/0/17384/coverorgin.jpg?v=824555dd66945fa97551dd6fb5bd7e30&imageMogr2/format/webp)
Alana Putri Pratama selalu tahu arti sederhana. Bukan karena ia hidup dalam kekurangan, melainkan karena ia melihat keindahan dalam hal-hal kecil. Senyum tulus seorang anak, secangkir kopi hangat di pagi hari yang dingin, atau bisikan angin sore di jendela kamarnya – semua itu adalah kekayaan baginya. Kecantikannya bukan jenis yang menuntut perhatian, melainkan memancar lembut dari sorot mata yang teduh dan senyum yang menenangkan. Ia adalah gadis dari latar belakang biasa, namun dengan hati luar biasa yang selalu siap memberi, bahkan ketika ia sendiri tak banyak memiliki.
Pekerjaannya sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan multinasional tidak menjanjikan kemewahan, tetapi memberikan stabilitas. Di sanalah, takdir mempertemukannya dengan Raihan Wijaya, seorang manajer muda yang karismatik dan ambisius. Raihan adalah tipe pria yang selalu menjadi pusat perhatian, dengan aura percaya diri yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Senyumnya mudah menular, dan matanya yang tajam selalu terlihat berpikir. Alana tidak pernah menyangka akan menjadi target perhatian seorang Raihan Wijaya. Mereka jarang berinteraksi langsung dalam pekerjaan, tetapi beberapa kali pertemuan di koridor atau di kantin meninggalkan kesan tak terhapuskan pada Alana. Raihan selalu menyapanya dengan sopan, terkadang menyelipkan pujian kecil tentang kinerja atau penampilannya, membuat pipi Alana merona tanpa bisa dicegah.
Lamaran itu datang tiba-tiba, seolah kilat di siang bolong. Alana masih ingat sore itu, Raihan menunggunya di lobi setelah jam kerja. Jantung Alana berdegup kencang. Ia mengira akan ada tugas tambahan atau evaluasi mendadak. Namun, Raihan justru mengajaknya makan malam di sebuah restoran mewah yang tak pernah terbayang akan ia masuki. Suasana romantis, cahaya remang, dan alunan musik lembut, semuanya terasa seperti adegan dari film. Ketika Raihan berlutut di hadapannya, menggenggam sebuah kotak beludru berisi cincin bertahtakan permata sederhana namun elegan, dunia Alana seolah berhenti.
"Alana Putri Pratama," suara Raihan terdengar mantap, meski ada sedikit getaran yang tak biasa, "maukah kau menikah denganku?"
Alana terpaku. Selama ini, ia mengagumi Raihan dari jauh. Pria setampan, sesukses, dan sepopuler Raihan, mana mungkin melirik gadis biasa sepertinya? Pikirannya berkecamuk. Antara keraguan, kebahagiaan, dan sedikit ketidakpercayaan, ia hanya bisa mengangguk, air mata haru mulai membasahi pipinya. Raihan tersenyum lega, memakaikan cincin itu di jari manis Alana, dan mencium punggung tangannya dengan lembut. Malam itu, Alana merasa seperti putri dalam dongeng. Ia pulang ke rumah dengan hati mengembang, menceritakan semuanya pada ibu dan adiknya yang terkejut, namun ikut berbahagia.
Persiapan pernikahan berjalan lancar, meskipun Alana merasa ada yang ganjil. Raihan tampak terburu-buru, seolah ingin segera menyelesaikan semuanya. Ia menanggung hampir seluruh biaya, bersikeras ingin pernikahan yang sederhana namun elegan, sesuai dengan keinginan Alana. Keluarga Alana merasa beruntung mendapatkan menantu seperti Raihan. Ia sopan, ramah, dan selalu memperlakukan mereka dengan hormat. Namun, Alana merasakan dinding tak kasat mata di antara mereka. Raihan jarang sekali membicarakan masa depannya, atau bahkan perasaannya. Obrolan mereka lebih sering berputar pada hal-hal umum, pekerjaan, atau persiapan pernikahan itu sendiri. Sentuhan Raihan pun terasa hati-hati, bahkan cenderung menjauh. Alana mencoba menepis keraguan itu, meyakinkannya bahwa mungkin Raihan hanyalah tipe pria yang menjaga jarak sebelum pernikahan, menghormati tradisi.
Hari pernikahan tiba. Alana terlihat sangat cantik dalam balutan gaun putih sederhana yang dipilihnya sendiri. Senyumnya merekah, meskipun ada sedikit gugup di dadanya. Raihan, dengan setelan jas rapi, tampak gagah. Ia tersenyum tipis padanya saat mereka berdiri di altar, mengucap janji suci di hadapan penghulu dan sedikit kerabat dekat. Ya, pernikahan itu memang sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga inti dan beberapa teman dekat dari kedua belah pihak. Alana melihat Raihan sesekali melirik ke arah pintu masuk, seolah mencari seseorang, namun Alana hanya menganggapnya sebagai kegugupan biasa.
Namun, kebahagiaan Alana tak bertahan lama. Malam pertama pernikahan adalah titik balik yang menghancurkan semua fantasi indah Alana. Di kamar hotel yang mewah, di mana seharusnya cinta mereka bersemi, Raihan justru menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ia duduk di sofa, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Alana mencoba mendekat, tangannya terulur ingin menyentuh bahu suaminya.
"Raihan...?" panggilnya lembut.
Raihan menoleh, matanya terlihat lelah dan dingin. "Alana," ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik, "maafkan aku."
Alana mengerutkan kening, bingung. "Maaf untuk apa?"
Raihan menghela napas panjang, lalu bangkit dan berjalan mondar-mandir di kamar. "Pernikahan ini... ini bukan seperti yang kau bayangkan."
Jantung Alana mencelos. Perasaan tidak enak yang selama ini ia coba tepis, kini menerkamnya dengan ganas. "Apa maksudmu, Raihan?" suaranya bergetar.
Raihan berhenti, berbalik menghadap Alana, namun matanya tak menatapnya secara langsung. "Aku... aku mencintai wanita lain, Alana. Aku mencintai dia sejak lama. Tapi dia pergi, menikah dengan pria lain. Aku... aku tidak bisa menerimanya."
Pikiran Alana kosong. Rasanya seperti seluruh udara di ruangan itu tersedot habis. "Lalu... lalu mengapa kau menikahiku?" Tanyanya, suaranya hanya berupa bisikan.
Raihan menghela napas lagi, frustrasi terlihat jelas di wajahnya. "Aku... aku ingin dia cemburu. Aku ingin dia tahu bahwa aku bisa bahagia tanpanya, bahwa aku bisa menemukan orang lain. Aku ingin dia melihatku menikah, dan menyesal."
Dunia Alana runtuh seketika. Kata-kata itu, bagai belati tajam yang menusuk tepat ke jantungnya. Ia merasa bodoh, begitu naif telah mempercayai dongeng yang disajikan Raihan. Selama ini, ia hanyalah alat, sebuah pion dalam permainan Raihan untuk membalas dendam atau menarik perhatian mantan kekasihnya. Air mata yang selama ini ia tahan, kini mengalir deras, membasahi pipinya.
"Jadi... jadi aku hanya pelampiasan?" tanya Alana, suaranya serak karena tangis.
Raihan memejamkan mata. "Aku minta maaf, Alana. Aku tahu ini tidak adil bagimu. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku terlalu putus asa."
"Putus asa?" Alana tertawa getir di antara isakannya. "Kau menghancurkan hidupku karena keputusasaanmu? Kau bermain-main dengan perasaanku?"
Raihan mendekat, mencoba meraih tangan Alana, namun Alana menepisnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya, suaranya penuh luka. "Aku tidak ingin kau menyentuhku. Tidak sekarang, tidak pernah!"
Sejak malam itu, rumah tangga mereka hanyalah sebuah ilusi. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, berbagi meja makan yang sama, tetapi mereka adalah dua orang asing yang terperangkap dalam sebuah sandiwara. Raihan tidak pernah menyentuh Alana sedikit pun. Mereka tidur di ranjang yang sama, namun ada sekat tak terlihat yang memisahkan mereka. Raihan selalu tidur memunggungi Alana, dan terkadang Alana bisa mendengar Raihan menghela napas panjang di kegelapan malam, seolah ada beban berat yang menghimpitnya.
/0/26001/coverorgin.jpg?v=20250711083108&imageMogr2/format/webp)
/0/15938/coverorgin.jpg?v=59c6ca5eeba18378adc4c852a8d8f203&imageMogr2/format/webp)
/0/9153/coverorgin.jpg?v=d739cadec9e6d9f609887335587c2f88&imageMogr2/format/webp)
/0/12939/coverorgin.jpg?v=6c174984c8ef1145cdac2fdce22ee108&imageMogr2/format/webp)
/0/3898/coverorgin.jpg?v=e8c73da8248f56bfc2354a940f0bf48f&imageMogr2/format/webp)
/0/14868/coverorgin.jpg?v=ed691902cab62c9f9016d20bc582a957&imageMogr2/format/webp)
/0/20579/coverorgin.jpg?v=20250124101151&imageMogr2/format/webp)
/0/5774/coverorgin.jpg?v=c4321a0e698161da875110311678e3a9&imageMogr2/format/webp)
/0/6658/coverorgin.jpg?v=6ddf3846795b2e35b6aade1bd2089ce0&imageMogr2/format/webp)
/0/14064/coverorgin.jpg?v=47e9031b9221cf7fb44b043b76672b6f&imageMogr2/format/webp)
/0/23589/coverorgin.jpg?v=20250429182552&imageMogr2/format/webp)
/0/3096/coverorgin.jpg?v=4d0ca931f28d578ae8dd5f8984db5f7f&imageMogr2/format/webp)
/0/13043/coverorgin.jpg?v=25bacbaed5650a2e06f7fffe595456e2&imageMogr2/format/webp)
/0/24347/coverorgin.jpg?v=666de77ca3973db3eb04724e57c20e17&imageMogr2/format/webp)
/0/8089/coverorgin.jpg?v=20250122152359&imageMogr2/format/webp)
/0/13130/coverorgin.jpg?v=b23b8b5b8c84e223572e09785c9eec53&imageMogr2/format/webp)
/0/5983/coverorgin.jpg?v=6f6e63590595f6e14b3827c458936f00&imageMogr2/format/webp)
/0/13205/coverorgin.jpg?v=9af290515da8dd995ad0829d60f3154b&imageMogr2/format/webp)
/0/13264/coverorgin.jpg?v=32f2718a46ee325ec1580f1b3bea8ed2&imageMogr2/format/webp)
/0/8305/coverorgin.jpg?v=3b45de7c77b8e84543d7102d269d1538&imageMogr2/format/webp)