Dalam Belenggu Pengkhianatan Cinta
lupa ubah nada dering telepon dan terpaksa b
yidik wajah Rendi berharap kalau itu hanya gurauan. Namun, tidak tampak
pria yang mimik wajahnya berubah muram. Sementara, Keiza pun merasa
niat untuk melakukan hal itu sekalipun hanya bercanda. Rendi yang dikenalnya sangat suk
asih diam terpaku di bangku taman. Sedetik kemudian, Milfa bergegas menyusul langkah lel
h ke belakang. Saling menatap beberapa
dikenalnya sejak lima tahun silam. Ia berusaha menyusun kalimat, ne
unjuknya di depan bibir Milfa. Rendi menggeleng m
s milik Milfa. Sebenarnya bukan hanya sekali atau dua kali kesal
reka sempat berpisah dan baru kembali bertemu lag
yang selalu ada dalam hati. Tak pernah terhenti s
lfa mengungkapkan rasa bersalahnya. Sekejap tu
tah, aku gak bisa marah lama-lama sama kamu." Beberapa saat saling merasa
mendekati dua insan itu setelah menyadari bahwa banyak mata yang menyorot ke arah mereka.
mum? Kampus!" Keiza berbisik dengan
g terjadi, kedua manusia yang berbed
*
um, gitu!" Keiza masih saja memba
bahas yan
a dunia milik berdua, udah mirip drama korea," goda
asaan lebih!" tegas Milfa. "O, iya, gimana tadi di kelas pas
a yang gak hadir. Jadi, rencananya akan di ganti lain waktu, masih cari ruan
ahan di lantai tiga. Menemukan ruangan yang dituju terlihat lenggang dan lan
dosennya
nggi, proposional mirip-miriplah sama sahabat lamamu itu. Yah, bisa dibilang sebelas dua belas, sih. Dan yang bi
terlalu berlebih-lebihan memuji sosok dosen yang belum bersua langsung dengannya. Milfa hanya sedikit tahu bahwa dose
lnya mereka adalah manusia keempat dan kelima yang masuk di ke
a puluh tahun masuk ke ruangan. Perkulia
agian sudah ada yang keluar ruangan. M
bareng, ya? Kamu ada jadwal kuliah terakh
i. Ini aku udah selesai, kok. Kamu masih di m
ke masjid kampus menemui Rendi. Keiza pamit untuk pulang leb
i gak apa-apa kalau kamu m
mau balik dul
nggak enak
gak apa-apa pulang sendiri. Jalan ka
aku pulang." Tiba-tiba ada ide yang melintas dalam pikiran. Milfa merogoh saku ransel da
u berangkat kuli
mikir itu. Gampan
us dipaksa. Akhirnya, Keiza mengiyakan dan pu
ngan azan yang dikumandangkan. Ia masuk
uara yang tidak asing baginya memanggil. Ia la
h itu, berjalan menuju parkiran kendaraan roda dua.
Milfa duduk dalam posisi lebih tinggi dari pengemudi. Berbeda dengan motor Rendi ke
di. Namun, sesekali bagian dadanya tidak sengaja bersentuhan dengan punggu
pria seusianya itu. Sikap Milfa yang demikian memun
a kaki Rendi menapak di tanah untuk menahan beban kendaraan roda dua itu. Milfa yang juga sp
kuat dari sebelumnya mengisyaratkan rasa kesal. Rendi
otorku udah mirip kusir lagi ngend
erem-ngerem mulu bikin kesel, d
g untuk menggoda. "Iy
anya yan
ndi menggantu
kik, "Astaga! Dasar otak mesum!" Milfa menj
cowok normal. Wajar aja, k
bku! Malah diketawain
k! Ini, kan, motor k
ng ngemudiin! Dasar kamunya aja, sih, se
cap Rendi meredam. "Mau main ke rumah dulu, gak? Atau m
umahmu dulu. Aku
u gak ka
nggang kanan Rendi s
main cubit sama ji
lan, keburu s
ketika masa putih abu-abu. Dulu Milfa sering di antar-jemput Rendi, padahal rumahnya lumayan deka
berbeda jauh dengan Jakarta yang sering macet. Rata-rata pen
fa mengamati bangunan itu. Tidak ada yang berubah di sana. Hanya warna cat bangunan berlantai dua itu yang
intu di buka setelah Rendi memencet bel. Rendi mengucap sala
ika wajah sang ibu tersembul dari balik pintu sambi
a perempuan itu berpelukan erat dalam be
a Milfa sembari melerai pelukan. Milfa meraih pung
tambah cantik," puji Ibu Siska. "Alhamdulil
ar Fafa seperti yang Ibu lihat," jawabnya dengan
us di depan pintu, ya?" sindi