My Lovely, Ajeng
lu dan pria bernama Aldo itu belum juga muncul. Atas desakan Ibu, Dhiajeng dengan berat hati menerima
macet sekal
di depannya. Ia menggenalinya sebagai Aldo. Sebelum pertemuan perda
ap wajah pria di depannya. Ia kembali melihat sekitar untuk men
akanannya?" ta
sedikit. Aldo tengah tersenyum dengan buk
hat fokus memperhatikan
sukainya. Aldo memesan terlebih dahulu, Dhiajeng setelah itu. Beberapa saat mereka hanya saling diam tak bica
imana perasaan kamu?" Aldo bertany
tidak tahu apa yang bisa dideskripsikan dari perasaan tentang hal yang ditanyakan Aldo. Antusias? Dhiajeng malah takut. Se
, Mas." Jujur D
dadak buatmu, ya? Be
Aldo juga berusaha untuk be
unya pacar?
a hingga lupa pada sekitar. "Tidak, Mas." Dhiajeng menunduk memperhati
ras dan tiba-tiba. Wajahnya terasa panas seketika. "Jika memang s
do tidak punya kekasih, kalau tidak bis
enjadi sesuatu? Aku dengar kamu baru saja lulu
Ayah pasti memikirkan matang-matang soal masa depannya. Lalu kenapa Dhiajeng harus membantah dan melukai perasaan ke
*
okan yang mampu membuat Dhiajeng tersipu malu. Respesi itu akhirnya berhenti saat jam menunjukan pukul 6 sore. Tamu membubarkan diri. Para staf yang ada untuk m
ang dirangkai sedemikian rupa. Indah dan juga mendebarkan. Dhiajeng duduk kaku di depan cermin rias di sisi
enyisakan kulit putihnya yang alami. Beberapa kali ia menat
napasnya menjadi sesak sedikit. Hatinya berkata ia belum siap, tapi pikirannya menyuruh untuk pasrah saja
at menemukan Dhiajeng di depan cermin rias
g baru saja membuat dirinya tak nyaman. Membuat perutnya bergolak membayangkan
uga begitu. Kamu pasti sudah memaksakan diri." Aldo tersenyum. "Sampai kita berdua siap untuk ini semua, sebaiknya
tiba-tiba ia merasa terhina. Sebenarnya untuk apa p
*
uatu di
uh mulutnya, tapi tid
di depannya berkata, kali ini sambil
"Tidak ada apa-apa, Pak," katanya memberitahu. Mungkin saja pria ini sedang berc
dengan penuh konsentrasi membersihkan dengan ibu jarinya. "Lalu ini apa?" Ditangan pria itu ada s
egitu manis menurutnya. Mungkin karena itulah Dhiajeng begitu amat bahagia bersuamikan Aldo. Andai saja Aldo bertemu dengan Hafizha dulu,
h dicap sebagai orang jahat. Saat pertama kali bertemu dengan Aldo di pesta pernikahan mereka, Hafizha sudah jatuh cinta. Ia tidak percaya denga
l yang ia inginkan ada pada seorang pria di temukan di diri Aldo. Hanya saja takdir
o memandangnya sambil tersenyum dan mengernyit. Lekas Hafiz
k apa
nada khawatir. Hafizha menggeleng
udah berjongkok di s
Hafizha berusaha menutupi memar kemerahan
lam penjagaanku kalau di kantor." Aldo beralasan. Ia berdiri setelah
memandang berkas yang menumpuk di atas meja. Ia belum sel
Aldo akan masuk kembali ke ruangannya. "Dan jangan panggil saya den
berdegup begitu keras hingga terasa sedikit menyakitkan.