CEO Saja Tidak Cukup
robos badai itu? Kau ingin tau kenapa aku menamparmu tadi? Kau ingin tau kenapa aku sekasar ini? Kau
i sofa seberang. Tangannya mengacak-acak jilbab yang semakin berantakan kemudian mengusap kasar muka.
-raung sepanjang sore. Namun, ini sungguh berita mengejutkan. Bahkan sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Rofi ini akan terjadi. Mengingat Naya, sah
i dunia ini. Kalimat itu beberapa hari terakhir memang membingungkan otak awam Rofi. Semakin memusingkan ketika dirinya mencoba mencerna apa yang ustaz radio itu katakan
Apa daya seekor ikan di hadapan terkaman kucing. Apalagi jika ikan itu sedang mabuk di daratan. Tidak s
aku? Apa yang kau pikirkan sampai t
nnya berusaha membuka tangkupan tangan Naya dan menye
Merasa jijik terbayang tangan yang telah merenggut kesuciannya itu. Rofi kemudian menepi. Membiar
a ingin tahu Rofi sebenarnya sudah menjadi-jadi. Sudah melampaui ambang batas. Namun, biarlah dulu diriny
aku, Na
udah tidak ingin membuka hati untuk siapa pun. Apalagi jika kau hanya menggunakanku sebagai pemuas naf
aku, Nay. Aku t
kata maaf. Harusnya kau berpikir dulu sebelum melakukan itu. Apa gu
ulakukan, Nay? Bunuh s
menggosok kotoran yang enggan luruh dari sana. Matanya memejam rapat
k mengingat apa pun? Mengapa aku tid
Naya sama sekali tidak dapat disalahkan. Justru kali ini dirinya yang hanya bisa bungkam. Antara menyesal, tidak si
saku. Mengeluarkan benda berbahan besi yang besarnya tidak lebih d
ngat in
ari lentiknya lantas memungut bros berbentuk daun dengan manik-manik berwarna biru dari Anam. Memori demi memo
mengambil cuti beberapa hari selepas kunjungan tim ke anak cabang peru
bangku perguruan tinggi pun, dia hanya sibuk dengan tugas-tugas yang katanya semakin dikerjakan semakin menumpuk. L
semakin penuh sesak setiap harinya usai pertemuan singkat mereka sebulan lalu. Rencananya, Anam akan mengajak gadis itu menikmati pesona dataran
edikit kecewa karena dirinya tak bisa leluasa menikmati waktu berdua dengan gadis yang memenuhi pikiran dan hatinya itu. Pupus sudah angan-angannya berjalan bersisian di
dus, ya, Mas," pin
u apa ke
Masak mau manen t
sudah tenggelam. Azan telah berkumandang. Bersahut-sahutan. Bahkan iqamah-iqamah dari musala tetangga sudah beberapa kali terdeng
hu Ak
gan dan ikut mengamini bacaan imam seperti jamaah lain. Sedang semenjak tadi Naya masih berkutat dengan mukenanya yang k
l di tubuh. Mengenakan jilbab instan sekenanya sambil berlarian keluar. He
itu. Di tengah langkah gontai yang hendak kembali ke masjid itu, manik matanya menangkap penjual aksesoris yang baru saja menggelar lapaknya. Lekas Naya mendekat. Mengamati gelang-gelang, tasbih, hingga akhirnya
urun dengan begitu lebat. Gegas Naya beralih dari sana. Mengh
an akan reda. Dilema kemudian menyeruak. Jika tetap bertahan di sana, dirinya akan kehabisan waktu magrib. Namun, jika memaksa kembali
ah masjid, sebagian besar jamaah yang merupakan pelancong itu berbondong-bondong keluar. Nekat menerobos hujan yang diprediksi akan
erambi lantas mengaktifkan ponsel. Layar kemudian menyala. Mena
g menjawab panggilannya. Pikiran-pikiran buruk tiba-tiba sa
a, N
a ke