa menahan birahinya.

"Yok... tapi umi pake cadar sama jilbab dulu, biar abi makin semangat...", balasku yang memang lebih terangsang kalau melihatnya tertutup sempurna di luar tapi bugil total di dalam tanpa dalaman.

Hari itu qodarullah jama'ahku di rute kan di salah satu masjid agung di daerah Semarang, sehingga aku agak leluasa mencari spot - spot untuk berfantasi ria dengan istriku. Aku pun memilih area toilet masjid karena ada banyak kamar toilet dan juga luas. Selain itu pencahayaan yang bagus ditambah tempatnya yang bersih, pas sekali untuk Video Call malam - malam.

Dengan bergegas aku menuju toilet masjid dan langsung melakukan Video Call dengan istriku. Sambil menanti, aku pun melepas sarungku hingga tersisa kaos dan peci saja.

"Ahhh... abi sayaang... maaf lama...", kata istriku sesaat setelah menjawab panggilan VC ku.

"Uuwh... seksinya istriku ini... mulus banget sayang tubuh umi nihh...", pujiku yang sudah terangsang maksimal.

Kontolku begitu keras menjulang melihat istriku yang malam itu tampil bugil dengan toketnya yang berukuran 36B, terlihat bulat kencang dihiasi puting coklatnya yang sudah mencuat. Ia duduk di sofa ruang keluarga dengan kedua kakinya yang putih mulus mengangkang di sofa, dan dengan bangga memamerkan memeknya yang banjir sementara ia hanya mengenakan jilbab dan cadar tali warna hitam.

"Oohh... becek bii... aahh... kangen lidah abi... mau dijilatin... sshh...", desah istriku yang terdengar jelas karena aku mengenakan wireless earphone.

"Aahh... iyah mi... siniihh... dudukin mulut abi dongh...", jawabku dengan sedikit mendesah yang membuatnya semakin blingsatan.

Desahan istriku semakin kuat setelah tangan kirinya meremas toket dan memilin putingnya sendiri, sementara tangan kanannya mulai menggesek cepat memeknya. Melihat aksi istriku yang seperti itu, aku pun semakin terangsang dan mempercepat kocokanku di kontolku.

"Aahh... abi... kontol abi gede banget sih... mau dong dientot... sini bii... aahh... gatel bii... awwhh...", desah istriku yang mulai memasukkan dua jemarinya ke memek.

Istriku semakin kelojotan, matanya merem - melek, desahan dan erangannya pun terdengar persis seperti saat kita ngentot. Aku pun semakin kuat dan cepat mengocok kontolku sambil menyaksikan istriku yang tampak seperti akan klimaks.

Sesaat kemudian istriku melenguh panjang bersamaan dengan memancurnya cairan orgasmenya yang seperti orang kencing. Tubuh putih istriku mengejang sementara tangan kirinya meremas kuat toket kirinya dengan matanya terpejam menikmati orgasme. Aku pun sudah tak tahan dan juga ikut mencapai klimaks, bahkan spermaku muncrat hingga membasahi HP yang kugunakan untuk Video Call. Kami pun selesai Video Call sekitar jam 11 malam sekaligus jadwalku untuk shift malam hari itu. Sudah jadi keputusan bersama anggota jama'ah kami untuk belajar menghidupkan amal di masjid selama 24 jam tiap harinya. Bisa dengan dzikir, sholat sunnah, ataupun tilawah Qur'an. Setiap 2 hari sekali aku bermasturbasi bersama istriku via Video Call karena memang sudah jadi kebiasaanku setidaknya minimal 2 hari sekali mensetubuhi istriku.

"Mas Suganda, enak'e masak opo yo? Sayur meneh wae po??? (Mas Suganda, Enak nya masak apa ya? Sayur lagi aja kah?)", tanya pak Sunandar

"Wah kalau saya ngikut aja pak. Saya bantu - bantu saja nanti", jawabku sambil memakai .

Pagi itu di masjid ke - 4, aku dan pak Sunandar bertugas sebagai tim khidmat. Tim khidmat memiliki tugas untuk menyiapkan segala kebutuhan jama'ah kami. Tapi yang paling utama adalah untuk menyiapkan menu makan untuk seharian sementara anggota jama'ah yang lain ada tugas masing - masing. Dan inilah yang aku sukai dari jama'ah dakwah ini, selain dapat bertemu dengan berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang, sedikit bicara tentang keduniaan selama program, saling mudzakaroh tentang iman, kami pun dilatih untuk bisa memasak meskipun semampunya. Tapi meskipun makanan yang kita masak tak seenak makanan rumah, namun tak ada satupun anggota jama'ah yang mengeluh. Justru semua makan dengan lahap karena sering ada targhib bahwasanya banyak orang yang tidak bisa makan layaknya kita sekarang.

"Alhamdulillah... ada warung... Assalamu'alaykum...", ucapku saat masuk warung kelontong dekat masjid.

"Wa'alaykumsalam... mari ustad... cari apa??", jawab seorang akhwat penjaga warung.

Aku pun terkejut ketika melihat keindahan sang akhwat. Meski tak semuda istriku namun kecantikannya tetap terjaga. Wajahnya yang agak oval bermata jeli yang lentik, terbingkai indah oleh bergo instan warna kuning tua. Rias wajah yang sederhana dan lipstik merah di bibirnya justru menambah kecantikan alami sang penjaga warung itu.

"Maaf ustad, mau belanja apa?", tegur si akhwat.

"Ohh, sebentar bu... saya pilih - pilih dulu...", jawabku sembari mencari bahan - bahan masakan.

Pak Sunandar pun terlihat sibuk mencari keperluan untuk menu kita hari ini, sementara aku malah sibuk menelusuri lekuk tubuh penjaga warung. Kalau aku perkirakan umurnya tak jauh berbeda dari ku, sekitar 30 tahunan ke atas. Bergo instan yang ia kenakan tak terlalu besar hanya sebatas dada saja. Tapi justru saat pandanganku turun ke dadanya, aku hanya bisa menelan ludah melihat bongkahan gunung kembarnya yang begitu ketat menonjol bahkan terlihat gamis yang ia kenakan seperti akan sobek. Gamis biru dongker yang ia kenakan terlihat ketat membentuk tubuh bagian atasnya hingga pinggul. Perutnya yang tidak buncit justru semakin menarik perhatianku. Senyumnya yang ramah serta suara lembutnya membuatku betah berlama - lama meskipun tak ada lagi barang - barang yang ingin ku beli.

"Ehh, mas Suganda... aku dhisikan yo... loro weteng jhe (Ehh, mas Suganda... aku duluan ya... sakit perut nih)", kata pak Sunandar sembari memberiku uang untuk membayar belanjaan.

"Ohh... iya pak", jawabku.

Kini tinggal aku dan akhwat penjaga warung saja yang sedang sibuk menghitung total belanjaan ku. Lengan gamisnya yang hanya sampai siku menyebabkan kulit kuning mulusnya menjadi santapan mataku tiap kali ia menjulurkan tangannya untuk memasukkan belanjaanku ke plastik kresek. Wangi harum tubuhnya begitu menggoda libidoku ditambah lagi posisi berdirinya yang menyamping sehingga terlihat jelas gunung raksasanya yang sesak di balik gamis ketatnya.

"Maaf ustad, tinggal di mana ya?? Kok saya gak pernah lihat ustad?", tanya si akhwat. Ia memanggilku ustad mungkin karena saat itu aku mengenakan jubah dan surban.

"Ohh, nggak bu... ini saya lagi i'tikaf di masjid An Nur sini... Inshaa Allah selama 5 hari di sini...", jawabku.

"Ohh... acara apa ya ustad? Kok sampai 5 hari?", tanya si akhwat sambil mengikat kresek belanjaan.

"Ini kan saya satu rombongan dari Jogja sedang belajar silaturahmi di masjid ini... yaa belajar memperbaiki iman gitu bu", jawabku.

"Ohh gitu... berapa orang jama'ahnya ustad?", tanyanya lagi.

"Kita ada 6 orang bu... Ohh ya, perkenalkan saya Suganda. Kalau boleh tau nama ibu siapa??", tanyaku memulai modus.

"Nama saya Fahima... wah banyak juga ya", jawab bu Fahima.

"Yaa nggak juga bu, kalau idealnya sih 8 - 10 orang. Cuma karena masih pandemi, jadi dibatasi maksimal 6 orang", jelasku.

Saat aku sedang asik pendekatan, tiba - tiba terdengar suara lelaki dari dalam yang memanggil Fahima dengan suara keras. Aku pun terkejut karena seharusnya penting menjaga adab pada istri, apalagi ada tamu atau pelanggan.

"Aduhh... maaf ya ustad Suganda... ini totalnya 54 ribu", kata Fahima.

Aku pun menyodorkan uang 60 ribu. Dan dengan terburu - buru Fahima pun memberikan kembalian uangku dan segera masuk ke dalam rumah. Aku pun segera kembali ke masjid untuk bersiap memasak. Hanya saja aku heran jika istri secantik Fahima bisa dapat suami kasar seperti itu. Ya meskipun jika dibandingkan dengan istriku Fadiyah, maka jelas lebih cantik istriku. Hanya saja Fahima memiliki poin lebih di ukuran toketnya yang jumbo itu. Ahh aku pun jadi kepikiran dan menebak - nebak ukuran Bra Fahima yang mungkin ukuran D itu.

"Assalamu'alaykum bu Fahima... mau beli nih...", kata ku dengan berani langsung memanggil Fahima karena aku sudah mengecek kalau motor suaminya sudah pergi siang itu ba'da dhuhur.

"Wa'alaykumsalam... ehh... ustad Suganda, mau beli apa ustad?", tanya Fahima sambil membenahi jilbabnya.

"Mmm... kalau snack yang ini berapaan ya?", tanyaku.

"Kalau yang itu 2000an, kalau yang kuning 3000an ustad", jawabnya.

"Ambil yang ini saja 2 bu... ngomong - ngomong tadi pagi itu suami ibu??", tanyaku memulai pembicaraan.

"Aduhh... iya ustad, maaf yaa kalau kurang sopan. Suami saya memang suka begitu...", jawab Fahima terlihat sedih.

"Oohh... kok bisa gitu bu? Sudah lama kah?", tanyaku sambil duduk di atas tumpukan karung beras dan menikmati camilan.

Fahima pun menceritakan kisahnya dengan suaminya. Ia memang asli Semarang sementara suaminya orang Purworejo. Fahima bersekolah hanya sampai MAN saja, setelah itu ia mondok di salah satu pondok di Ungaran. Selama di pondok, Fahima termasuk santriwati yang baik, bahkan ia hafal sekitar 10 juz Al - Qur'an. Hafalannya memang tak banyak karena saat dirinya berumur 22 tahun, ia pun dijodohkan dengan salah seorang santri yang sudah lama lulus dari pondok lain dan sudah menjadi pengajar di salah satu madrasah salafiyah. Karena dijodohkan, maka Fahima pun merasakan hangatnya kasih sayang sang suami saat berusaha mendapatkan hatinya. Begitu sabar, lemah lembut, bahkan perhatiannya begitu tampak yang membuat Fahima akhirnya luluh meskipun dari segi tampang dan fisik, suami Fahima biasa saja bahkan kalau boleh dibilang seperti beauty and the beast. Keduanya menjalani hari - hari dengan penuh kebahagiaan, hubungan ranjang mereka pun intens dan sang suami pun bisa memberikan kepuasan padanya.

Kemudian semuanya mulai berubah saat hadirnya sang buah hati. Suami terlihat jadi mudah marah, tak lagi peduli pada kondisi dirinya, bahkan sedikit membantu pekerjaan rumah tangga pun enggan. Meskipun begitu, Fahima tetap berusaha melayani sang suami dengan baik. Tapi entah kenapa apa yang ia berusaha lakukan terlihat selalu salah padahal ia juga sudah berusaha menuruti kemauan suami, termasuk dalam urusan ranjang. Fahima pun selalu berupaya untuk memenuhi apa yang menjadi fantasi suaminya. Namun ada beberapa hal yang ia belum mau lakukan termasuk salah satunya blowjob karena menurut Kyai Fahima itu hal yang dilarang. Mulut yang seharusnya digunakan untuk tilawah Al - Qur'an dilarang untuk perkara - perkara yang najis seraya Fahima menirukan pesan dari Kyainya. Keretakan rumah tangganya semakin terasa saat suaminya diberhentikan dari pekerjaannya dan berganti pekerjaan menjadi satpam. Pemasukan yang tak mencukupi menjadi faktor utama berubahnya sifat suami. Sekarang suaminya tak pernah ke masjid, sholat pun jarang, baca Qur'an pun tak pernah. Yang ada hanya merokok terus bahkan dalam 1 hari bisa habis 12 batang lebih. Sifat tempramennya menjadi lebih parah bahkan tak hanya memarahi, membentak dan memukul pun sering sang suami lakukan. Sudah 3 tahun terakhir ini Fahima bertahan dengan kehidupan rumah tangganya yang rusak. Ia membuka toko pun karena bantuan dari kerabatnya yang kasihan dengan kondisi keluarganya.

"Wah... susah juga bu yaa...", kataku sambil mencoba memahami situasi.

"Tapi Alhamdulillah, anak sekarang bisa mondok jadi gak denger kalau ayahnya marah - marah gitu...", jawab Fahima dengan tawa palsunya.

"Yaa itulah beratnya menjadi seorang istri bu, tapi kalau bu Fahima tetap ta'at pada suami tentang perkara - perkara yang Allah ridho maka Inshaa Allah surga balasannya...", jawabku menghibur.

"Aamiin ustad... semoga Allah kuatkan saya... kalau ustad sendiri gimana sama istri?? Ustad aja ganteng, pasti istrinya cantik...", puji Fahima yang kini duduk santai sembari menyangga dagunya dengan tangan kanan.

"Alhamdulillah Allah beri saya istri yang ta'at... Cuma ya dulu butuh perjuangan juga bu... saya yang terlebih dulu harus berubah kemudian baru Allah rubah istri saya", jawabku sambil curi - curi pandang ke dadanya.

"Ohh... Alhamdulillah yaa... terus gimana ustad ceritanya kok bisa harmonis gitu??", tanya Fahima sambil menatapku.

"Yaa berusaha saling mengerti bu... saya dan istri kan beda jauh umurnya... selisih 10 tahun...", jawabku.

"10 tahun...!? Jauh banget... berarti sekarang umur istrinya ustad berapa?", tanya bu Fahima penasaran.

"Kalau sekarang 27 tahun", jawabku.

"Mmm... brarti sekarang ustad umur 37 tahun yaa?? Wahh... lebih tua dari saya... saya sekarang umur 33 tahun... panggilnya Fahima aja ustad, jangan pakai 'bu' gitu", ujar Fahima agak malu.

"Kalau manggilnya cuma Fahima aja kedengarannya kayak kurang sopan gitu. Nanti kalau jadi sayang gimana tuh...", tanyaku bercanda namun juga berharap.

"Ahahah... gapapa loh ustad, saya yang ga enak kalau dipanggil 'bu'... yaa katanya gak kenal maka gak sayang...?", jawab Fahima dengan nada menggoda.

Kami pun terus mengobrol hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 14.00. Aku pun izin pamit untuk kembali ke masjid, khawatir kalau Amir Jama'ah mencari - cariku. Sebelum aku pulang, Fahima sempat memberikan beberapa makanan untuk oleh - oleh dan juga senyuman manisnya sambil berkata, "Saya tunggu kalau mau main - main ke sini lagi ustad". Hatiku berdegup kencang mendengar Fahima berkata seperti itu karena aku yakin tak lama lagi aku bisa mengetahui rahasia di balik bongkahan jumbo gamisnya itu.

Sesampainya di masjid, semua jama'ah sedang tidur siang. Karena waktu yang terlalu singkat bagiku untuk istirahat, aku pun chatting dengan istriku sembari menunggu datangnya waktu ashar.

"Wah... ono ghonimah ki... seko sopo?? (Wah... ada ghonimah nih... dari siapa??)", tanya pak Sunandar ketika melihat kresek berisi makanan yang ku bawa.

Ghonimah adalah istilah yang sering kami gunakan kalau ada pemberian dari orang lain.

"Dari Allah pak lewat ibu - ibu di toko tadj pagi...", jawabku.

"Woo... Alhamdulillaah... Mam ojo lali awakmu tugas ta'lim ashar... (Woo... Alhamdulillah... Mam jangan lupa dirimu tugas ta'lim Ashar)", ucap pak Sunandar sambil mengicipi snack yang ku bawa.

Ada beberapa program yang biasa kami buat hari - hari, salah satunya ta'lim. Yaitu pembacaan 1 - 2 hadist Nabi SAW tentang fadhillah amal bertujuan supaya orang yang mendengarnya bisa tau tentang keuntungan mengerjakan suatu amalan.

Setelah Isya, biasanya kami melanjutkan acara dengan makan malam. Setelah makan malam, maka dilanjutkan dengan acara Infirodi (amal masing - masing) atau acara bebas. Kalau ada yang mau langsung tidur dipersilakan, Atau mau silaturahmi ke warga sekitar juga boleh, atau mau ada yang buat amalan pribadi harian pun diperbolehkan. Aku pun memilih untuk jalan - jalan sendiri dengan izin sebelumnya ke amir jama'ah.

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE DAN FOLLOW, AYOO MARI BANTU ADMIN SUPAYA BISA LANJUTIN KARYA INI....

KALO ADA LEBIH REJEKI BOLEH DONASI KE ADMIN SUPAYA LEBIH SEMANGAT LAGI UPDATE NYA....

JANGAN LUPA JUGA FOLLOW SOSIAL MEDIA ADMIN

INSTAGRAM : @WIDASU.ID

INFORMASI!!! NANTI AKAN ADA KONTEN PREMIUM BERGENRE : NTR, GANGBANG, PEMERKOSAAN, CUKOLD DLL DARI KARAKTER YANG UDAH GW BUAT DI KARYA INI....

JADI BUAT KALIAN YANG MINAT BELI KONTEN PREMIUM GW, BISA KONTAK SOSIAL MEDIA GW ATAU KE PLATFORM SEBELAH YAITU KARYAKARSA!!!

TERIMAKASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH DUKUNG KARYA INI...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh naxxnawar12

Selebihnya
PACAR YANG TIDAK ADIL

PACAR YANG TIDAK ADIL

Fantasi

5.0

(21+ CERITA INI MENGANDUNG UNSUR DEWASA, MOHON BIJAK DALAM MEMILIH DAN MEMBACA, PASTIKAN ANDA SUDAH DEWASA DAN TAU RESIKONYA) Cerita ini merupakan cerita yang terjadi mulai aku alami ketika aku berpacaran dengan pacarku yang sekarang. Cerita yang bagiku menunjukkan betapa tidak adilnya Abidah sebagai pacar. Perkenalkan namaku Firdaus seorang cowo yang memiliki tinggi hanya 168 cm dan berat 54 kg dengan usia saat ini 22 tahun, berkuliah di salah satu universitas Islam di sebuah kota. Aku mempunyai seorang pacar bernama Abidah yang memiliki postur tinggi 152 cm dengan wajahnya cantik manis imut karena badannya yang pendek itu. Memiliki buah dada berukuran 34B. Bagiku tidak juga besar tidak juga kecil pas sekali di tangan. Kami jadian sudah 1 tahun lebih dimulai April tahun 2022. Abidah adalah teman kelasku di bangku kuliah. Akan tetapi kami baru akrab di semester 6 karena ada mata kuliah yang mengharuskan kita menjadi satu dosen bareng. maklum saat semester 1 dan 3 aku mempunyai pacar di kota asalku. bertahan hanya 16 bulan. Fyi, aku adalah seorang perantau di kota tempatku kuliah. lalu semester 4 dan 5 aku mempunyai pacar 1 tahun di bawahku. sedangkan adek tingkatku ini hanya bertahan 9 bulan. Aku menganggap Abidah adalah cewe yang polos. Siapapun yang aku tanyai pendapat tentang muka Abidah tidak ada satupun yang mengatakan dia cewe bandel atau begundal. Semua akan menjawab Abidah adalah cewe yang polos. Dan harus ku akui Abidah juga punya beberapa masa lalu yang kelam yang baru aku tau ketika fase pacaran memasuki 2 bulanan ke atas. Aku tidak masalah karena aku pun juga begitu, jadi aku anggap impas. Satu hal yang aku syukuri ketika mendapatkan Abidah, aku tidak mempunyai saingan di perantauan. Padahal muka Abidah yang cantik dan manis ini menggoda untuk didapatkan. Abidah memang memiliki kepribadian individualis, jadi dia memang suka sekali menjauh dari keramaian dan tidak banyak bicara. Berbeda dengan ku yang aktif di kegiatan organisasi dan mudah akrab dengan orang lain. Kalau Abidah jangankan aktif, ikut saja tidak. Padahal aku suka kalau pacarku aktif agar memperluas relasinya.

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku