Di Bawah Bayang-Bayang Prajurit Tangguh
a yang Ter
ng di pundaknya bergoyang seiring langkah kakinya yang berat. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia pulang denga
kelasnya, yang selalu menjadi biang kerok di sekolah. Bersamanya ada beberapa anak lain ya
n melangkah lebih cepat. Tidak ada gunanya melawan. Ia sudah mencobanya b
ri dua ruangan utama, dapur, dan kamar mandi kecil yang sebagian atapnya bocor. Ibunya, Bu Lastri, seda
adi?" tanya ibunya, dengan suara
gin ibunya tahu bahwa uang sakunya habis kare
ster-poster kecil yang ia tempel dari majalah bekas. Dalam poster itu, ada gambar orang-orang yang ia
mua itu t
k Damar pada dirinya sendiri. Suara Riko dan eje
a. Ia tahu, satu-satunya jalan keluar dari hidup ini adalah pendidikan. Ia
ena rasa percaya dirinya telah dihancurkan sejak kecil. Banyak orang tidak tahu bahwa Dama
ku catatannya. Ada satu kalimat yang ia tu
anya hidup di bawah b
. Ia tahu beban yang ditanggung anaknya terlalu berat. Namun, ia percaya, suatu hari
besar yang telah Damar buat semalaman. Ia duduk di depan rumahnya yang sederhana, memandangi jala
nggil Da
asih sibuk mengupas singkong untuk sarapan pagi.
nyampaikan niatnya. Ia tahu ini akan sulit, terutama karena
arnya akhirnya. Kata-kata itu t
ayangnya dengan penuh perhatian. "Ke kota? Kenapa, Nak? Apa tidak betah d
Damar tidak akan berkembang. Damar mau cari kerja, cari pengalam
astri akhirnya duduk di sebelah Damar.
nya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi kota
terjebak di desanya, dihina, diremehkan, dan selalu dianggap tidak punya potensi. Kota adalah
utuh doa Ibu, dan kalau Damar berhasil nanti, Damar a
tu keputusanmu, Bu tidak akan melarang. Tapi ingat, jangan lupa
n keputusan yang mudah untuk ibunya, tapi ia ber
-
tan favoritnya, dan amplop kecil berisi uang tabungan hasil kerja serabutan selama beberapa tahun terakh
i. Beberapa tetangga yang lewat hanya memandang tanpa banyak bicara. Sebagian dari mereka mungk
Bu Lastri sambil memeluknya erat. "
i," jawabnya, suaran
ng sekali lagi, melihat rumah kecil yang menjadi saksi bisu perjuangannya selama ini. Ada rasa haru ya
n mata penuh harapan. Kota besar, dengan segala kemung
ang dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Gedung ini, tempat di mana ia suda
a bising. Damar merasa sangat kecil di tengah keramaian ini, jauh dari desa yang ten
nyum ketika resepsionis meminta ia duduk sebentar sambil menunggu giliran wawancara. Tapi sekarang, setelah berbicara
ga
ak lebih dari lima belas menit. Semua persiapannya, semua harapannya, teras
dengan siapa ia atau apa yang ia rasakan. Semua tampak seperti rutinitas yang sudah teratur, berjalan tanpa henti.
gkin panggilan atau pesan dari perusahaan lain. Tapi tidak ada. Han
gan jawaban yang samar. "Belu
tu yang ia ketuk seakan menutup rapat tanpa memberi celah. Wajah-wajah yang ia temui di kantor-kantor itu terlihat seperti para profes
cukup untuk tempat tidur dan meja kerja yang penuh dengan tumpukan brosur lamaran yang sudah
ukan di pintu mengal
kata wanita penjaga penginapan,
itu langsung runtuh. Itu adalah surat penolakan dari perusahaan yang baru saja ia lam
lempar surat itu ke meja dengan rasa frustasi. Kenapa semu
a semua ini tidak berjalan seperti yang ia harapkan, tapi ada rasa takut yang mengga
a tanpa bisa mengetikkan apapun. Ia m
nya dan mulai menulis pesan kepada ibunya. "Bu, Damar belu
duduk diam, menatap langit-langit kamar yang tak berbintang. Ia merasa kosong, lelah, d
i kehidupan yang biasa ia jalani. Mimpi yang ia bawa bukanlah hal yang bisa dihancurkan oleh kegagalan pert