Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gairah Berbahaya Si Gadis Lugu

Gairah Berbahaya Si Gadis Lugu

Usagi

5.0
Komentar
4.5K
Penayangan
12
Bab

Warning! Cerita ini mengandung dewasa dan kata-kata toxic! Harap bijak memilih bacaan. Menceritakan tentang Rheina, si gadis polos nan lugu yang berniat menyelamatkan sahabatnya dari tawanan tuan tanah, yang akhirnya sang ayah malah menjadikan sahabatnya itu menjadi istri keempatnya. Hidup di tengah keluarga toxic membuat Rheina pun ikut terjerumus dalam lembah kenistaan. Simak kisah cinta segitiga antara Rheina si gadis lugu dengan dua pria lainnya.

Bab 1 Pria Menyebalkan

“Rheina, sebagai teman satu desa sama Sarah, kamu yang seharusnya datang ke rumahnya dan mencari tau keadaan dia,” kata Satria teman satu angkatan di kampus.

Sarah adalah teman sejak kami sekolah menengah dan sudah satu Minggu ini dia tidak masuk kuliah. Beberapa teman yang biasanya tidak terlalu peduli dengan Sarah pun mulai menggumamkan kata-kata. Pasti mereka menyesal karena sering membully Sarah dan akibatnya gadis itu tidak mau lagi masuk kuliah.

Sarah memang termasuk siswi yang aneh, dia tidak banyak bicara, terlalu serius bila menatap orang lain, dan selalu berbicara tidak jelas. Banyak para siswa mengolok-oloknya bahkan tak jarang membully, aku yang menjadi teman satu mejanya kerap sekali kesal dengan sikap mereka.

“Bagaimana, Rhein?” tanya Satria lagi meminta jawabanku.

“Baik, aku akan ke rumahnya nanti setelah kelas selesai,” kataku akhirnya menyanggupi permintaan teman-teman.

“Bagus kalau begitu, kami tunggu kabarnya besok,” ucap Satria yang langsung membahas hal lain seputar kuliah.

Sepulang dari kampus, aku langsung menacap gas motor matic ku ke arah pulang, sebenarnya arah rumah Sarah dan aku berlainan arah, tapi tidak apa lah, aku sekalian saja.

“Rhein, tunggu, Rhein!” Seseorang berteriak memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan ternyata Ayu teman sekelas ku yang memanggil. Aku pun menghentikan laju motorku dan menunggunya sampai ke tempatku.

“Kamu serius mau ke rumah Sarah?” tanya Ayu dengan napas masih tersengal-sengal akibat berlari tadi.

“Iya, kenapa? Kamu mau ikut?” tanyaku menodong.

Ayu menggeleng cepat, membuat rambut sebahunya ikut bergoyang-goyang.

“Gak, aku cuma mau kamu hati-hati aja.”

Aku menyipitkan mata. “Hati-hati?”

“Kamu kan tau kalau Sarah itu agak sedikit aneh di sekolah, aku khawatir keluarganya pun seperti itu,” kata Ayu berbisik. Aku, Ayu, dan Sarah memang satu sekolah dulu saat di menengah atas.

“Hust! Gak boleh begitu,” kataku mengingatkan.

“Ya, sudah. Aku cuma minta kamu hati-hati saja, Rhein.”

“Iya, iyaa. Aku berangkat nih,” ujarku sembari kembali menekan stater motorku.

Ayu pun mengangguk dan mundur menjauh. Aku bergegas menekan gas dan kendaraan roda duaku mulai meluncur di jalanan. Setelah menempuh jarak kurang dari dua kilometer dari arah sekolah akhirnya aku sampai di kediaman Sarah. Rumah itu tidak terlalu besar dan jauh dari tetangga, terdapat pohon mangga yang rindang di halaman depan, banyak daun-daun kering yang berserakan di bawahnya dan beberapa sampah plastik. Seperti tidak ada yang membersihkan atau memang rumah itu tidak ada penghuninya.

Aku mematikan mesin motorku dan menurunkan standar samping. Aku belum turun dari motor, ketika seseorang membuka pintu depan rumah Sarah. Pria tinggi dengan tubuh yang atletis dan berkulit sawo matang muncul dari balik pintu itu. Pria itu memakai kaus berwarna biru navy dan celana jeans yang sudah dipotong selutut. Usianya sekitar dua atau tiga tahun di atasku. Wajahnya lumayan ganteng tapi tatapan matanya sangat menyiratkan kesan tidak suka.

“Ngapain kamu?!” tanyanya ketus.

Aku melangkah ke arahnya dan hendak naik ke teras rumah. Setahuku dia adalah kakaknya Sarah, tapi aku tidak tahu namanya siapa.

“Berhenti di situ!” teriaknya lagi dengan suara lantang.

Aku mengerutkan kening. Mau tak mau aku pun berdiri diam di tempatku.

“Aku mau cari Sarah, dia ada di dalam, kan?” kataku langsung.

“Sarah sudah mati, kami menguburnya kemarin!” katanya masih dengan nada ketus.

“Hah?!” Aku tidak akan percaya semudah itu dengan kata-katanya barusan.

“Sudah sana pulang!” usirnya seraya mengibas-ibaskan tangan ke arahku.

Tapi aku bersikeras tidak akan pulang sebelum bertemu dengan Sarah. Aku sudah berada di sini dan tidak mungkin aku akan pulang dengan tangan kosong.

“Aku mau ketemu Sarah dulu, baru sehabis itu pulang,” ujarku menawar dan naik ke atas teras berdiri tepat di hadapannya.

“Eh, eh! Dikasih tau melawan ya!”

Entah mengapa sikap pemuda ini tidak ada baik-baiknya sama sekali padaku.

“Sarah!” teriakku lantang.

Laki-laki itu melotot tajam ke padaku. Aku balas menatapnya tajam. Dia pikir aku takut.

“Di mana Sarah?” tanyaku lagi ngeyel.

“Dibilang dia sudah mati! Tidak percaya sekali kamu, huh!” dengusnya bersungut-sungut.

Tentu saja aku tidak percaya.

“Di mana kalian menguburnya?” tanyaku menantang.

“Dasar cerewet! Sini ikut!” katanya lalu berjalan ke belakang rumah. Aku pun mengikutinya dari belakang.

Laki-laki itu terus berjalan menyusuri jalan setapak di belakang rumah yang dipenuhi dengan tumbuhan merambat dan pohon-pohon rimbun.

“Mau kemana?” tanyaku yang mulai berpikir macam-macam.

“Katanya tadi mau ketemu Sarah,” balasnya tanpa menoleh ke arahku. “Nama kamu siapa?” tanyanya kemudian.

“Rheina.” Aku menjawab cepat. Kulihat kepala laki-laki itu manggut-manggut. “Kamu?” tanyaku balik.

“Peduli amat!” ketusnya lagi.

Sialan! Makiku kesal. Benar-benar kurang ajar dia. Lelaki itu terus berjalan mengikuti jalan setapak, entah ke mana dia akan menuju. Di sekitar sini hanya ada pohon-pohon dan tumbuhan tidak ada apa-apa lagi selain itu, bahkan kami sudah agak jauh dari rumah. Aku mulai paranoid. Takut bila lelaki itu akan memperkosaku. Argh!

“Jangan mikir yang macam-macan, kamu pikir aku tertarik sama kamu, cuih!” katanya seraya membuang ludah.

“Dih, sombong!” Aku mendengus, ternyata selain menyebalkan dia pandai membaca pikiran. Aku harus hati-hati.

Aku memilih berhenti tidak lagi mengikutinya, biarkan saja dia berjalan sendirian.

“Kenapa berhenti?” tanyanya tapi aku memilih tidak menjawabnya. “Jangan salahkan aku kalau kamu di gigit ular nanti,” katanya menakut-nakuti.

Aku melotot, lalu berjalan cepat menuju ke arahnya. Kami sampai ke aliran sungai yang jernih airnya. Kemudian lelaki itu membuka kausnya berikut dengan celananya. Mataku terbelalak dengan apa yang kulihat.

“Apa-apaan?!”

“Aku mau mandi,” katanya enteng. Dia sudah telanjang bulat dan ... sesuatu yang panjang di bagian tubuhnya pun sedikit bangun. Aku memejamkan mata, tak berani melihat ke arahnya. Aku akui ini bukan pertama kalinya aku melihat pria telanjang bulat, walau biasanya hanya dalam film biru. Tapi, tetap saja pemandangan di depanku membuat wajah ku kian memanas.

Kudengar suara tawa dari mulut lelaki kurang ajar tersebut. Benar kata Ayu, keluarga Sarah semua aneh!

Aku benar-benar bodoh mau saja mengikutinya sampai ke sini. Ada sebuah batu besar tak jauh dari aku berdiri, gegas aku ke sana dan berdiri bersandar pada batu itu. Lelaki itu sudah menceburkan dirinya ke sungai yang aliran airnya sedang. Tubuh berototnya yang berkulit coklat terlihat sangat menggairahkan, dengan susah payah aku menelan ludah.

“Mau bergabung?” tawarnya dengan senyum miring. Aku mengalihkan wajahku ke arah lain. “Rheina Anindara.”

Aku menoleh ke arahnya lagi ketika dia menyebut nama lengkapku. Kembali lelaki itu tersenyum miring.

“Aku tau siapa kamu, putri Pak Bono orang paling kaya di desa,” katanya menyebut nama ayahku. “Siapa sih, yang gak kenal sama pria tukang kawin.”

Aku menunduk menatap sepatu kets-ku yang tertimbun di rerumputan. Aku memang selalu malu bila menyangkut dengan ayahku. Ayah memiliki empat istri, dan aku adalah anak dari istrinya yang kedua. Istri pertama ayah meninggal setelah melahirkan, lalu menikahi ibu untuk merawat putranya yang masih berusia satu bulan saat itu. Lalu, tiga tahun kemudian ibu melahirkan aku, tetapi saat itu juga ayah menikah lagi dengan seorang gadis muda yang katanya sudah kadung hamil anak ayah. Tetapi, hanya ibu yang boleh tinggal di rumah utama, sementara dua istri ayah yang lainnya di bangunkan rumah masing-masing. Namun, tak lama usiaku menginjak remaja, ayah sudah menikah lagi dengan seorang janda dari desa seberang.

Aku menatap sepasang kaki basah di depan kakiku. Sontak aku mendongakkan kepala dan mendapati laki-laki itu sudah berdiri di depan tubuhku dengan bertelanjang dada, dan untungnya dia sudah mengenakan celana jeans-nya.

“Aku pikir kamu kesambet,” katanya.

Mungkin aku kesambet karena melihat burung miliknya!

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Usagi

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku