Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Santai Kamulah Orangnya

Santai Kamulah Orangnya

Gaemgyu

5.0
Komentar
119
Penayangan
13
Bab

Gemerisik dedaunan, dentingan ranting-ranting yang saling bersentuhan akibat tiupan angin membuat siapa saja lebih memilih memilih bergelung di bawah selimut atau paling tidak meminum cokelat hangat. Hari sudah semakin larut tapi kota New York seperti tidak pernah tidur. Seorang gadis mengeratkan jaketnya yang tebal, giginya sedikit bergemelutuk, bahkan sepatu boots hingga ke lutut tetap tidak melindungi kakinya seperti sudah membeku. Berdiri di bawah pohon besar di saat suhu dibawah nol derajat merupakan pilihan paling buruk bagi siapa saja, termasuk gadis itu. Dia bukanlah seorang yang bodoh dan tidak mempunyai pilihan. Dia punya pilihan untuk pulang, mematikan ponsel dan berakhir tertidur lelap di tempat tidurnya, tapi dia tidak melakukan itu. Bagian bawah sepatunya sudah menipis sehingga tidak dapat melindungi kakinya dari dinginnya es membeku di bawah sana. Sesekali dia meringis karena demi apapun kakinya sudah tidak bisa digerakan lagi. Apakah darah yang dipompa jantungnya sudah tidak sampai ke bawah sana? Entahlah. Kedua tangannya yang terbungkus sarung rajutan merah saling berkumpul untuk menggesek telapak tangan sehingga menghasilkan rasa panas sedikit di sana. Dia mendesah sambil memajukan kepalanya sedikit ke arah badan jalan, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan orang yang ditunggunya. Akhirnya, dia tersenyum kecut. Dia memang bodoh, lagipula ini sudah terjadi lebih dari satu kali, seharusnya dia boleh belajar dari pengalaman saja tanpa mengulang itu. Sebelum dia membalikan tubuhnya menuju tempat pejalan kaki yang berada satu meter di belakangnya, tubuhnya oleng. Astaga, apakah dia hipotermia? Di sini? Di sudut taman tanpa satu orangpun melihatnya? Sayup-sayup sebelum kepalanya terbentur ujung ayunan di taman itu, dia merasakan pelukan hangat seseorang. Lebih hangat dari jaket tebal yang dia gunakan ataupun penutup telinga berbulu halus, sangat hangat sampai dia merasakan jantungnya tidak akan beku meskipun keluar dari tubuhnya karena berdetak semakin menggila. “Kau baik-baik saja?” Gadis itu tidak bisa menjawab, tapi dengan mata tertutup, telinganya bisa menangkap jenis suara berat itu milik seorang pria. Dia masih berkutat dengan pikirannya untuk mengembalikan kesadarannya yang berangsur-angsur pergi, gadis itu tidak ingin penolongnya menghilang setelah menyelamatkannya; khas film yang dia tonton akhir-akhir ini.

Bab 1 Birthday Andre

“Happy birthday Andre!”

Andre, tersenyum hangat, melipat kedua tangannya di depan dada untuk make a wish, mulutnya berkomat-kamit membuat gadis di depannya mencondongkan tubuh untuk mendengar jenis permohonan apa yang dikatakan pria itu. Detik berikutnya Andre membuka matanya dengan cepat lalu menatap gadis itu dengan tajam sehingga gadis itu merona dan mendudukan pantatnya sambil menekukan wajahnya tanpa menatap pria itu lagi. Dia sangat malu.

Meniup lilin, Andre berdecak “Kenapa lilinnya sangat banyak? Bantu aku meniupnya Ly.” Andre menggelengkan kepala, dia sudah melarang gadis itu untuk tidak merayakan ulang tahunnya dengan kue berbentuk hati serta taburan cokelat batangan yang menyerupai daun di atasnya. Oh, dan jangan lupa, ditengahnya ada angka dua puluh delapan dan tidak ada bagian atas dari kue itu tempat kosong tanpa lilin.

“Pelankan suaramu Andre Pranata. Aku Santa. Jangan memanggilku seolah aku berasal dari negara asalmu,” protesnya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya berubah menjadi masam, tidak bisakah pria di depannya ini mengucapkan kata-kata romantis yang membuat dia bangga telah melukai ketiga jari di tangan kirinya hanya untuk memecahkan telur ke dalam adonan kue itu?

Andre tersenyum hangat, mengangkat kepalanya setelah usahnya untuk meniup lilin yang super banyak itu. “Baiklah. Sekarang mana hadiahku?” Tangannya terulur ke depan wajah gadis itu, membuat gadis yang dipanggil Santa menggeleng pelan lalu menunduk.

“Aku cuma punya uang tabungan untuk membeli bahan kue” gumamnya dengan pelan tapi bisa di dengar oleh Andre. Menarik ujung jasnya, Andre berdiri dan duduk di kursi kosong di sebelah wanita itu.

“It doesn’t matter Ly. Maybe you my everything I need..” bisiknya sambil menarik gadis itu dalam pelukannya. “Ah, jangan berbohong pada dirimu sendiri. Santa Lyona! . Sekalipun kau mengganti kewarganegaraanmu, kau tetap berasal dari sana.”

Santa menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu, air matanya menetes pelan. Kenyataan yang berusaha dia hapus dari pikirannya. Kenyataan yang membuat dia tidak bisa memejamkan matanya saat malam atau menarik nafas lega saat fajar. Kenyataan yang membuat dia harus lari ke New York, meninggalkan semuanya di belakang tanpa berniat memandang itu lagi.

Bahwa pria yang dia peluk ini. Kekasih hatinya selama lima tahun, telah menikah.

Memejamkan matanya, Santa melepaskan pelukan mereka, menyeka air mata dengan punggung tangannya lalu mendesis “Kita akhiri saja semua ini” ucapnya dengan suara yang bergetar. Kedua matanya tertutup rapat beserta bahunya yang bergetar hebat. Dia terisak. Untung saja mereka berada di sudut cafe yang membuat mereka sedikit jauh dari jangkauan orang-orang yang akan membuat mereka menjadi pusat perhatian.

“Kau tahu itu tidak akan terjadi Ly. Kau sudah mengucapkan itu beratusan kali, dan aku akan tetap seperti semula.. tidak akan melepaskanmu.” Andre menegaskan kata-katanya yang dia sendiri tidak yakin kalau mereka akan bertahan berapa lama lagi, tapi dia sudah mencoba, mereka telah melakukan hal yang dikatakan Santa sejak satu tahun yang lalu, sejak dia dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis Ayahnya.

Santa menggeleng pelan, sedikit tidak setuju. “Kau sudah memiliki seseorang yang akan menunggu kau pulang di rumah. Dan..” menarik nafasnya dalam lalu menghembuskan dengan keras “kau memiliki seorang putri yang menunggumu untuk membacakan dongeng sebelum tidur.” Suaranya tercekat, bahkan dia hampir gila saat lima tahun lalu mengasingkan diri ke sini, saat berita di televisi itu mengatakan pertunangan kekasihnya. Pria yang baru saja menyatakan perasaan padanya lalu beberapa bulan kemudian dia bertunangan dengan wanita lain?

“Ly?”

“Tunggulah sampai akhir tahun ini heum? Aku akan segera menceraikannya, perusahanku sudah bisa berdiri sendiri tanpa sokongan dana dari Ayahnya.”

Santa menggeleng tegas. “Kau gila Andre. Kau memiliki anak dengannya, kau mau apakan anakmu itu kalau kalian bercerai?”

“Aku tidak peduli.”

Mendesah, Santa berdiri, memundurkan kursi dan berjalan dengan langkah besar-besar untuk keluar dari sana. Mereka selalu seperti ini, terkadang keduanya berusaha melupakan fakta mengerikan itu, terkadang malah membuat mereka berakhir dengan pertengkaran seperti ini.

Andre mematung di tempatnya. Dia bukannya tidak mau menyusul gadis itu, hanya.. menurutnya gadis itu butuh waktu untuk sendiri. Lagipula gadis itu merupakan gadis yang tegar. Ya, Santa adalah sosok seperti itu dimatanya, dewasa dan tidak berpikir dangkal untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan Andre yang senewen, saat malam pertamanya dia malah berangkat pada penerbangan pertama ke New York untuk memastikan bahwa gadis-nya baik-baik saja. Dan seperti dugaannya, gadis itu hanya tidak bisa tertidur, berpenampilan acak-acakan dengan mata yang sembab.

Hanya satu yang sangat disesalkan Andre. Ayahnya, menggunakan dirinya sebagai tameng untuk kejatuhan perusahan mereka. Sebenarnya Ayahnya tidak memaksa. Hanya Andre yang dilahirkan sebagai yang sulung harus merasakan beban itu harus dia pikul. Resikonya adalah dia kehilangan gadis yang amat dia cintai. Dering ponselnya membuat Andre tersentak, keningnya bertaut saat membaca nama penelepon.

“Hallo”

“Daddy!” Andre mengulum senyum mendengar suara anak perempuannya di seberang.

“Dad, malam ini cepat pulang. Lea dan Mommy sudah menyiapkan kejutan untuk~”

“~sudah Mommy katakan ini rahasia Lea, kenapa kau mengatakannya?” potong isterinya terdengar oleh Andre. “Andre, emm.. kau tidak lembur lagi `kan? Cepat pulang, kami menunggumu, bye.”

Andre tersenyum hambar. Dia merasa menjadi pria paling brengsek sekarang ini. Bagaimana mungkin dia dapat melakukan ini pada dua wanita yang baik itu? Dia tidak bisa berbohong kalau dia sudah jatuh cinta pada isterinya, dengan buah hati mereka sebagai pelengkap. Tapi dia juga sudah berkomitmen kepada kekasihnya, dia tidak bisa meninggalkan gadis itu saat banyak yang telah Santa korbankan untuknya. Waktu. Selama lima tahun tetap menerima Andre dengan status itu, Santa tidak pernah melakukan protes apapun.

Tapi jika dia bersama Santa, rasanya dia bisa melakukan apa saja. Menceraikan isterinya dan tidak mempedulikan Catalea, anak mereka. Andrew melipat kedua tangannya, menyanggah sikunya di atas meja, menundukan kepala dan dia berdoa.

***

Dia mendudukan tubuhnya di atas papan kayu mahoni, lantai kamarnya yang dingin. Air matanya seakan tidak pernah habis sejak lima tahun yang lalu. Dia selalu seperti ini, hubungan mereka tidak bisa berakhir dengan mudah. Rasanya dia seperti wanita penganggu rumah tangga orang jika anak kecil dalam keluarga Andre harus merasakan apa yang dia rasakan dari orang tuanya dulu. Tapi hati kecilnya selalu membela. Dia memiliki hak atas itu. Sejak awal, wanita itulah yang merusak hubungan mereka. Sejak awal, dialah pemilik hati Andre, akan begitu sampai mereka mengikat janji suci di altar nantinya. Andre sudah menjanjikan itu, kalau akhir tahun ini akan menceraikan isterinya.

“Tapi aku tidak bisa” erangnya sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana mungkin dia bisa bahagia sedangkan anak lima tahun itu masih terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan yang mungkin akan merusaknya nanti. Santa masih memiliki hati nurani, tapi semakin dia mencoba untuk melepaskan Andre, semakin dalam perasaan yang ia miliki. Dan disaat seperti ini, hanya satu yang dia bisa lakukan, selain mengeluh..

Santa menekukan kedua lutut di lantai kayu itu, melipat kedua tangannya di atas kasur dan kepalanya menunduk dalam. “Tuhan yang Maha kasih.. mungkin Kau telah bosan mendengar keluh kesahku. Tapi terima kasih karena sejauh ini masih menjadi pendengar setiaku, saat aku tidak bisa membagi ini dengan siapapun. Kau paling tahu isi hatiku, tunjukan jalanMu untuk kami. Aku yang selalu berlutut dan menangis untuk berdoa, ku mohon, berikan aku kebahagiaan. Aku ingin merasakan itu. Amin.”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku