Diawal pernikahannya, Arya adalah seorang pria yang menikahi wanita lain karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Meskipun pernikahan tersebut dibangun atas dasar kesepakatan orang tua. Arya sebisa mungkin mencintai Hilmi berusaha menjalani pernikahannya dengan tanggung jawab dan kesetiaan. Namun takdir berkata lain, Hilmi meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra. Arya merasakan kehilangan, cinta yang tulus dari Hilmi. Disaat merasakan kehilangan yang mendalam dia harus kuat, merawat seorang bayi kecil yang menjadi buah cintanya bersama Hilmi. Seiring waktu, Arya tumbuh menjadi ayah yang penuh kasih dan peduli terhadap anaknya. Kesehariannya diisi denfatanggung jawab seorang ayah tunggal dan perlahan-lahan hatinya kembali pulih. Namun, dibalik kehidupan yang tampak stabil, kenangan tentang wanita pertama yang pernah ia cintai masih membayangi. Sehingga seiring berjalannya waktu, Arya mulai membuka hati dan mengulang kisah lama. Meskipun awalnya Mera bersalah, Arya tak bisa menolak kenyataan bahwa cinta mereka pernah terputus oleh waktu. Kini dia menemukan dirinya terjebak dalam kisah cinta seolah-olah menjadi kelanjuran babak hidup sebelumnya. Arya harus berjuang menghadapi pandangan orang kedua orang tua serta mertuanya yang kurang menyukai keluarga sita.
Di sebuah desa kecil yang terletak di lereng perbukitan yang indah nan sejuk. Seorang pemuda alim bernama Arya tinggal. Dia lahir tinggal dan di besarkan di sana. Sosok yang tekun menjalankan agama juga menjunjung tinggi moral kehidupan.
Di masa lalunya, pada saat ia masih duduk di bangku sekolah. Dia pernah bersahabat dengan gadis manis sedikit tomboy bernama Sita. Mereka saling bertukar cerita, berbagi gelak tawa dan melewati masa-masa indah sebagai anak SMA bersama.
Tapi kisah mereka hanya sebatas itu pada masanya. Namun jalan Tuhan berkata lain ketika mereka sudah sama-sama mulai dewasa. Arya menyadari perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan. Perasaannya tumbuh bak lilin yang menyala di kegelapan, cahayanya memukau meski hanya setitik.
Dia sadar, cintanya akan sulit mendapatkan restu karena keluarga Sita bertolak belakang dengan keluarga Arya. Di saat ia mencoba jujur dengan Umi dan Abahnya. Mereka menegaskan, bahwa dirinya telah dijodohkan dengan Hilmi, anak dari kiyai Basir, seorang tokoh agama yang terkemuka di desa mereka. Restu pernikahan dengan Sita menjadi sesuatu yang mustahil.
"Apa ndak bisa dibatalkan, Umi?"
"Apanya yang dibatalkan? Umi dan Abahmu sudah sepakat dari dulu."
"Arya tau, Umi dan Abah sayang dan perduli. Tapi kalau urusan jodoh, boleh kan, Mi, Arya memilih?"
"Nda usah aneh-aneh kamu!" Abahnya membentak tak terima. "Terima keputusan orang tuamu, demi mendapatkan keturunan yang baik. Titik!"
"Abah –-"
"Sudah toh, Ar, Nurut." Uminya menyela.
"Arya sangat cinta dengan Sita, Umi." Arya tegas menyatakan perasaan yang selama ini dia tahan.
Abahnya bangkit, lalu menampar pipi kiri Arya. "Apa nda ada gadis lain, Ar? Kamu tahu sendiri orang tua Sita itu pemabuk, penjudi. Apa iya kamu mau makan cinta saja?!"
"Umi nda sangka kamu mencintai wanita seperti itu?"
"Sita orang baik, Umi, Abah."
"Nda, Ar. Abah sudah putuskan tanggal pernikahan. Nda ada kamu melawan, baik saja tidak cukup untuk menikah, bibit-bebet-bobot itu juga penting."
Arya sudah mencoba melawan arus, mempertahankan perasaannya. Namun ternyata tak semudah itu, tekanan dari keluarga hingga masyarakat yang sudah kadung mendengar berita perjodohan mereka, membuat posisinya sulit untuk berkembang. Hingga suatu hari Arya harus menyerah pada keputusan orang tua dan menikahi Hilmi.
Pernikahan itu seolah menjadi pukulan telak baginya. Arya harus merelakan cintanya, berusaha menerima perasaan Hilmi dengan tulus. Sementara disaat yang sama Sita yang mencintai Arya diam-diam berusaha menjauh dan membuang perasaannya.
***
Bertahun-tahun berlalu, Arya dan Hilmi telah memiliki kehidupan pernikahan yang stabil.
Namun, suatu hari Sita yang yang telah pergi menjauh, tiba-tiba datang kembali ke kampung halamannya. Pertemuan mereka terjadi begitu saja tanpa direncanakan memunculkan kenangan-kenangan yang dulu terpendam. Posisi Arya kini dihadapkan dengan pilihan sulit: melanggar ikatan pernikahan atau mengubur perasaannya sekali lagi.
Hati Arya gamang, mendapati dirinya berasa di titik konflik dengan batinnya sendiri. Arya harus membuang jauh perasaannya, memegang teguh norma dan nilai masyarakat. Jika salah melangkah, pilihan hidupnya akan mempengaruhi kehidupan Hilmi dan Kiayi Basir yang memang mereka orang paling berpengaruh di daerahnya.
Kini kehidupan rumah tangganya mulai stabil, Arya sudah mencintai Hilmi meski jauh di lubuk hatinya masih ada setitik rasa yang tersimpan.
Siang itu sepulang mengajar, Arya duduk di kursi rotan depan rumahnya. Memandangi hijau pedesaan tempatnya tinggal. Hilmi datang membawa segelas air lalu masuk kembali ke dalam rumah. Tak seperti biasanya.
"Mas!" Hilmi berdiri dihadapannya dengan menyembunyikan kedua tangan dibelakang. "Bisa tebak aku bawa apa?"
Arya mengerutkan dahi. Sementara Hilmi tersenyum simpul seolah tak ada lagi kebahagiaan yang bisa ia tutupi.
"Opo, Dek? Kamu ini bikin Mas penasaran aja. Ono opo?" Dia mendesak Hilmi dengan ekspresi wajah yang campur aduk.
Hilmi tersenyum lebar, menunjukan benda pipih tipis yang sedari tadi disembunyikan. "Sampean sebentar lagi jadi Ayah."
Arya terdiam sejenak, seolah otaknya terlambat mencerna berita tersebut. Meskipun sebagian hatinya merasakan kebahagiaan di sisilain dia merasa takut jika menjadi Ayah yang serba kekurangan.
Selama sembilan bulan Arya dan Hilmi menanti kelahiran anak pertamanya. Selama itu juga Arya mulai fokus untuk melindungi dan mencintai Hilmi. Menjadi sosok suami dan calon Ayah yang terbaik.
Namun, saat proses yang ditunggu tiba. Setelah beberapa jam Hilmi melahirkan putra kecilnya ke dunia ini. Takdir seolah mempermainkannya. Sekali lagi, tragedi menimpa Arya.
Hilmi terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dan Arya memegang tangan istrinya yang sudah pucat dan dingin. Dia mengosok-gosok tangan istrinya agar suhu tubuhnya kembali hangat.
Dengan Nafas tersengal Hilmi berbisik lirih memanggil suaminya itu. "Mas ... sampean ngerti kan ... di dunia ini cuma kamu, laki-laki yang aku cintai selain Abi."
Arya menggenggam erat tangan istrinya yang semakin dinding. "Iya, Mas sangat tau."
Hilmi tersenyum lemah. "Sepertinya waktuku bersama anak kita tak akan sampai lama. Sebelum aku mengucap kata cinta kepada anakku, aku ingin kamu tau, betapa beruntungnya aku memiliki kamu sebagai suamiku dan kamu adalah pilihan terbaik yang Alloh kirimkan buat aku."
"Kamu ini ngomong apa? Istirahat ya, Sayang." Arya berusaha menyembunyikan tangisnya.
"Jaga dia baik-baik. Jadi Ayah yang hebat buat dia." Hilmi menghela nafas dalam.
Di saat itu Arya sangat sulit mengontrol tangisnya. "Iya, Sayang, Iya. Cepat sembuh, ya, kita besarkan dia bersama-sama."
Hilmi yang saat itu berusaha bersusah payah bicara dalam lemahnya. "Aku tau semuanya, aku tau perasaanmu, Mas."
Arya tersentak. "Sayang, aku ...."
Hilmi meraih tangan Arya dengan lemah. "Jangan biarkan cintaku menjadi beban. Kamu adalah suami yang baik. Jaga dirimu baik-baik setelah aku tiada."
Setelah itu Hilmi menarik nafas panjang, tangannya jatuh terkulai lemas. Dia menutup mata. Sementara Arya di samping ranjang menggenggam erat tangan istrinya, membiarkan tangisnya pecah. Dia merasa sesak juga terbelenggu rasa bersalah.
Di desa itu telah tersebar tentang kepergian Hilmi. Suasana duka bagi semua orang yang mengenalnya. Semua orang berkumpul di TPU untuk proses pengebumian.
Langit kelabu menyiratkan kesedihan yang melanda. Arya bersama kedua orang tua Hilmi, Umi dan Abahnya berdiri di barisan depan.
Isak tangis mengiringi prosesnya.
Arya turun ke bawah mengantar istrinya ke tempat peristirahatan terakhir.
Kiayi Basir mengusap pelan punggung Arya. "Sing sabar ... ini ujian berat bagi kita semua."
Arya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ia sadar telah kehilangan seseorang istri yang istimewa dalam keikhlasan.
Sementara itu, Sita yang juga hadir di pemakaman merasa sedikit cemas. Iya berdiri agak menjauh, tidak ingin menambah beban pada keluarga yang berduka.
Suasana sangat terasa penuh duka juga kepedihan. Pemakaman dilanjut dengan doa dan kata-kata penghibur. Namun semua orang terasa hancur dihari itu. Semua warga yang hadir turut merasakan kehilangan yang mendalam.
Sosok Hilmi yang periang, murah hati, sopan juga rajin beribadah itu sudah tak ada lagi. Mereka amat sangat kehilangan.
Di kediaman Hilmi di hari berikutnya, banyak anak-anak juga warga dari kampung sebelah berdatangan. Menyampaikan bela sungkawa atas kepedihan dan kehilangan saudari seiman mereka.
Ibu Retno menyalami Ibu kartika-ibunda Hilmi. "Sabar, yo, Bu."
Ibu Kartika mengangguk sambil kerkaca-kaca. "Iyo, Bu. Aku masih gak percoyo. Anakku--Hilmi ya Allah ...."
"Wes, to, Buk. Melas Hilmi, kita sekarang hanya perlu berdoa. Biar dia ditempatkan di sisi Allah." Bu Retno memeluk sambil mengelus-elus punggung Ibu Kartika.
"Iyo, Bu." Tangis yang Bu Kartika tahan susah tak terbendung lagi. Dirinya luruh kelantai tangisnya pecah.