Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Marissa Sang Pelakor

Marissa Sang Pelakor

Husni Gunawan

5.0
Komentar
158
Penayangan
2
Bab

Marissa, seorang wanita yang tidak pernah merasakan kebahagiaan sedetikpun dalam hidupnya. Suatu kali dia mencoba mengakhiri hidupnya yang terasa tak berguna. Namun aksinya itu digagalkan oleh seorang lelaki. Sejak saat itu, sang Lelaki mendapat tempat di hatinya. Hingga Marissa jatuh cinta padanya. Namun apa daya, lelaki itu suami orang.

Bab 1 Chapter 1 ~ Pisah

Aku sudah tak sanggup lagi, kehidupan ini tak ada artinya lagi bagiku. Jika memang menyudahinya adalah pilihan yang terakhir, aku siap.

Aku mengambil sisa tali jemuran yang dulu kubeli saat pindah ke rumah ini. Menggeser sebuah bangku sebagai tempat memanjat. Aku menggantungkan tali itu di kayu loteng rumahku yang tanpa plafon, lalu kubuat simpul ikatan dari tali jemuran berwarna hijau itu.

Aku sudah sangat siap. Kumasukkan lingkaran tali itu ke leherku, menggeser simpulnya hingga tali itu mencengkram kuat batang pernafasanku. Air mata tak berhenti mengalir dari kedua mataku.

Lalu dengan sekuat tenaga ketendang bangku yang menjadi pijakanku.

BREKK!

Saat bangku itu jatuh ke samping, otomatis tali menegang karena menahan beban tubuhku.

ZEPP!

Sakit sekali rasanya, seolah mematahkan tulang leherku.

Di detik ini, aku sudah hampir kehabisan udara.

Kenapa aku sampai terpikir untuk bunuh diri? Kisahnya bermula saat aku berumur delapan tahun.

Sejak awal, kedekatan ayah dengan ibu tidak disetujui oleh keluarga ayahku. Karena keluarga ayah merupakan orang berduit, sedangkan ibu hanya seorang yatim piatu yang merantau dari kampung ke kota.

Namun seperti kebanyakan orang yang sedang kasmaran, mereka berdua tidak peduli dengan semua perbedaan itu, mereka merasa sudah menyatu, disatukan oleh bahasa cinta.

Orang tuaku pun menikah dan tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan tipe 30. Keluarga ayah menganggap pernikahan itu sebagai pemberontakan, sehingga mereka mencoret nama ayah dari Kartu Keluarga!

Kenyamanan pasangan pengantin baru itu hanya sementara, di hari berikutnya masalah keuangan memaksa mereka untuk bertarung melawan kerasnya kehidupan.

Ayah yang sudah kehilangan semua fasilitas mewah dari keluarganya yang kaya, mau tak mau harus memulai dari nol lagi. Pergi pagi pulang malam, mengupayakan sesuap nasi untuk istrinya.

Ibu juga begitu. Untuk menambah pemasukan, ibu membuka kedai kopi kecil-kecilan di halaman rumah yang tidak seberapa lebar itu. Ada juga Indomie Rebus, Indomie Goreng, Teh Telur, sehingga ayah sangat terbantu oleh keuntungan yang dihasilkan dari kedai kami itu.

Hingga suatu hari ...,

"Mas Bram, aku hamil!" ucap ibu.

Ibu pernah bilang, bahwa saat mendengar kabar kehamilannya, Ayah sangat bahagia hingga lelaki itu menangis.

Ayah sangat mencintai ibu, juga mencintaiku yang saat itu masih berupa janin di dalam perut. Karena itu ayah menyuruh ibu untuk menghentikan semua aktifitas yang akan membuatnya lelah, termasuk berjualan di kedai depan rumah.

Karena mematuhi perintah suaminya, otomatis ibu pun tidak berjualan lagi dari sejak hamil hingga selesai menyusui.

Memasakpun hanya sesekali, karena ayah menjadi jarang di rumah. Dia harus bekerja siang malam, apapun dikerjakan olehnya. Sampai terkadang ayah harus tidur di luar, di tempat temannya.

Ibu hanya menyiapkan lauk seadanya untuk kami berdua.

Ibu kembali berjualan ketika aku sudah disapih, tidak lagi menyusu pada ibu. Namun ayah masih terbiasa tidak pulang, kadang hingga tiga hari.

Hari berganti, tahun berlalu. Tiba masanya aku masuk sekolah. Ayah ibu harus menyediakan uang untuk pembayaran seragam sekolah, termasuk sepatu, buku tulis dan perlengkapannya. Juga uang pembangunan. Saat itu umurku tujuh tahun.

Beberapa waktu belakangan ayah mulai sering mengeluh.

"Capek aku, Rin! Aku udah bosan miskin" keluh ayah pada ibu.

"Sabar, Mas ... ada Marissa yang sedang kita perjuangkan! Kita mesti kuat!" sahut ibu sambil memijit kaki ayah.

Sejak hari itu sikap ayah berubah seratus delapan puluh derajat. Aku sering melihat ibu menangis tanpa tahu penyebabnya.

Puncaknya saat aku baru naik ke kelas dua. Suatu pagi setelah ibu selesai memasak, kedua orang tuaku bertengkar hebat. Ibu menangis, lalu memasukkan baju-bajunya ke dalam sebuah Duffle Bag. Kemudian pergi meninggalkan rumah begitu saja.

"Mau kemana kau?" teriak ayah pada yang ibu yang sudah berada di luar rumah, ibu tidak menoleh sedikitpun.

"Anakmu kau tinggalin gitu aja?" teriak ayah lagi.

Ketika itu aku berdiri mematung menyaksikan pertengkaran dua orang yang sangat kucintai, hanya mereka yang kumiliki di dunia ini. Aku cuma bisa menangis.

"Urus sama kau anak kau itu!" balas ibu sambil pergi menjauh.

"Kau yang urus!" Ayah tak mau kalah, suaranya lebih nyaring.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ayah, karena dia juga masuk ke kamar dan memasukkan baju-bajunya ke dalam ransel.

Setelah menyandang tas itu di pundaknya, ayah mendekatiku. "Sabar ya, Nak! Nanti ibumu juga akan pulang, kamu tunggu disini ya, di rumah kita," ujar ayah sambil menyapu lelehan air mata di pipiku dengan jarinya.

Aku tidak bisa menjawab, hanya mampu terisak.

Mungkin ayah berpikir bahwa ibu akan kembali ke rumah itu dan mengurusku, karena itu dia akhirnya juga pergi meninggalkan rumah, meninggalkan aku seorang diri.

Aku yang menjadi bukti bahwa mereka pernah saling mengasihi, ditinggalkan begitu saja.

Masing-masing mereka telah pergi meninggalkan rumah yang dulu menjadi surga bagi kami bertiga. Ayah mengira istrinya akan kembali ke rumah sedangkan ibu mengira suaminya yang akan bertahan di rumah.

Akhirnya aku yang saat itu berumur delapan tahun tertinggal sendirian di kediaman kami, tanpa ada satu orang dewasa pun yang mendampingi.

Ibu tadi sempat masak, jadi ketika aku lapar, tinggal ambil saja. Aku yang sudah berumur delapan tahun tentu mengerti tentang urusan perut, meski tidak disiplin. Aku hanya akan makan bila perutku sudah benar-benar terasa lapar.

Siang menjadi sore, sore berlalu, malam pun tiba. Pintu depan tidak kukunci, kubiarkan tetap terbuka, berharap mereka akan kembali, setidaknya salah seorang dari mereka.

Aku duduk menunggu ayah dan ibuku disana, di pintu itu.

Namun harapan kadang hanya sebatas angan. Aku terbangun di pagi hari dengan posisi masih berada di depan pintu yang terbuka.

Di hari kedua, aku masih menunggu mereka, tak sekalipun pintu itu kututup. Aku sangat yakin bahwa mereka akan kembali. Bukankah mereka menyayangiku? Darah daging mereka sendiri?

Namun di pagi berikutnya, saat aku terbangun, aku masih menemui kenyataan yang sama.

Tetangga mulai berdatangan. Sebenarnya mereka sudah memperhatikanku sejak pertengkaran hebat ayah dan ibu, tapi mereka memilih tidak ingin ikut campur.

Wajahku pucat, tubuhku menyusut hanya dalam dua hari saja! Tatapanku sayu, tidak ada semangat hidup yang terpancar dari kedua bola mataku.

Pak RT meraih ponselnya, mencoba menghubungi kedua orang tuaku, namun tak ada satu pun nomor mereka yang aktif.

Pak RT kemudian mengajak beberapa warga untuk berembuk mengenai nasibku. Akhirnya mereka sepakat untuk menyerahkanku ke dalam wewenang Dinas Sosial.

Menunggu pegawai Dinas Sosial tiba, seorang ibu-ibu tetangga kami menyuapiku makan.

"Yang sabar, Nak ..., mudah-mudah kamu jadi orang sukses!" ucapnya sambil sesekali mengusap rambutku yang panjang sebahu.

Akhirnya yang ditunggu datang juga, sebuah mobil Van berhenti di depan rumahku.

"Kami akan menyerahkan Marissa ke panti asuhan. Jika orang tuanya kembali, minta mereka untuk melapor ke Dinas Sosial. Ini kartu nama saya, Pak!" terang pegawai Dinas Sosial pada Pak RT.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku