Suamiku Waria
atap lantai dalam senyap. Tak ada satu patah keluat dari mulutnya. Bang Sugi mendekat. Aku menjauh. Tapi rupanya dia tidak berniat mendekatiku, melainkan unt
a puluh ribu, apa yang bisa dibeli dengan uang sekecil itu? Kadang-kadang hatiku remuk ketika melihat Langit, putra kita menangis karena kamu tidak bisa membelikannya es krim. Lain waktu aku merasa sangat tidak be
ia berbicara sendiri atau b
ar menimbulkan bunyi. Aku tahu semua yang terjadi di rumah tangga kita, tapi aku bisa apa? Aku hanya menangis diam-diam dan berharap bisa membuat kalian bahagia dengan hal-hal kecil. Untuk kesalahan ini, aku tidak berpikir panjang. Bagiku, ua
aku ingin sekali memeluknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Namun demi mengi
enteng pertahanan perang. Aku memilih diam. Membiarkan semua mengalir
ertidur. Aku terenyuh. Benteng yang ku pertahankan erat-erat dengan penuh keegoisan akhirnya
kan suamimu yang bodoh in
aku yang bersimpuh di kakinya. Karena menghidupiku dan anak kami, s
banyak orang. Tapi bagi aku dan keluarga kecilku, itu uang dengan juml
. Tapi tolong, jangan beri makan kami dengan bara n
rakhir. Tidak ada lagi uang haram untuk kalian. A
masing-masing dari kamu jatuh cinta. Aku dan suamiku sam
bocor. Setitik demi setitik air masuk dan membuat lantai kamar basah. Bang Sugi melepaskan pelukan d
h, Nak. Kamu
a ibu menyapa s
lipan waktu di jalan. Mas
demi alasan yang diungkapkan suamiku tadi membuatku tidak bisa meninggalkannya sekonyong-konyong. Suamiku orang yang baik. Dia penyayang keluarga. Tidak bisa aku meninggalkannya yang sudah berkorban banyak untuk kami. Egoku perlahan runtuh. Aku akan berbesar hati memaafkannya meski t
letakkan di situ. Jaga-jaga kalau-kalau hujannya lama. Nanti embernya
segala kesusahan yang menimpanya, suamiku masih bisa berbuat baik padaku. Dalam lautan dapat
ng, ya. Uang ini biarlah sedekahkan saja ke mesjid.
k kepalaku. "Abang mint
Yang sudah terjad
hirnya baik-baik saja. Tidak seseram bayanganku akan perpisahan. Ikatan cintaku dan suamiku malah se
u dan Langit akan baik-baik saja meski di matamu kami kekur
i." Bang Sugi berkata dengan pasti. T
hilang karena perpisahan orang tuanya. Biarlah aku yang berkorban perasaan, demi damai hati anakku. Tentang janji Bang Sugi, aku percaya,
ti tidak akan