The Mystery of Love
Tak ada hambatan. Semua sudah dipenuhi oleh orangtuaku. Aku hanya tinggal duduk dan menyelesaikan sekolah seperti seharusnya. Jelas bisa masuk
nggaan guru. Setiap kali lomba akademik diadakan, aku adalah salah sat
paling sering membuatku merasa kesal hanyalah lelaki bernama Bryan. Salah satu siswa yang juga sa
ng mengejar peringkat. Berlomba mendapatkan nilai terbaik. Bahkan masalah paling sepele sekalipun
ebuah olimpiade sains. Pada saat yang sama pula, entah apa yang kupikirkan saat itu, aku memberanikan diri untuk membuat taruhan dengannya. Aku bertaruh bahwa sia
emua permintaan Bryan selama satu hari penuh di hari weekend nanti. Tentu saja, ini bagai neraka bagiku. Aku ti
melanggarnya. Aku tak bisa bayangkan apabila semua orang di sekolah ini mengetahuinya." Bryan tiba-tiba saja datang dan menumpukan tubuhnya dengan kedua tangan di
enjijikan. Sungguh, aku sudah muak melihat wajah itu. Aku bersihkan bibir
saja? Aku masih ingat tentang taruhan itu. Dan aku j
menebak apa yang dia pikirkan saat ini. Hingga saat ini, orang lain sebetulnya belum mengetah
bil menatapku penuh kemenangan. Aku menahan napas karena merasa sudah terbakar. Rasanya aku ingin se
dijadikan pembantu
sekitar, merasa aman karena tidak ada yang menyadari atau mendengar percakapan kami. Kantin it
ketika membuat taruhan ini? Jadi apa pun yang
askan semua kemarahanku di sana. Dia menatapnya dengan santai, sama sekali tidak merasa sakit. J
kau bersikap elegan satu hari saja seperti halnya murid berprestasi? Kau tahu
an tanganku dari lengannya. Seje
an hanya karena kau kalah, kau malah menganggapku sebagai biang masalah. Kau tidak punya pilihan lain, Sheila. Kau
murid di sekolah ini. Dia menatapku kembali sambil tersenyum menang. Aku benci senyuman itu. Senyuman yang meng
ran yang kubuat sendiri. Aku a
a yang akan terjadi ke depannya. Aku hanya mengikuti garis waktu. Menjadi bagian dari semesta yang tak bisa dipisahkan. Mengikuti semua peristiwa yang terjadi d
aku melakukan semua yang diinginkan oleh Bryan seperti yang sudah
ang pernah kulalui dan dari semua pertengkaran yang pernah kami lewati selama di sekolah. Nyatanya tidak, a
perti dugaanku, dia sedang bersama teman satu gengnya. Siap mempermalukanku selama satu hari penuh. Setidaknya itulah yang kupikirk