/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Hidup adalah misteri.
Pak Gian menanamkan itu di otak puteri tunggalnya ketika mereka harus kehilangan Mirna, sosok ibu dan istri yang mereka cintai ketika Carissa baru berusia sepuluh tahun.
Dengan keadaan hidup serba berkecukupan, tak pernah kekurangan suatu apa pun, Carissa cuma harus tunggu sebulan lagi sebelum akhirnya pak Gian punya waktu untuk mengajak mereka pergi ke Universal Studio. Tapi demam yang diderita mendadak oleh bu Mirna justru membawanya ke ajal tak terduga.
Sejak saat itu, rasanya Carissa mati rasa pada setiap hal yang diluar ekspektasinya.
Toh semua orang akan mati. Toh setiap yang ada akan hilang.
Tak ada yang abadi.
Begitu juga responnya ketika mendengar nama pak Gian ditangkap polisi di kantornya pada tengah hari, saat dia sedang santai menyantap bento, mengunyah ebi tanpa ada firasat apa-apa.
"Ini bokap lo kan Ris?" Wiryo, pria berambut tipis itu menunjukkan layar iphone-nya.
Halaman instagram berita terkini menunjukkan seorang pria gemuk dengan kumis tebal digiring dua orang polisi berbadan tinggi besar.
Yang bisa Carissa lakukan adalah...
Memproses berita itu secepat mungkin.
Memastikan pria gemuk berpipi penuh itu adalah ayahnya. Dengan nama Giantoro Haliman, berarti betul itu ayahnya.
Mata Carissa menurun ke bagian caption, tuduhannya penggelapan dana perusahaan. Buset. Carissa tahu betul ayahnya kerja di pabrik makanan beku itu bahkan sebelum dia menikah dengan bu Mirna. Tak lama lagi pak Gian memasuki usia pensiun. Kalau dia bertahan sebentar, uang pesangonnya pasti cair banyak. Kenapa harus mengambil uang secara ilegal?
Toh kehidupan mereka selama ini tak aneh-aneh. Carissa bersekolah di sekolah swasta mahal hingga kampus bergengsi di biaya yang tergolong tinggi. Tapi gaji ayahnya pasti cukup untuk itu. Dia menyelundupkan uang lebih buat apa?
Nah, di posisi dahi yang berkerut seperti ini, Carissa mulai merasa sel-sel otaknya saling menyambar tanda berpikir terlalu keras. Padahal di momen ini, dia sudah tak bisa melakukan apa pun. Tak bisa mengubah apa yang terjadi. Baik soal kasus ayahnya sampai alasan dia melakukan semuanya.
Maka gadis itu menarik napasnya panjang-panjang, menghembuskannya perlahan, "yah ... " Keluhnya pelan.
"Gitu doang? Lu gak panik Ris? Ngapain kek, cari pengacara kek." Sembur Wiryo seolah menunjukkan emosi yang seharusnya dia tunjukkan.
"Kita ada pengacara keluarga. Biar nanti om Jo aja yang bantu. Gue gak ngerti masalah gituan." Tanggap Carissa sebelum lanjut memakan sepotong ebi tempura terakhirnya.
Carissa kira dia sudah lihai berhadapan dengan luka.
N
yatanya, semesta ingin memberikannya satu pelajaran lagi.
Menjadi cuek tak semudah itu.
Kantor Gahleen Sekuritas di lantai tiga puluh gedung perkantoran Jakarta Selatan itu mendadak sunyi kalau Carissa datang.
Empat tahun kerja di perusahaan ini mulai dari asisten analis hingga akhirnya menjadi salah satu analis utama andalan perusahaan membuat dia peka pada perlakuan orang terhadapnya. Di titiknya saat ini, dia rasa dia tak seharusnya didiamkan orang. Tak seharusnya status tersangka pak Gian berpengaruh padanya.
Siapa sangka, kesunyian yang terasa seperti simpati yang bersamaan dengan ledekan itu malah menggema di kuping Carissa. Menyalak kencang. Menyakiti gendang telinganya.
Tak sampai di sana, proses hukum yang berjalan menyatakan bahwa pak Gian telah melakukan penggelapan dana selama dua puluh tahun dia bekerja.
Alih-alih fokus pada kerja payah para auditor yang baru menemukan kejahatannya di tahun ini, media malah menyorot instagram Carissa. Kebiasaan party-nya, rutinitas arisan di yacth-nya ...
"Pantesan aja duitnya kayak gak habis-habis."
"Kebayang gak sih berapa tumpuk kekayaannya?"
Bisikan itu Carissa dengar dari dapur kantornya. Dengan langkah tak tertahan, dia menggebrak pintu kaca, menunjukkan tiga wajah para admin baru yang melotot kaget terpergok dia.
"GAJI GUE DUA DIGIT ANJING!" Teriaknya menggema di ruang sempit itu. Sudut mata kirinya menangkap pergerakan para karyawan lain yang mulai mencium keributan, "bisa gak sih lo pada tutup mulut busuk lo itu? Pake buat hal yang lebih berguna!"
Ketiga anak itu gemetaran. Matanya berkaca-kaca. Carissa puas akhirnya ada beban yang bisa dia keluarkan dengan lancar. Ada sesuatu yang menimbulkan lega di hatinya.
"Yang penjahat kan bapak lo! Kenapa orang lain yang disuruh diem?" Sahutan terdengar dari arah kiri.
Dari seorang wanita berambut wavy yang dicat cokelat. Yang wajahnya menunjukkan kebengisan tanpa dia sembunyikan. Begitu lah sikap si Gladis. Staf marketing yang selama ini iri pada kesempurnaan hidup Carissa.
Dia merasa punya kesempatan untuk menggulingkan semuanya.
Karena kini bulatan kamera ponsel itu telah menghadap Carissa, merekamnya, dari lima ponsel yang berbeda.
Dari pembencinya dan dari orang-orang yang selama ini selalu berusaha menyabarkannya, Wiryo.
"Bangsat ... " Carissa mengumpulkan semua pedih ke tangannya. Dia rampas ID cardnya dari lehernya sendiri, dilemparkannya benda itu tepat mengenai kamera Gladis.
Carissa tahu. Mulai saat itu, hidupnya hancur.
Karirnya hancur.
Tak pernah Carissa bayangkan dia akan berada di posisi ini saat ini. Mengendarai sebuah beat hitam, sendirian, melewati jalan Lembang yang menukik naik dan turun dalam kesendirian di tengah hujan gerimis.
Singkatnya, sejak dia kehilangan semua aset ayahnya dan merasa trauma memakai semua harta miliknya sendiri, Carissa kira dia akan segera mati.
Namun justru muncul satu mimpi di otaknya.
Impian Carissa saat ini yaitu bisa lanjut bekerja dimana dia tak perlu ada di ruangan yang sama dengan banyak orang, bisa mendapatkan tanggungan mess dan bisa dapat gaji yang mencukupi dia untuk makan serta beli bensin dari motor beat yang dia beli sendiri dari hasil tabungan sahamnya.
Miris. Uang yang dia tumpuk sebagian besarnya malah disita. Dan uang yang dia ekspektasikan buat masa depan malah harus dia gunakan ketika usianya masih 24.
Untung saja semesta tak mau menyiksanya lama-lama. Sebuah panggilan dari perusahaan penyalur kerja di Bandung menawarkannya pekerjaan sebagai manager operasional di sebuah arena wisata. Jauh sih dari pekerjaan sebelumnya yang fokus pada angka dan data. Tapi tak masalah. Segala benefit yang ditawarkan membuat Carissa tutup mata pada pengalaman masa lalunya.
Carissa tak asing dengan tempat itu. Dulu ayahnya sering mengajaknya berkuda, memetik strawberry hingga berkemah disana. The Golden's Arena namanya. Mereka sudah berdiri selama lebih dari empat puluh tahun. Dari hasil riset Carissa, mereka masih memakai sistem lama. Mulai dari booking via website pribadi dan telepon biasa, bahkan tidak melalui Whatsapp. Jadi Carissa berasumsi dia takkan berhadapan dengan banyak orang yang akan mengejeknya.
Maksudnya, Carissa paham ejekan itu konsekuensi baginya. Namun kalau saja dia bisa mengurangi intensitasnya, mungkin dia bisa fokus menata hidupnya kembali.
Gadis itu akhirnya menghentikan motornya di sebuah Arena ladang luas di puncak bukit landai. Dia membuka kaca depan helmnya, merasakan udara dingin menyerang lubang hidungnya. Gerbang bertuliskan The Golden's Arena menyambutnya. Tapi tutup. Padahal ini hari Sabtu.
"Tutup mbak!" Seruan seorang lelaki terdengar dari seberang jalan. Carissa menoleh ke warung kelontong yang diisi lima pria berjaket hijau khas ojek online.
Carissa tak menjawab. Dia hanya mengacungkan jempolnya. Toh tutup tak tutup gak ngaruh mengingat dia akan jadi karyawan disini. Yang jadi masalah adalah kalau tempat ini justru tutup permanen. Artinya mungkin agen pekerjaan itu telah menipunya.
Gadis itu menjalankan motornya lagi, lebih pelan kini, hingga akhirnya seorang satpam berseragam putih biru nongol dari pos, agak membuatnya lega.
Carissa melipir ke kanan, ke pintu kecil yang dibuka si satpam.
"Mbak Carissa?" Satpam bermata kecil itu mengerjap-ngerjap tak kuat kena air hujan.
"Iya." Carissa membuka jaket hitamnya, menunjukkan ID Card yang disuruh print oleh si agen kerja sebagai tanda dia memang orang kiriman mereka.
"Silakan masuk mbak. Lurus aja sampai ketemu kandang kuda. Pak Anton lagi jaga disana harusnya."
"Baik, Terima kasih pak." Carissa menutup lagi kaca helmnya.
Masuk kembali kesini, seolah tergelincir di mesin waktu.
Jalanan aspalnya luas, seukuran dua mobil. Kiri kanannya tembok tinggi berkawat.
Sekitar dua ratus meter dia berkendara sendiri sampai masuk ke gerbang masuk lain yang perlu tiket, tapi hari ini tanpa penjaga dan pintu motornya tak ada penghalang. Dia lurus lagii hingga mendapati lobi penginapan di bagian kiri. Bentuk lobinya juga masih jadul. Ada satu ruangan kaca yang berhadapan dengan lima baris kursi mirip di puskesmas.
Mulai saat ini, dia bisa melihat langsung ke penginapannya.
/0/21660/coverorgin.jpg?v=20250106175808&imageMogr2/format/webp)
/0/6471/coverorgin.jpg?v=7846692f7733b66aea51974cc3881a33&imageMogr2/format/webp)
/0/4187/coverorgin.jpg?v=1982cfaa3ae7e80165fa084f1e6f7162&imageMogr2/format/webp)
/0/16183/coverorgin.jpg?v=c607b69716967c1603ce737cfa0037db&imageMogr2/format/webp)