Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Aku melihatnya lagi, gadisku kembali menghabiskan sorenya di kursi taman rumah sakit. Seperti apa yang selalu ia lakukan semenjak tiga hari belakangan ini. Semilir angin sore sesekali menerbangkan helai rambut hitamnya yang tergerai bebas, membingkai dengan sempurna wajah mungil yang selalu membuatku tak pernah bosan untuk memandanginya. Dialah gadisku, milikku seutuhnya meski pada kenyataannya dia bahkan sama sekali tak mengingat eksistensiku dalam hidupnya.
Genggaman tanganku di atas parzel buah semakin mengerat. Aku egois, ya... aku tahu itu. Dengan kejamnya merasa bahagia ketika gadis yang kucinta kehilangan seluruh memori di otaknya. Mau bagaimana lagi? Ini semua karena aku terlalu mencintainya. Cintaku ini bahkan semakin bertambah ketika dia menjadi sosoknya yang baru.
Lihatlah dirinya. Begitu cantik, begitu hangat, begitu cemerlang, sehingga membuat dirinya begitu mudah untuk dicintai. Jauh berbeda dengan dirinya yang dulu. Meski pada kenyataannya, mau seperti apapun sikapnya, cintaku ini hanya akan tetap tertuju padanya. Terpatri begitu dalam hingga aku bahkan sulit untuk sekedar berpaling untuk mengagumi wanita yang lain.
"Kamu sudah datang?" suaranya yang lembut menyentak lamunanku begitu saja. Lihatlah, karena terlalu sibuk mengagumi sosoknya, aku bahkan tak sadar sejak kapan kedua kakiku telah melangkah dan kini aku justru mendapati diriku tengah berdiri membatu di hadapannya.
Mengerdikkan bahu, aku kemudian mendudukkan tubuhku tepat di sebelahnya. Memejamkan mata sejenak, menikmati semilir angin yang sayup membawa serta wangi tubuhnya. "Seperti biasa, tak ada yang spesial." Jawabku kemudian sambil tersenyum lembut kepadanya.
Gadisku itu membalas senyumku sambil menyingkirkan helaian rambut panjangnya yang tertiup angin hingga menghalangi pandangan. Tanganku dengan refleks --yang lebih karena terbiasa, ikut menyelipkan beberapa anak rambutnya ke belakang telinga. Helaian rambutnya itu kini berwarna cokelat keabuan, nyaris hitam. Warna yang tergolong normal.
Sampai sekarangpun aku tak mengerti, kenapa dulu dia begitu suka mewarnai rambutnya dengan warna-warna tak masuk akal. Mulai dari cokelat tua yang diberi sentuhan warna merah disetiap ujungnya, pink cerah yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi sakit mata, hingga percampuran tujuh warna yang membuat rambutnya bisa saja dijadikan sebagai icon pelangi.