Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Zivanna POV
'Sebenarnya... apa itu kebahagiaan? Apa ada orang yang benar-benar bahagia? Atau.. hanya terlihat seperti sedang berbahagia?'
Jika kebahagiaan itu ada, lalu kenapa aku justru tidak pernah bahagia. Padahal aku juga selalu bersyukur, dan berdoa pada Tuhan. Tapi kenapa? Dia terus memberikan ujian yang semakin hari semakin sulit untuk di terima.
Rasanya setiap hari, aku justru terus kehilangan diriku sendiri. Merasa bahwa semua orang membenci kehadiranku. Aku tidak bisa mencintai siapapun, aku bahkan tidak bisa mencintai diriku sendiri.
'Lalu bagian mananya yang kau sebut bersyukur? Yang kau lakukan hanya mengeluh,'
Bagi orang lain cinta itu sangatlah berharga, tapi bagiku itu sungguh tidak ada gunanya. Aku mati rasa terhadap segala hal yang bersangkutan dengan cinta. Merasa gagal, karena setiap aku mencintai seseorang. Mereka pasti akan pergi jauh dariku, dan aku benci rasa dari sakitnya kehilangan. Aku tak ingin mengetahui, atau mengenal seseorang. Lalu berharap ia akan menjadi cahaya penerang di dalam gelap nya duniaku.
"Coba liat pakaian nya. Ewhh, nggak banget!"
"Liat deh! jijik banget nggak sih dia,"
Sudah menjadi kebiasaan ku mendengar hal itu. Mereka membenci ku hanya karena aku datang dari yang bukan kalangan mereka. saat mereka tau aku hanyalah anak beasiswa, mereka semua langsung memperlihatkan wajah aslinya, lucu sekali mengingat drama yang mereka lakukan saat pertama kali bertemu denganku. Berpura-pura baik dan manis, sungguh wajah mereka konyol sekali saat itu.
"Sudahh segini dulu dehh. Nanti kita nggak punya mainan kalo sampai dia mati, hahaha!"
Para bajingan itu pergi setelah menghajarku habis-habisan. Aku mengelap darah yang keluar dari bibir sebelah kanan ku yang robek, sungguh ini tidak ada apa-apa nya dibandingkan semua yang sudah aku alami. Aku juga selalu pulang seperti ini jika kalian penasaran, dengan darah yang berlumuran dimana-mana atau lebam di wajah. Orang-orang yang melewati ku akan mengira aku anak berandalan yang suka berkelahi. Padahal aku perempuan.
Aku bukannya tidak bisa melawan, aku hanya tidak ingin. Mereka akan jauh lebih terluka jika aku membalas, dan berakhir aku yang akan masuk penjara karena mereka semua anak-anak dari orang terkenal dan kaya.
Aku menghela nafas, dan kembali tersenyum. Membiarkan luka dan lebam itu sembuh dengan sendirinya. Mengobati nya hanya akan membuat ku lelah. Aku berdiri, lalu mengambil tas dan buku ku yang berserakan. Ahh... uang yang aku kumpulkan selama seminggu. Seperti nya mereka kekurangan uang jajan sampai harus mengambil dariku yang miskin ini.
Saat sedang membereskan barang-barang, ponselku tiba-tiba berdering.
"Iya halo?"
"Apa kau tidak ingin bekerja lagi?! Kenapa kau lama sekali!! Aku akan bangkrut jika memiliki pekerja lambat dan konyol seperti mu!"
"Ma-maaf...."
"Maaf mu tidak akan mengembalikan uang ku, sudahlah kau tidak perlu bekerja lagi, kau di PECAT!!"
Aku menjauhkan ponsel ku dari telinga tepat saat dia berteriak. Kenapa dia suka sekali menyakiti tenggorokan nya itu. Aku kembali menghela nafas, ini sudah yang kelima kalinya aku di pecat. aku hanya punya dua pekerjaan saat ini, apa itu akan cukup?
Apalagi pengeluaran sekolah semakin banyak, dan semua pasti mahal. Mereka hanya memberikan uang per semester dan bukan kebutuhan sekolah per individu lainnya.
Selesai, aku kemudian berjalan keluar gudang sekolah. Iya aku masih di sekolah, para bajingan tadi menyeret ku masuk saat sekolah sudah bubar. Mereka semua hanya menatap ku dengan tatapan konyol saat melihat ku di seret dengan kasar oleh para bajingan bangsat itu. Bahkan guru dan kepala sekolah nya itupun hanya diam saat melihatku. Mereka tidak mungkin memarahi anak dari pemasok dana terbesar di sekolah mereka.
Semua terlihat begitu sepi, hanya ada satu atau dua Office Boy sekolah yang terlihat sedang membereskan sekolah mewah itu. Mereka hanya menatap iba padaku, tatapan yang paling aku benci.