Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
27
Bab

"Berhentilah menangis atau aku akan melakukan lebih dari sekadar menyobek bajumu, Arini." Namun, mendengar ucapan Rexy, suara tangisku malah makin mnenggema bersama aliran shower yang terus membasahi badanku dan Rexy, pria yang membiarkanku memeluknya yang masih menopang tubuhku. "Damn it, seharusnya aku memang membunuh mereka semua." Penasaran? Yuk kepoin👇

Bab 1 Mengizinkannya Menyakitiku

Aku tidak tahu dorongan darimana yang menyuruhku untuk datang ke kantor suamiku. Mungkin, instingku benar-benar meyakinkan diriku kali ini.

Aku datang. Namun, aku tak pernah masuk ke dalam kantor suamiku. Aku hanya berdiam diri di dalam mobil dalam diam. Memperhatikan pria yang seharusnya suamiku sedang menciumi wanita yang selalu membuatku merasa tak aman. Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat melihat semesra apa mereka di lahan parkir yang sepi, seolah tak peduli jika ada mata manusia yang melihat.

Pelukan, pagutan, ciuman yang membuatku sakit. Namun, aku tak mampu mengalihkan pandanganku!

Rasanya ... aku bahkan tak berkedip meski aku bernapas karena itu hal wajar untuk kulakukan.

Bernapas!

Brukk!!

Aku bahkan baru sadar jika sudah berdiri di salah satu lobi hotel saat tubuhku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang, entahlah.

Aku seperti di sini, tapi otakku melayang entah ke mana. Bahkan, suara ramai kesibukan terasa samar di telingaku.

Udara dingin yang terasa menusuk berkat pendingin ruangan tak berpengaruh apapun padaku yang diam terpaku, menatapi lobi tanpa perduli saat berpasang-pasang mata menatapiku heran.

Mungkin mereka berpikir aku orang tersesat, tapi tak ada yang mendekat untuk sekadar bertanya. Mereka hanya menatapiku yang berdiri masih mencerna apa yang sedang aku lakukan.

"Mariot hotel?"

Ah, aku berada di salah satu hotel mewah yang membuatku merasa salah tempat karena bukan hotel yang ingin ku tuju tapi kantor suamiku.

''Sedang apa aku di sini?"

Tubuhku langsung kaku saat kesadaranku kembali. Mungkin, wajahku sudah seperti lembaran kertas putih yang pucat sampai seseorang menyapaku.

Aku yang menoleh, bahkan tak jelas mendengar apa yang ia tanyakan sampai ia mengajakku duduk di sofa empuk yang rasanya membuat tubuhku menjerit dalam bisu.

Detik berganti.

Waktu berputar begitu lama dan mataku selalu memandangi lift yang berbunyi, berharap suamiku ada di antara lift yang terbuka. Namun, suamiku tak ada di sana begitupun wanita yang datang bersamanya.

Wanita yang sejak pertama kali aku melihat potretnya di dalam kediaman suamiku, membuat diri merasakan perasaan tidak enak.

Wanita dengan kecantikan yang akan membuat semua mata menoleh dengan rasa iri dan kagum.

Wanita yang bisa memiliki segalanya hanya dengan menunjuk apa yang ia mau.

Aku terus menunggu, tidak peduli pada tatapan resepsionis yang sesekali bertukar pandang dengan satpam.

Mungkin, di hotel ini aku bukan wanita pertama yang menunggu suaminya turun setelah selesai dengan apa yang mereka lakukan.

Mungkin dua orang yang saling melirik itu juga menungguku menyerah, atau mungkin mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengusirku sebelum aku melakukan hal yang akan membuat hotel mewah ini malu.

Namun, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan karena aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kurasakan kini. Kecuali, tanganku bergetar dalam pangkuan.

"Minumlah!"

Suara itu membuatku menoleh. Namun, aku bahkan tak melihat wajah orang yang meletakan sebotol air mineral di tanganku. Yang ku tahu, tangannya besar dan terlihat bisa diandalkan.

''Apa aku mengucapkan terima kasih?"

Ku rasa iya, karena ia mengangguk dengan senyum yang membuatku bisa melihat baris giginya yang rapi saat ia tersenyum lalu berdiri.

Manusia yang wajahnya jadi tak jelas mondar-mandir silih berganti. Namun, orang yang ku tunggu tetap tidak keluar dari dalam lift yang berkali-kali terbuka dengan bunyi yang sudah ku hafal.

Ding!

Namun, aku terus menunggu. Bahkan saat langit cerah menggelap, aku tetap duduk di tempat sana memegangi botol air mineral yang masih tersegel.

PING!

Suara ponselku terdengar. Dengan mata tak yakin, aku membaca sebaris pesan yang dikirim suamiku.

Yang, aku tidak pulang malam ini. Maaf ya, Ibu mendadak minta aku pulang. Have a sweet dream. Love you.

Tanganku bergetar, tapi jemariku tetap memenceti layar ponsel karena aku tahu suamiku masih memegangi ponselnya. la tahu aku sudah membaca.

Send.

Apa yang ku kirim padanya membuatku merasa kalah seketika. Mataku perih dan panas, penglihatanku jadi berbayang, bibirku bergetar dan aku tak lagi bisa menahan tangisku.

Meski aku masih tidak paham dengan apa yang sedang kurasakan kecuali rasa sakit yang rasanya begitu menyesakkan, aku menangis tanpa peduli sedang di mana diriku.

Aku terisak memegangi ponselku karena balasan yang rasanya begitu tak berjiwa.

"Terima kasih, Sayang."

Di lobi hotel bintang lima, tidak peduli apa yang dipikirkan orang tentangku. Aku tersedu sendirian, aku terisak sendirian, aku menangis sendirian. Aku hanya terus menangis. Namun, tidak ada yang berani mendekatiku. Begitupun satpam juga resepsionis yang sudah berganti.

Mereka hanya saling menatap, berkata dalam bisu dan aku hanya terus menangis sampai air mataku tidak lagi keluar.

Apa yang sudah ku kirim pada suamiku adalah satu kata singkat yang membuatku merasa aku mengizinkannya melukaiku.

Apa yang ku kirim pada suamiku adalah satu kata yang membuatku merasa aku mengizinkannya melakukan apa yang sedang ia lakukan dengan wanita yang potretnya selalu membuatku merasa kecil.

Apa yang kutangisi adalah karena aku mengirimkan balasan 'ya' untuk suamiku yang kini sedang bersama wanita itu.

Yang kutangisi adalah karena aku seorang istri yang memberi izin suaminya untuk berselingkuh.

"Aku bodoh, bukan? aku bodoh sekali, bukan?"

Namun, apa yang harus kulakukan? Saat yang kumiliki hanya suamiku. Aku adalah anak yang dibuang di tempat sampah saat bayi.

Aku adalah anak yang tumbuh di dalam panti asuhan sampai besar karena tak seorangpun ingin mengadopsiku.

Aku adalah wanita yang tidak diinginkan keluarga suaminya karena statusku tidak jelas.

Aku adalah wanita yang tidak pandai bersosialisasi dengan orang lain.

Aku adalah wanita yang tumbuh dengan berbagi segala hal bersama anak lain yang tinggal bersamaku.

"Tapi, membagi suamiku?"

Aku tak pernah berpikir harus menjalani hidup seperti itu. Tak sekalipun. Karena itu, aku hanya bisa menangis sendiri di lobi hotel yang dinginnya menusuki kulit.

Sementara, pandangan dan tatapan baik dari mereka yang hidup ataupun benda mati menilaiku, 'sungguh-sungguh menilai diriku.'

Ku pikir, setelah menangis rasaku akan menjadi ringan. Rasa burukku akan menghilang. Namun, saat tangisku berhenti aku malah seperti orang yang kehilangan tujuan. Meski setelah sadar suamiku tidak akan pernah ku lihat di dalam pintu lift yang terbuka, aku memilih keluar lalu pulang ke rumah. Rumah kami.

Aku masuk ke dalam rumah sepi yang kupandangi dalam bisu.

Tiap sisi yang sudutnya ku hafal terasa asing seketika.

Dan potret itu, potret pernikahan kami seolah mengejekku.

Senyum lelaki yang merangkulku mesra jadi terlihat palsu.

Tanganku yang meraba potret kamibrasanya ingin membanting potret yang kupegangi.

Namun, tanganku yang sudah terangkat tinggi turun dengan sendirinya. Dan, aku berjalan masuk ke dalam kamar yang penuh dengan aroma suamiku.

Ku harap saat esok hari datang, apa yang kurasakan ini hanya mimpi buruk yang akan kutertawakan saat bangun.

Namun, aku tak bisa memejamkan mataku sama sekali sampai ku ambil obat tidur yang ku telan tanpa rasa.

Tidak butuh waktu lama, aku jatuh dalam buaian mimpi buruk yang membuatku gelisah. Namun, aku tak bisa bangun.

Aku tak pernah bangun lagi dari mimpi burukku lalu hidup di dalamnya.

Hari masih begitu gelap saat lelaki yang terbangun dengan tangan melingkar di tubuh seorang wanita tanpa busana memilih turun dari ranjang.

Pakaiannya yang tergeletak di sofa ia pakai cepat, tanpa menyadari wanita yang bangun tanpa sehelai benang pun memperhatikan.

"Apa kamu harus pulang secepat ini?" Suara yang terdengar manja itu membuat lelaki yang sedang mengancingkan kemejanya menoleh.

"Ya."

Jawaban singkat itu membuat wajah cantik nan menggoda sang wanita berubah, "Apa kamu akan terus seperti ini? Pergi setelah kamu puas memakaiku lalu meninggalkanku sendiri?"

"Jangan berkata seperti itu, Nggit! Aku sudah merasa cukup bersalah karena tak bisa berhenti berpikir kenapa kita berakhir seperti ini."

"Kalau begitu, ceraikan istrimu! Semua orang tahu kau mencintaiku, Ken."

"Tapi istriku tidak tahu, dan akan selamanya seperti itu."

"Selamanya? Kau bilang selamanya kita akan terjebak seperti ini? Jika kau berpikir aku mau, maka kau sudah kehilangan akal sehatmu, Ken!"

"Kau yang memulai semua ini, Anggita! Dan aku yang kalah dengan nafsuku!"

"Apa kau menyesal?"

Ken tidak menjawab, ia menarik napasnya dalam lalu mendekat pada Anggita yang wajahnya siap menangis.

"J-jika rasa bersalahku lebih besar dari nafsuku. Aku tak akan berakhir di sini semalaman menyentuhmu, Nggit."

"Kau curang, Ken! Curang sekali," ucap Anggita memeluk tubuh Ken.

"Ken, katakan padaku dengan jujur! Apa kau pernah mencintai istrimu?"

Ken diam beberapa lama lalu memeluk erat wanita yang tubuhnya dipenuhi dengan kissmark yang ia tinggalkan,

"Aku selalu berusaha mencintainya, Nggit. Setiap hari. Setiap waktu. Aku selalu berusaha!"

Anggita menatap wajah Ken, tidak ada kebohongan di sana, "Kalau begitu, tetaplah seperti itu karena hatimu hanya boleh untukku. Hanya untuk aku!"

Ding!

Lelaki yang akhirnya muncul saat lift terbuka itu menatap sofa di lobi ketika ia melakukan check out. Aroma parfum yang rasanya samar tercium di hidung, membuat manik hitamnya berkeliling.

Matanya mengawasi tiap sudut ruangan dengan dada berdetak kencang.

"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?" ramah resepsionis bertanya pada Ken yang akhirnya fokus kembali. Mulutnya yang terbuka tertutup lagi, ia menelan tanya pada wajah terlatih yang meski terjadi sesuatu akan bersikap tenang.

"Tidak mungkin."

"Maaf, Pak?"

Ken menatap resepsionis yang heran, "Bukan apa-apa, tolong kirim paket breakfast untuk kamar saya! Tidak perlu mengetuk pintu, teman saya pasti masih tidur."

"Baik, Pak," jawab resepsionis yang menunduk saat Ken berjalan meninggalkan lobi, lelaki yang meninggalkan temannya dalam keadaan telanjang dan dipenuhi kissmark. Sedangkan di jari manisnya sendiri melingkar cincin pernikahan yang berkilau setiap terkena cahaya lampu.

Pintu lobi yang terbuka, tidak hanya untuk Ken.

Di saat yang sama, lelaki berperawakan tinggi dengan barisan gigi rapi memberinya senyum ramah juga anggukan. Sementara Ken hanya mengangguk tanpa senyum.

"Apa kau kira lelaki itu yang ditangisi wanita tadi?"

"Yang mana?"

"Huh, jangan pura-pura lupa! Kau ingatkan, wanita yang digosipkan anak-anak sejak siang tadi?"

"Aku hanya bersyukur wanita itu keluar tanpa membuat masalah untuk kita."

"Kau juga berpikir ia akan mengamuk dan mencari suaminya?"

"Siapa yang tidak? la selalu melihat pintu lift yang berbunyi, tapi ujung-ujungnya menangis lalu pergi dengan wajah kalah."

"Hush!"

"Apa sih?"

"Saya tidak tahu kalian terlihat begitu hidup saat bergosip ria. Tapi, bisakah lakukan itu setelah jam kerja kalian usai?"

"Pa-Pak Arga?"

"Ma--maaf, Pak."

Yang dipanggil pak hanya mengangkat tangan dengan senyum yang menunjukkan barisan gigi rapi. Sementara Arga tidak peduli pada pipi-pipi bersemu setelah melihat pesonanya. Dan, ditatapnya sofa dingin yang membisu.

"Apa gadis itu sudah pulang?" ucap Arga begitu pelan lalu berjalan memasuki lift yang tertutup rapat di dini hari yang melelahkan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Rahmawati Pena

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku