/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
“Kakak mau kamu dan Adhis bercerai. Mau sampai kapan kamu berumah tangga dan tidak punya anak, Nendra!” begitulah suara teriakan dari dalam rumah megah milik Adhisty yang terdengar nyaring di telinganya. Bak disambar petir di siang bolong, Adhisty Charity yang baru saja pulang dari supermarket itu tidak sengaja mendengar percakapan Aswan Ganendra— suaminya, dan Trimega—kakak iparnya.
Dari balik pintu utama rumahnya, Adhisty menguping sebanyak yang ia bisa, tetapi semakin lama, semakin banyak hinaan yang terdengar di telinganya hingga Adhisty memutuskan untuk pergi menuju sebuah kedai kopi di dekat rumahnya.
Adhisty kembali memasuki mobilnya dan melajukan kuda besi itu menuju kedai kopi Dandelion. Di sana lah ia bisa dengan tenang menjernihkan pikirannya. Masih terdengar jelas perkataan dari iparnya tadi, sebuah perintah bercerai yang begitu mudah diucapkan iparnya itu membuatnya sangat muak. Adhisty merasa selama enam tahun pernikahannya, keluarga Nendra terlalu ikut campur dengan rumah tangga mereka hanya karena pernikahan mereka belum diberikan keturunan hingga saat ini.
Di kedai kopi, Adhisty memesan secangkir coklat hangat dan beberapa potong kue untuk membantu memulihkan tenaga dan mentalnya yang hancur siang ini. Tidak hanya kali ini Adhisty disakiti oleh keluarga Nendra, cacian dan hinaan sering sekali ia dengar, baik secara langsung maupun tidak. Bahkan adik Nendra pun sering mengolok-olok Adhis. Tania berdalih jika sebuah rumah tangga tidak diberikan keturunan, maka mereka sudah gagal sebagai pasangan suami istri.
Adhisty tidak habis pikir dengan isi kepala orang-orang semacam Mega, Tania, juga keluarga Nendra yang lainnya. Adhisty sudah berusaha menjadi seorang istri yang penurut, seorang ipar yang baik, juga seorang menantu yang sangat menghormati mertuanya. Padahal, untuk uang sekolah Arga—anak Mega, semuanya ditanggung oleh Adhisty. Sungguh tidak tahu malu.
Secangkir coklat hangat dan sepiring kue pun diantar oleh pelayan. Ya, bicara tentang secangkir coklat hangat, Adhisty kembali mengingat kejadian dua tahun lalu, sembari menyeruput coklatnya, bayangan kelam tentang dirinya dengan coklat melintas di otaknya.
Dua tahun yang lalu, ketika Mega dan Tania berkunjung ke rumah Adhisty, mereka meminta dibuatkan coklat hangat, lalu Adhisty menurutinya. Adhisty kembali dari dapur membawa dua cangkir coklat hangat dan beberapa camilan untuk mereka, Tania segera menyeruput coklat hangat yang disuguhkan oleh Adhis, tetapi Tania justru menyemburkan coklat hangat itu dari mulutnya dan mengenai baju putih Adhis. “Duh, Kak. Ini terlalu panas!” teriak Tania. Mendengar adiknya marah karena kepanasan, Mega langsung meraih satu cangkir coklatnya dan memasukannya ke mulut Adhis dengan paksa. “Kak, cukup,” lirih Adhis.
Batinnya menangis, Adhis merasa harga dirinya sangat terluka pada saat itu. Tania dan Mega merasa tidak puas karena merasa diperlakukan dengan buruk oleh Adhis, mereka berpikir bahwa Adhis sangat sengaja ingin menjahati mereka. Padahal, ketika Mega menyumpali mulutnya dengan coklat tadi, terasa hangat di mulut Adhis, tidak ada panas sedikitpun.
Mega dan Tania berkeliling di rumah Adhis, langkah mereka tertuju ke sebuah dapur yang cukup mewah. Mega meraih kursi dan menaikinya untuk membuka kitchen set yang begitu tinggi, ia melihat dan memilah bahan apa yang akan dibawa pulang ke rumahnya nanti. Lama mencari, matanya tertuju kepada sebungkus bubuk coklat dan bahan-bahan kue, tak lupa pandangannya tidak luput dari beberapa bungkus mi instan. “Kakak minta coklat bubuk itu dan sekardus mi instan dong, Dhis. Coklat bubuknya yang baru ya jangan yang sudah kamu pakai,” ucap Mega.
“Tapi Kak, mi yang di kitchen set kan tidak ada sekardus, lalu bubuk coklatnya hanya sisa itu saja,” ucapnya.
“Yang di kitchen set ya emang nggak sekardus, tapi di gudang kan kamu banyak simpan stok makanan, sudah kasih Kakak saja, di rumah Kakak ada Arga yang makan, katanya sayang sama keponakan? Bubuk coklatnya ya terpaksa Kakak bawa yang bekas kamu aja.”
Mega selalu berdalih tentang Arga jika ingin meminta sesuatu dari Adhis. Mendengar nama Arga, Adhisty selalu luluh, bagaimana tidak? Setiap kali melihat Arga, Adhisty selalu teringat akan dirinya di masa SMA. Ia tahu betul bagaimana pedihnya kehilangan kasih sayang dari orang tua, meskipun saat itu usianya sudah remaja tetapi tetap saja dunianya seakan runtuh. Bedanya, orang tua Adhis mengalami kecelakaan dan meninggal ketika dirinya masih SMA, sedangkan Arga, ayahnya adalah seorang pemabuk, penjudi, dan pemarah. Sehingga jarang sekali Arga mendapat kedamaian di rumahnya, setiap hari hanya melihat orang tuanya bertengkar.
Tidak cukup kakak iparnya yang meminta, Tania yang sudah hilang dari dapur itu rupanya berada di lantai dua rumah Adhis, tepatnya di kamar Adhis, memang sangat tidak sopan untuk seorang mahasiswi seperti Tania yang seharusnya mengerti adab dalam bertamu.
Tania berteriak dari lantai atas, tetapi tidak terdengar jawaban apapun dari Adhis. Tania merasa kesal lalu membuka lemari dan mengacak-acak baju yang sudah tersusun rapi di lemari kakak iparnya itu.
/0/10772/coverorgin.jpg?v=b177573f62c3b38d07d70b707c10d091&imageMogr2/format/webp)
/0/4734/coverorgin.jpg?v=82e55bc11f5de03ab7b9babc8be728ba&imageMogr2/format/webp)
/0/2953/coverorgin.jpg?v=60678ef4de0d2131e5313582859027c8&imageMogr2/format/webp)