Memori Seorang Santri
at me
ku, entah mengapa perasaanku seakan kosong saat ini. Antara ingin p
ilmu agama dan mendalaminya. Meski saat itu aku dengar ayahku berbicara bahwa pesantren
terlalu dangkal memikirkan sebuah tempat bernama pesantren, pada
endapat rangking 3, juga di sekolah ngaji mad
aku suka, aku suka belajar terutama belajar agama itulah ya
ehidupanku kedepannya, karena sebentar lagi aku akan d
dari stasiun, melewati beberapa pepohonan bahkan kampung-kampung. Hingga tiba di seb
bengkel, tetapi aku salah. Ternyata i
bodoh, melirik kanan dan kiri dengan wajah bingung, hingga akhirny
yanya ramah kepada ayahk
ianya ya, pak?" tanpa basa basi aya
arkan si adek sementara bapak tetap berada disini t
lewati gang kecil yang sempit untuk menuju halaman luas
k sementara aku berdiri menatap sekeliling. Aku melihat dari kamar paling ujung se
n rambut sepanjang pantat dan gigi y
bu?" tany
Sian
a ya, bu. Adek ini ana
n?" Ibuku balas bertany
pemerintah dengan gratis. Ibu datang kesini
a ...
ek?" kini ia ber
sudah menjawabnya terle
dengan
enanggapi, aku tidak m
ek." Perintahnya sembari membantu
gan jemuran, kamar yang bagus karena tampaknya baru
a memanggil nama yang kat
dan tinggi besar keluar dari arah kamar mandi, menyugar ram
endek, nampak seperti anak kampun
nghampiriku lalu menyalami ibuku dan juga aku dengan
kamar sehingga yang awalnya tidak menyadari kedatanganku kini menoleh dan menghampiriku serta ibuku.
engenalkan orang-orang yang akan berada di kamar yang sama denganku. Dan sebagian
t di urutan terbawah. Barang bawaanku yang terlalu banyak itu kandas setelah disusun.
bulan, bu?" nada heran ke
badan yang besar serta kesuburan yang
paling kecil nggak pernah kerja di rumah, main saja taunya. Nyapu
aibku di tempat baru ya
mpuan-perempuan gi
tidak terlalu fokus mendengarkan ibuku yang kala itu membuka aibku, ikutan m
angkat galon dulu." Fathimah nama ke
perti itu, ya. Dia belum pernah kerja di rumah, ibu t
bahas hal yang tid
dikit pirang yang tegang bercabang di hadapanku, sedari tadi
u. Itu kebiasaanku dari kecil bila berada di tempat asing, aku ak
a satu?" pintanya
kembali mengangguk, dia tampak senang. Sialnya perbuatan dia memi
unyai hati dan tidak meyisakan satu untukku. Seharusnya mereka sadar aku tidak bisa m
k apa, am
nar menyesali kepu
harinya aku harus mengikuti mereka memasuki kelas, tepat setelah berada di
gatakan bahwa ternyata di dalam kelas tadi membutuhkan banyak buku, tetapi saat a
ku ditinggalkan tanpa mengucapkan kata
kedua mataku berkaca-kaca, keinginan untuk mele
ambu