/0/16778/coverorgin.jpg?v=d263286d0088975b3cbdee6a62f23d5f&imageMogr2/format/webp)
Ketika terjaga dari tidur, Nessa merasakan sesuatu menindih tubuhnya. Hmm... inikah fenomena yang kerap dibilang orang Sunda sebagai eureup-eureup? Fenomena yang secara medis disebut sleep paralysis itu. Dan secara mistis dibilang sebagai fenomena ditindih makhluk halus. Asumsi yang disebutkan terakhir, sukses membuatnya panik setengah mati.
Lalu rasa panik menuntunnya untuk berusaha sekuat tenaga mendorong sesuatu yang menindih tubuhnya itu. Dan berhasil, karena Nessa merasakan tubuhnya ringan. Lalu sejurus kemudian, terdengar suara erangan. Sebentar, suara erangan?
Nessa mengarahkan pandangan pada arah yang ia rasakan menjadi arah jatuhnya sesuatu yang tadi didorongnya kuat-kuat. Dan ia mendapati sesosok tubuh manusia, tanpa pakaian, meringkuk telungkup di lantai dan mengerang kesakitan. Jatuh dari ranjang akibat dorongannya. Nessa pun sadar, bahwa tadi bukanlah eureup-eureup. Ia ditindih oleh manusia, makhluk yang nyata. Bukan makhluk halus.
What? Kepanikan selanjutnya pun segera ia rasakan. Dan kepanikan itu menuntun mata Nessa untuk menatap tubuhnya. Ya, tubuhnya pun tanpa sehelai benang, sama seperti sesosok manusia yang meringkuk kesakitan tertelungkup di lantai itu. Nessa makin panik.
Segera ia meraba area pangkal pahanya. Oh, my ...
Dengan panik bercampur marah, Nessa merengkuh bahu kanan tubuh telanjang bulat yang meringkuk telungkup di lantai itu. Disentaknya kuat-kuat, hingga tubuh itu telentang. Ia pun berhasil melihat wajahnya.
"Dilan ..." lirih Nessa. "Apa yang kamu lakukan, hah?!"
"Hmm?" gumam pemilik tubuh telanjang itu.
"Dilan?!" jerit Nessa tertahan. "Kamu... kamu mencabuli aku?"
"Kenapa?" Dilan sontak duduk, lalu menatap Nessa. "Aku mencabuli kamu? Nggak, lah!"
"Lha, ini apa artinya?" sungut Nessa. "Kita sama-sama telanjang. Kamu tadi menindihku. Dan... daerah kewanitaanku lengket."
"Kalau kamu yang memaksa aku untuk menyetubuhi kamu ..." tanggap Dilan. "Apakah itu bisa dianggap sebagai suatu tindakan pencabulan?"
"Aku, memaksa kamu... menyetubuhi aku?" tanya Nessa heran setengah mati. "Kamu mengada-ada," sugutnya.
"Siapa yang mengada-ada?" bantah Dilan.
"Kamu!" bentak Nessa. "Kamu mencabuli aku. Kamu tega ..."
Bertumpuk beban seolah tiba-tiba ditimpakan di atas tubuh Nessa. Berat dan menyiksa. Ia nyaris tak mampu menanggungnya, hingga pada akhirnya hanya bisa menangis.
"Kamu tega, Dilan ..."
Dilan bangkit. Duduk di tepi ranjang, lalu tangan kanannya terulur untuk menyentuh wajah Nessa. Namun perempuan itu berkelit dan menampar tangan itu. Dilan kembali berusaha menyentuhnya, namun urung karena tangan kanan Nessa yang terkepal terlanjur mendarat cukup telak di kelopak mata kirinya, hingga ia terhuyung mundur.
"Keluar kamu!" bentak Nessa. Lalu, ia mulai melemparkan beberapa helai pakaian lelaki itu.
"Keluar... kamu jahat!"
"Bukankah itu adalah keinginan kamu?" tegas Dilan, sambil memunguti dan mengenakan satu demi satu pakaiannya yang dilemparkan Nessa. "Bukankah kamu yang ..."
"Bullsh*t!" potong Nessa, sambil kembali melayangkan kepalan tangan ke arah wajah Dilan.
Kali ini, hidungnya yang menjadi sasaran. Telaknya pukulan tersebut, membuat darah segar mengucur dari kedua lubang hidung itu. Dilan sontak memegangi hidung mancungnya, sambil meringis. Ia menggeleng pelan, lalu melangkah. Bersiap masuk kamar mandi. Namun langkahnya terhenti, ketika tiba di area ujung ranjang. Ia menunduk.
"Lihat," Dilan menunjuk lantai.
Nessa sama sekali tidak berminat untuk melihatnya.
"Rasanya nggak ada satu pun korban pencabulan yang menjerit keenakan," sambung Dilan. "Orgasme hingga cairan ejakulasinya memancar deras sampai membasahi lantai."
Nessa tertegun.
***
Awal mula, 21 September 2000.
Dilan hanya butuh tiga momen saja, untuk jatuh cinta kepada Nessa. Ia mungkin takkan pernah membayangkan, betapa ketiga momen tersebut akan membimbingnya menuju beberapa peristiwa seru, sedih sekaligus menyebalkan di masa mendatang. Ketiga momen itu, sukses memaksa Dilan untuk mematri nama Nessa di sudut terdalam hatinya, sepanjang sisa hidupnya.
Momen pertama, tentulah saat pandangan pertama.
Bentakan para senior berseragam kaos hitam, baik laki-laki maupun perempuan, terdengar bersahutan. Memarahi dan berusaha menciutkan mental ratusan orang bertampang lugu yang baru sehari yang lalu dilantik oleh direktur kampus itu. Ratusan orang mahasiswa baru yang masih berseragam putih-kelabu, dengan ciri para lelaki berkepala nyaris plontos, dan perempuan berpita biru-jingga di rambutnya.
Dilan duduk tepat di belakang seorang perempuan, rekan satu gugus. Dua menit lalu, perempuan itu dibentak senior akibat tidak mengacungkan barang yang kemarin ditugaskan oleh panitia. Selain dibentak, senior juga memberi sebuah tanda ceklis pada ban name tag di bahu kanannya.
"Sekarang, angkat jeruk mencium matahari kalian!" perintah Komandan Lapangan, dengan media pengeras suara.
Perintah itu disikapi dengan kesibukan para mahasiswa baru mengaduk isi tasnya masing-masing, dibawah bentakan dan teriakan puluhan panitia berkaos hitam yang menyuruh mereka untuk bergerak cepat.
Dilan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya yang memegang jeruk sunkist, alias 'jeruk mencium matahari' itu. Namun, tangannya kembali turun, saat melihat tangan perempuan yang duduk di depannya tidak kunjung terangkat. Disusul dengan gerakan menjulurkan tangannya ke arah depan, meletakkan jeruk sunkist di pangkuan perempuan itu.
Perempuan bertubuh agak gemuk itu menoleh ke belakang, dan beradu tatap dengan Dilan. Sorot matanya menyiratkan tanya. Dilan sedikit tertegun, seiring indera penglihatannya melakukan 'pemindaian' terhadap wajah yang baru kali ini dilihatnya.
Matanya cantik, meskipun terlihat keruh, batinnya. Wajahnya nggak cantik, tapi... manis.
"Hei ..." seru pelan perempuan itu, membuyarkan kata-kata di batin Dilan.
/0/7961/coverorgin.jpg?v=3aefd5b47b4d2e03f55f880acb7f5972&imageMogr2/format/webp)
/0/26509/coverorgin.jpg?v=830b73a37413432e6f7ce9f1b5ade740&imageMogr2/format/webp)