Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Entah kenapa ia memutuskan membawa gadis itu pulang. Alexander masih tidak mengerti jalan pikirannya kemarin. Sepertinya, waktu itu ia terhanyut suasana. Berawal dari memenuhi undangan salah satu teman lama, ia mendatangi kelab malam di mana bertaburan gadis-gadis muda yang meliuk-liuk seperti cacing kepanasan.
Sebenarnya, Alexander merasa terlalu tua untuk itu. Ia lebih senang menghabiskan waktu di pub, sambil menikmati live musik. Namun demi menjaga hubungan baik dengan teman lama yang juga merupakan pemilik grup perusahaan investor, ia menyempatkan datang. Hitung-hitung sekadar menikmati suasana, meski dentuman musik jedag jedug sudah bukan lagi seleranya.
Siapa sangka, sesaat setelah mengucapkan selamat atas pembukaan kelab malam, kedua matanya tanpa sengaja menangkap seorang gadis yang tampak sudah setengah mabuk.
Dari sekian banyak gadis-gadis muda lainnya, hanya yang menarik perhatiannya. Mungkin hanya kebetulan, karena tempat mereka bahkan juga tidak berdekatan.
Malam itu ia duduk sendirian di dalam private room berdinding kaca, yang berada satu tingkat di lantai atas. Ruangan itu telah disiapkan khusus untuknya. Sejenak setelah menemaninya mengobrol -sambil membahas sedikit bisnis- pemilik kelab meninggalkannya sendirian dengan jamuan paling mahal di atas meja. Pemilik kelab, bahkan sudah menyediakan wanita penghibur khusus, yang bisa ia panggil sewaktu-waktu melalui intercom.
Namun kedua matanya tidak pernah bisa berhenti mengikuti gerak-gerik gadis setengah mabuk yang tadi sempat ia lihat saat memasuki kelab. Penampilan provokatif malam itu menyeret perhatiannya lebih jauh. Ia melihat ditinggalkan begitu saja di sofa, setelah kelelahan melantai dengan teman-temannya.
Alexander tertarik mengamati bagaimana sikap teman-teman yang seperti tampak merencanakan sesuatu. Mereka bergerombol di belakang sofa di mana duduk sendiri. Kemudian para gadis lainnya seperti sengaja menjauh. Lalu seorang pemuda yang sedari tadi bersama menyerahkan bungkusan pada pemuda berseragam waiter, sambil memberi isyarat ke arah meja di mana duduk sendirian.
Hati Alexander bagai mati separuh, saat mengingat bagaimana saat itu memanggil teman-temannya dengan lambaian tangan. Gadis itu tidak menyadari senyuman palsu dari gerombolan yang bersamanya malam itu.
Satu pil saja, bisa membuat gadis itu tidak sadarkan diri. Alexander tidak tahu jenis pil apa yang dimasukkan ke dalam minuman . Namun dari balik dinding kaca di hadapannya yang menjelma bak monitor raksasa, kedua mata Alexander dapat menangkap situasi yang berada di lantai bawah. Ia melihat bagaimana pil itu dimasukkan ke dalam minuman hingga dalam perjalanan diantar menuju meja gadis itu.
Entah bagaimana, Alexander memilih turut campur dalam hal yang seharusnya bukan urusannya. Padahal, tidak juga kenal. malam itu hanyalah satu dari sekian banyak gadis random di dalam kelab. Alexander ingat, ia bergegas turun setelah mengambil sebotol air kemasan dari dalam kulkas mini di tempatnya.
Mungkin karena gadis itu cantik dan terlanjur menarik perhatiannya? Tetapi Alexander bukanlah lelaki yang sulit menemukan gadis cantik untuk dibawa pulang. Mungkin hanya iba? Entahlah. Alexander bahkan tidak yakin pada perasaannya sendiri di malam itu. Yang jelas, ia tertarik.
Kesan pertama yang ia dapatkan, hanyalah gadis muda yang berani dan nakal. Kebetulan ia sedang bosan bermain-main dengan pelacur, atau sekedar menghubungi friends with benefits-nya. , menawarkan suasana baru yang begitu menyegarkan.
"Dari orang di meja seberang," ucap pelayan berseragam sembari membungkuk, agar suaranya yang beradu dengan dentum musik house dapat terdengar lebih jelas oleh gadis muda yang tampak bahagia meski tengah duduk sendirian di sofa.
Gadis itu sontak mendongak dan menemukan pemuda yang duduk sendirian di seberang, mengangkat gelas tinggi-tinggi.
Soraya, tersenyum geli. Batal menyalakan api demi sebatang rokok yang sudah terselip di antara bibir.
"Sebaiknya kamu jangan minum itu.." Tiba-tiba seorang lelaki duduk di hadapannya dan dengan tampang acuh menyingkirkan minuman yang baru saja tiba. Soraya menatap protes, tetapi senyuman menawan dari wajah yang luar biasa tampan membuat batang rokok di antara bibirnya nyaris terjatuh.
Kemeja hitam, kancing teratas dibuka dua dipadu dengan setelan jas yang membalut postur tubuh tegap. Lelaki di hadapannya tersenyum, menampakkan deretan gigi yang berbaris rapi.
"Kenapa?" Soraya bertanya tanpa mampu mengalihkan pandangan sedikit pun dari lelaki karismatik di hadapannya.
Lelaki tampan itu mendekat dan menyodorkan sebotol air mineral dingin. Masih tersegel dan berembun seperti baru keluar dari kulkas.
"Ada yang masukin pil ke dalam minuman kamu. Saya khawatir ada yang berniat buruk. Lagian kamu keliatan mabuk. Minum ini..." Lelaki itu, sekali lagi menampakkan senyumannya yang berkarisma.
"Wow thanks..." Soraya menatap takjub. Ia memang merasa sedikit mabuk. Lelaki tampan di hadapannya membukakan tutup botol dan Soraya minum air mineral dingin dari tangan lelaki itu tanpa ragu. "Om sendirian?" tanyanya pada lelaki yang sepertinya lebih tua. Soraya menyimpulkan dengan cepat, mungkin lelaki tampan di hadapannya berusia sekitar tiga puluhan.
"Iya. Kamu?" Lelaki itu balas bertanya selagi Soraya diam-diam sibuk memuji gaya rambut dengan poni membelah dahi yang membuat penampilan lelaki berahang tegas di hadapannya semakin menawan.
"Mmm... " Soraya melempar tatapannya mengelilingi seluruh penjuru tempat yang tampak hingar bingar. "Temen-temen aku masih joget... aku disuruh jaga sofa," jawabnya kemudian dengan tatapan sayu yang diiringi senyuman lebar, membuat siapa saja mudah menyimpulkan bahwa ia sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
Lelaki di hadapannya tersenyum tipis. "Harusnya ada satu orang yang jagain kamu di sini."
"Kenapa harus dijaga? Aku bukan anak kecil." Soraya santai menyalakan api dan membakar ujung batang rokoknya.
"Nama kamu?" tanya lelaki di hadapannya dengan tatapan penuh minat.
"Soraya. Om?" Soraya balik bertanya.
"Alexander ."
Alexander . Soraya tersenyum. Sungguh nama yang mudah diingat.
"Apa asyiknya dugem sendirian?" tanya Soraya kemudian, dengan sedikit berteriak karena dentuman suara musik semakin mengencang.
Bibir Alexander membentuk segaris senyum, dengan tatapan lekat yang sulit dimentahkan oleh perempuan mana pun. "Mau pindah tempat nggak? Biar lebih enak ngobrolnya. Kalau kamu mau... "
Soraya merasakan debaran di jantungnya kian menguat. Lelaki tampan itu sepertinya benar-benar tertarik kepadanya. "Temen-temen aku.... " Kemudian mengedarkan pandangan dengan mimik ragu. "......masih joget."
Lelaki di hadapannya sudah berdiri. Mengangkat kedua alis, sembari mengulurkan tangan. "Mau pindah ke lounge di lantai bawah? Saya yang traktir..." Tawaran menarik itu ditutup isyarat gerakan kepala dengan senyuman berkarisma yang sangat sulit diabaikan.
Senyuman Soraya lepas begitu saja. Ia menenggelamkan sebatang rokok yang masih utuh ke dalam asbak, lalu menyambut uluran tangan Alexander sembari menyambar tas-nya.
Jemarinya tenggelam dalam genggaman hangat Alexander . Lelaki itu mengawal langkahnya yang menjadi sedikit kesulitan berjalan karena pengaruh alkohol. Mereka berdua bergandengan tangan membelah kerumunan manusia yang sedang asyik melantai terbius hentakan musik.
Alexander sesekali menoleh, seperti memastikan keadaannya baik-baik saja. Lelaki itu tidak melepaskan genggaman tangannya, bahkan hingga mereka memasuki lift demi sampai di lounge yang tampak sepi pengunjung.
Mengobrol di sini jauh lebih baik dan Soraya dapat melihat dengan lebih jelas, rupa paripurna om om keren yang kini kembali duduk di hadapannya.
"Om, asli sini?" tanya Soraya tepat setelah bir dingin pesanan mereka tiba. Meski kepalanya sudah terasa pusing, ia tetap saja memesan bir.
Alexander hanya mengangguk sembari menarik bibirnya membentuk garis lurus. "Kamu? "
"Saya pendatang," jawab Soraya sambil menyalakan sebatang rokok.
"Kerja juga?"
Senyuman tipis mengembang dari bibir yang lipstiknya sudah memudar. "Emang kelihatan tua ya? Saya baru 19 tahun, baru masuk kuliah semester satu malah..." Asap rokok dihembuskan santai. "Om mau rokok?"
Alexander menggeleng pelan.
"Nggak ngerokok?" Soraya menarik kembali kotak rokoknya.
"Saya kurang suka sama merek itu..." Kedua mata Alexander melirik bungkusan rokok mild yang memang kebanyakan pangsa pasarnya mahasiswa.
Soraya tersenyum sebelum kembali menghembuskan asap rokoknya. Baru tiga bulan menjadi perokok aktif, ia merasa sudah lihai dalam urusan hembus menghembuskan asap. "Om umur berapa?" Soraya memiringkan kepala. Mendadak penasaran karena penampilan lelaki di hadapannya tidak seperti cowok seumurannya, namun luar biasa enak dilihat.
"Tebak."
"Mmm... 30?"
"Apa saya kelihatan semuda itu?"
"Ohh! Jangan bilang Om udah 40 lebih! Sumpah nggak keliatan!" puji Soraya terus terang.
"Saya belum sampai 40..."