Sindy sebagai warga Desa Kembang Sari, merasa terganggu akan teror wewe gombel. Banyak warga yang kehilangan bayi mereka. Bayi merah yang baru lahir, adalah santapan lezat wewe gombel. Prasangka ditunjukkan pada seorang nenek tua, yang sering disebut Nyai Junati. Seorang nenek yang hidup bersama cucunya, yang kehilangan kewarasan. Setiap menjelang waktu magrib, wewe gombel akan mencari mangsa. Dia berupa kelelawar besar, berkepala nenek tua yang hitam pekat. Warga hanya mampu melihat gigi putih sang nenek yang tinggal satu.
Awan gelap memenuhi langit sore ini, hawa mencekam dirasakan Sindy. Entahlah, akhir-akhir ini suasana seakan terasa lebih gelap dari biasanya. Sindy yang sedang mandi sore di sungai, cepat-cepat naik. Perkiraannya akan turun hujan yang besar.
"Ran, cepetan naik. Angin hari ini lumayan gede. Takut aku." Seru Sindy pada teman karibnya Rani.
"Iya, juga Sin. Kok, rasa-rasa agak horor ya."
"Hem, cepetan Ran. Sudah mau magrib juga."
Sindy dan Rani, melangkah pulang dengan tergesah-gesah. Melewati pematang sawah yang membentang hijau. Rintik hujan sudah mulai turun.
Tiba-tiba, bayangan hitam besar lewati diatas mereka berdua. Sindy langsung berhenti.
"Ran, bayangan apa barusan. Gede amat."
"Gak tau Sin, jangan-jangan hantu."
"Huss, kalo ngomong jangan sembarangan. Kok, kaya burung besar banget ya."
"Entahlah, aku tak begitu yakin Sin."
Mereka berdua melanjutkan lagi perjalanannya. Setelah sampai di jalan kampung. Banyak warga berkumpul, di depan rumah Laras. Setahu Sindy Laras baru melahirkan anak perempuannya. Mungkin, warga sedang melihat bayinya Laras. Tapi kok, ada yang aneh.
"Itu, Laras kenapa Sin?"
"Iya, hayu lihat."
Laras disana tengah menangis histeris. Dia menjambak-jambak rambutnya. Menyesali sesuatu.
"Ampuun, Gusti. Tolong hambamu ini." Raungnya.
"Laras kenapa Ceu?" tanya Sindy pada salah satu warga.
"Itu, si Laras kehilangan bayinya."
"Kok bisa?"
"Katanya dia tadi pergi ke kamar mandi, Ibu dan Bapaknya lagi di dapur. Jadi, bayinya gak ada yang jaga. Pas balik Laras lihat sosok hitam seperti kelelawar membawa anaknya pergi."
"Astagfirullah, akh yang bener Ceu? mahluk apa itu?"
"Eceu juga gak tahu, kata Laras sih dia kelelawar berkepala nenek-nenek."
Sindy mengusap tengkuknya, merinding juga mendengar penjelasan si Eceu. Entah, bagaimana sakitnya perasaan Laras harus kehilangan anaknya.
"Sin, pulang yuk. Aku takut cuman dengernya juga." Seru Rani menarik tangan Sindy.
"Iya, hayu."
Mereka berjalan berdampingan, sambil menengteng bakul yang berisi cucian piring. Warga Desa memang akan mandi dan mencuci di sungai bawah. Aliran sungai yang jernih dimanfaatkan menjadi tempat bersih-bersih. Namun, kali ini Sindy kesorean mandinya. Karena, habis panen jagung di kebun Bapak.
"Sin, menurut kamu itu hewan apa ya?"
"Gak tahu, jadi pengen lihat gimana wujudnya."
"Huss, kamu kalo ngomong kok sembarangan Sin, Sin."
"Ya habis kamu bahas itu lagi."
"Stop Sin," Rani menghadang langkah Sindy. "Coba lihat, Nyai Junati dari mana sudah hampir magrib gini dia keluar?"
"Ada keperluan kali."
"Masa? bentar, dia bawa apaan didalam karung itu. Berdarah-darah lagi?" Sindy menajamkan pandangannya. Benar saja entah apa yang di bawa Nyai Junati, seakan dia keberatan membawanya.
"Mungkin hewan mati, Ran."
"Gak Yakin aku. Sudahlah, aku pulang ke rumah dulu. Kamu ikuti saja dia mencurigakan."
"Enak saja kok aku."
"Rumahnya kan sebelah rumahmu. Jadi, gampang buat lihatnya."
Sindy mendengus kasar, Rani ada benarnya juga. Apa yang dibawa Nyai Junati? Mencurigakan sekali. Sindy mengendap mengikuti langkah nenek tua itu. Kini dia hanya sendirian, jarak rumahnya dan Rani agak jauh, juga beda arah.
Nyai Junati sedikit menyeret karung itu. Dia, mengendap disamping rumah langkahnya seakan dibuat sepelan mungkin. Sindy buru-buru, menyusul dari belakang. Nyai Junati berbelok ke belakang. Isi kepala Sindy dipenuhi rasa curiga. Dia langsung berbelok ke belakang rumah itu. Suasana rumah Nyai Junati, agak terlihat seram. Penerangan lampu berwarna kuning di depan rumah, seakan mendukung betapa menyeramkannya rumh itu.
"Lagi ngapain kamu disini?" Seseorang bersuara dibelakang.
Sindy berbalik, jantungnya berdetak lebih cepat. Disana Sarah cucunya Nyai Junati, tengah melotot sambil berkacak pinggang didepannya.
"Eng.. enggak, aku tadi lihat Nyai Junati bawa karung berdarah."
"Kamu salah lihat, sana pergi."
Sindy buru-buru pergi, meninggalkan Sarah yang tengah diambang kemarahannya. Sarah agak sedikit berbeda, dia kadang seperti orang biasa. Namun kadang juga seperti orang gila. Konon katanya dia jadi begitu setelah orangtuanya meninggal dalam kecelakaan. Entah, benar atau enggak karena sampai saat ini jasadnya tak di bawa pulang. Makamnya tak pernah ada yang tau berada dimana.
***
Sindy akhirnya sampai dirumah. Dia masih bingung dengan kemarahan Sarah tadi. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apa? rasa penasaran Sindy semakin kuat. Sindy semakin penasaran dengan kisah keluarga itu.
"Sindy!"
"Astagfirullah, Ibu kaget aku. Apa coba teriak-teriak."
"Kamu lagi ngapai berdiri disitu?"
"Enggak."
"Sana cepetan sholat, udah adzan tuh. Habis itu makan, ada sop ayam."
"Tumben sama ayam. Dari mana, Bu."
"Itu dikasih Mbak mu."
"Oh," Sindy berlalu kebelakang rumah, mengambil wudhu.
Sindy adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya tinggal jauh dikota sana, sedangkan Kakak perempuannya hanya terhalang beberapa rumah saja dari sini. Saat ini Indah Kakak Sindy, tengah mengandung.
Dilain tempat Bu Ira, tengah menyiapkan makanan untuk anaknya. Kebetulan, sore tadi anaknya yang nomor dua memberi sop ayam. Hari ini mereka makan enak.
"Pak, ayo makan dulu." Ajak Bu Ira pada suaminya.
"Sindy mana Bu?"
"Masih dikamarnya Pak. Sin.. Sindy.. cepetan makan dulu." Teriak Bu Ira
"Iya, ini aku Bu." Jawab Sindy. Sambil ikut duduk diatas tikar.
"Pak, Bu, tadi denger gak Laras kehilangan anaknya?"
"Iya Bapak denger, kasihan ya dia."
"Bisa hilang begitu ya, kata warga diculik kelelawar besar Pak."
"Iya itu namanya wewe gombel. Makannya kalau punya bayi, mau magrib pintu sama jendela harus ditutup rapat. Biar dia tidak masuk."
"Begitu ya Pak, aku baru denger soal wewe gombel ini."
"Dulu juga pernah begini, sekarang malah muncul lagi. Kamu juga dulu hampir diculik."
"Masa Pak, serem amat."
"Untung saja kamu masih bisa selamat."
Mendengar penuturan Bapak, Sindy bergidig ngeri. Entah apa yang akan terjadi jika, dirinya diculik wewe gombel.
"Lalu, kenapa disebut wewe gombel Pak?"
"Bapak juga gak tahu, asal sebutan itu dari mana. Bapak cuma dengar dari mulut ke mulut saja."
"Sudah-sudah, jangan bahas itu lagi. Takut Ibu, kita harus extra jaga Kakakmun. Ibu jadi khawatir, apalagi sudah masuk 9 bulan. Sebentar lagi dia lahiran, Pak."
"Suruh dia lahiran dirumah kita aja, Bu. Bilang sama suaminya, Bapak yang nyuruh."
"Iya, nanti Ibu sampaikan."
"Sindy, kalau mandi kesungai jangan sampai petang. Ibu jadi was-was kamu diculik juga."
"Hahaha, Sindy udah gede, Bu. Masa iya diculik. Tenang Sindy mah wanian (berani)."
"Cepet habisin, makannya. Biar kamu gak cungkring terus. Punya perawan kok ya kecil. Mana mau laki-laki tertarik sama kamu."
"Makanya, Sindy cari jodoh itu yang bisa terima apa adanya. Bukan mau buah doang." Balas Sindy sinis.
"Kamu kalau dibilang, nembal mulu." Bu Ira menoyor badan putri bungsunya.
Bab 1 Awal mula muncul wewe gombel
21/07/2023