/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
Selina menatap cermin besar di ruang tamu sambil memutar-mutar cangkir kopi di tangannya. Aroma hangat kopi itu tidak mampu menenangkan gelisah yang terus membara di dadanya. Mata cokelatnya yang tajam menatap bayangan dirinya sendiri, mencari keberanian yang nyaris terkikis oleh kenyataan yang baru saja menamparnya.
Dina. Nama itu selalu muncul di setiap sudut pikirannya, bagai racun yang perlahan meresap ke dalam kehidupan rumah tangganya. Selina tahu, Dina bukanlah wanita biasa. Ia penuh ambisi, manipulatif, dan paling berbahaya-karena ia tahu bagaimana cara merayu dan mengambil apa yang seharusnya bukan miliknya.
Rafael, suaminya, terlihat santai ketika mengobrol di ruang kerja. Ia tertawa pada sesuatu yang Selina tidak tahu. Entah apa yang membuat pria itu begitu mudah terpesona. Selina menekankan rahang, menahan dorongan amarah yang hampir keluar begitu saja. Selina tidak bisa membiarkan Dina mengambil alih kehidupannya-terutama ketika anak mereka, Alya, masih membutuhkan sosok ibu yang kuat dan tegas.
Suara pintu terbuka, dan Rafael muncul dengan senyum lepas. Rambutnya yang selalu rapi kini sedikit berantakan, tapi bagi Selina, itu tidak menambah daya tarik. Sebaliknya, ia merasa ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
"Selina, kau tampak serius. Ada apa?" Rafael menatapnya, sedikit bingung.
Selina menelan ludah. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati, karena kali ini ia tidak bisa lagi diam. "Rafael, kita perlu bicara. Tentang Dina."
Rafael menegang. Ia tahu, setiap kali nama itu disebut, ada sesuatu yang akan berubah dalam rumah tangga mereka. "Apa yang kau maksud?"
Selina berdiri, menatapnya lurus. "Aku memberimu pilihan, sekali ini. Dina, dia... dia tidak akan berhenti sampai kau memberinya tempat di hidupmu. Jika kau ingin aku tetap di sini, aku butuh kau mengambil keputusan. Entah kau menegaskan bahwa aku satu-satunya di hatimu... atau kau biarkan dia pergi. Tapi jangan pernah sekalipun mencoba membawa dia masuk ke kehidupan kita lagi."
Rafael menunduk, menahan napas. Selina bisa merasakan dilema di matanya, campuran antara ketertarikan dan rasa bersalah. "Selina, aku... aku tidak tahu harus bagaimana. Dia... aku merasa... aku bingung."
"Bingung? Kau tidak bingung untuk dirimu sendiri, Rafael. Kau bingung untuk wanita yang tidak seharusnya kau biarkan merusak kebahagiaan kita," Selina menegaskan. Suaranya tegas, tapi ada getaran emosi yang tak bisa ia sembunyikan.
Namun, di luar sana, Dina sedang tersenyum. Ia baru saja menerima kabar bahwa Rafael menghabiskan waktu bersamanya, meskipun secara diam-diam. Dina tahu, langkah selanjutnya harus lebih cerdik, lebih halus. Ia bukan tipe yang menyerah begitu saja. Dalam pikirannya, Selina hanyalah batu sandungan kecil-sebuah tantangan yang membuat kemenangannya nanti terasa lebih manis.
Keesokan harinya, Selina memperhatikan Alya yang tampak murung. Gadis remaja itu mulai menangkap perbedaan perlakuan ayahnya, tatapan cemas ketika melihat Dina lewat di dekat rumah mereka, bahkan dalam pesta kecil yang Rafael adakan di kantor. Selina tahu, Alya mulai menebak keberadaan wanita lain dalam kehidupan mereka.
Malam itu, setelah Rafael tertidur di sofa ruang keluarga, Selina duduk di samping Alya. "Alya... kau tahu kan, Ibu selalu ingin yang terbaik untukmu dan ayahmu," katanya lembut.
Alya menunduk, jemarinya memainkan ujung selimut. "Aku... aku tahu, Bu. Tapi kenapa Ayah berubah? Kenapa ada wanita lain?"
Selina menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya sendiri sebelum menjawab. "Kadang, orang dewasa membuat kesalahan. Tapi Ibu janji, aku akan melindungimu. Tidak ada yang akan merusak keluargamu selamanya."
Alya memandang ibunya, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. "Tapi Bu... aku tidak ingin kehilangan Ayah..."
Selina memeluk putrinya erat. "Kita tidak akan kehilangan satu sama lain. Aku janji, Alya. Kita akan tetap bersama, kuat."
Hari-hari berikutnya menjadi medan perang terselubung. Dina terus mengirim pesan, menghadirkan diri di pesta-pesta, bahkan terkadang 'tidak sengaja' muncul di kantor Rafael. Selina mulai menyusun strategi. Ia tidak hanya ingin melindungi keluarganya; ia ingin membuat Dina sadar bahwa setiap langkahnya akan diperhatikan dan setiap gerakannya bisa dipertanggungjawabkan.
Selina menghubungi kedua saudara Rafael, meminta mereka waspada dan siap membantu. Mereka semua sepakat, Dina terlalu berani dan terlalu licik untuk dibiarkan begitu saja. Bersama, mereka merencanakan langkah-langkah yang akan membuat Dina kewalahan, sekaligus menjaga hubungan Selina dan Alya tetap aman.
Sementara itu, Rafael mulai merasakan tekanan. Setiap kali ia mencoba mengabaikan Selina dan Alya, ada rasa bersalah yang menusuk. Dina tidak hanya hadir sebagai wanita yang memikat; ia juga mulai menuntut waktu dan perhatian. Rafael merasa terjebak di antara dua dunia yang sama-sama menuntut hatinya.
Selina, dengan kesabaran dan kecerdasannya, perlahan-lahan mulai menata perang psikologis ini. Ia tidak menyerang secara terang-terangan; ia menggunakan pendekatan yang lebih halus, memanfaatkan kekuatan informasi, dan menciptakan situasi di mana Dina merasa setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata-katanya dianalisis.
Hari demi hari berlalu dengan ketegangan yang meningkat. Alya mulai terbiasa dengan dinamika baru ini, tapi tetap ada rasa cemas yang membayangi. Selina, di sisi lain, mulai merasakan kepuasan kecil melihat Dina mulai ragu, menyadari bahwa tidak semua orang mudah ditaklukkan.
Namun Selina tahu, puncak konflik belum datang. Ia harus memastikan, ketika waktunya tiba, Dina benar-benar memahami bahwa rumah tangga ini bukan medan permainan. Bahwa cinta, keluarga, dan harga diri tidak bisa dirampas begitu saja. Dan ketika semua rencana berjalan sesuai skenario, Rafael dan Dina akan menyadari bahwa Selina bukanlah wanita yang mudah dikalahkan.
Selina menatap cermin sekali lagi, menyesap kopi yang mulai dingin. Ada senyum tipis di bibirnya. Perjuangan baru saja dimulai, dan ia siap menghadapi setiap tantangan, demi putrinya, demi keluarganya, dan demi dirinya sendiri.
Di luar, malam semakin gelap, tetapi Selina merasa terang. Ia tahu, cahaya yang sesungguhnya datang dari dalam diri sendiri. Dan kali ini, ia tidak akan menyerah pada siapapun, termasuk Dina yang penuh tipu daya itu.
Hujan deras menimpa kota saat Selina menutup pintu mobilnya. Suara tetes air yang memantul di atap logam membuat pikirannya berkecamuk. Hari itu bukan hari biasa; ada undangan dari perusahaan Rafael untuk menghadiri jamuan makan malam eksekutif, dan tentu saja, Dina akan hadir di sana. Selina menatap setelan jas hitam Rafael yang kini tertinggal di mobil.
Rafael menunduk saat melihat Selina mendekat. “Selina, kau akan pergi?”
Selina mengangkat bahu. “Aku harus memastikan semuanya berjalan baik. Aku tidak akan membiarkan dia mengacaukan malam ini.”
Rafael menghela napas panjang, matanya menatap hujan. “Aku tahu kau ingin melindungiku… tapi kadang aku merasa terjebak. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.”
/0/29464/coverorgin.jpg?v=20251113002445&imageMogr2/format/webp)
/0/19895/coverorgin.jpg?v=20250611094937&imageMogr2/format/webp)
/0/4734/coverorgin.jpg?v=20250121182619&imageMogr2/format/webp)
/0/29394/coverorgin.jpg?v=a5b72097a29c1053abbd1cb56c953d8d&imageMogr2/format/webp)
/0/28878/coverorgin.jpg?v=20251201182532&imageMogr2/format/webp)
/0/7720/coverorgin.jpg?v=20250122152213&imageMogr2/format/webp)