Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Di malam yang gelap dan berangin.
Cathy Suhardi sedang duduk di tepi tebing; gaunnya tertiup angin. Ia mendongak ke langit dan air matanya mulai berlinang. Semua emosi yang membara di dalam hatinya seakan melumat dirinya sekaligus.
"Ya Tuhan, mengapa Engkau melakukan ini padaku?" Ia mengendus keras hingga cegukannya menyadarkannya.
Cathy melirik kaleng minuman di tangannya dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Ini bukan salah Tuhan. Aku berkencan dengan bajingan sialan, Owen Yasawirya! Mengapa kamu tega mengkhianatiku, Owen?" Ia pun tersungkur ke tanah dengan lemas.
Ia melakukan tiga pekerjaan dalam sehari untuk memenuhi kebutuhan. Meskipun jadwalnya padat, ia berhasil meluangkan waktu untuk merayakan ulang tahun pacarnya. Ia mencintai Owen dengan sepenuh hati dan ingin memberinya kejutan di hari ulang tahunnya.
Tak disangka, pria itu memberinya kejutan yang lebih besar—ia menangkap basah sang pria sedang bercinta dengan sahabatnya.
Dua orang yang paling berharga dalam hidupnya telah mengkhianatinya. Itu adalah hari terburuk dalam hidupnya.
"Persetan denganmu, Owen!"
Cathy menyembur dengan penuh kebencian. 'Mengapa hidupku selalu dirundung derita?'
Orang tuanya telah meninggalkannya di panti asuhan ketika ia masih kecil.
Kehidupannya tidak mudah. Ia harus menjalani semua hal dengan jalan yang sulit. Saat Owen hadir dalam hidupnya, ia seolah menghirup udara segar. Sang gadis, yang menjalani hidupnya dalam penderitaan, mulai percaya bahwa ia juga bisa bahagia. Akhirnya ia menemukan cinta yang didambakan sepanjang hidupnya.
Ia telah merangkai kisah cinta yang indah di benaknya, tetapi kini Owen menghancurkan semua mimpinya.
Kenyataan yang terjadi sama sekali tidak indah. Bukan hanya pacarnya tetapi sahabatnya, yang telah dirinya percayai dengan sepenuh hati, juga telah mengkhianatinya.
Cathy merasa seharusnya ia menampar temannya sedikit lebih keras sore tadi.
Tetapi tetap saja, tidak ada yang bisa menyembuhkan rasa sakit yang makin mendalam di hatinya.
Cathy menarik napas dalam-dalam dan meneguk sekaleng minuman lagi.
Beban di dadanya terasa makin berat di setiap menitnya.
Ia langsung menghabiskan seluruh minumannya dan dengan marah melemparkan kaleng itu dari tebing.
Penglihatannya menjadi kabur; ia tidak tahu seberapa mabuk dirinya.
Cathy mengintip ke bawah tebing yang tak berdasar itu. Ia tidak kuat lagi menahan rasa sakit dan ingin mengakhiri semuanya sekaligus.
Rintihan lemah terucap dari bibirnya.
'Apakah aku akan mati mengenaskan jika melompat dari sini?'
Cathy menarik napas dalam-dalam. "Jangan pikirkan apa pun dan lompat saja, Cathy. Ini satu-satunya cara untuk terlepas dari siksaan ini."
Jantungnya seakan melompat naik ke tenggorokannya ketika ia melihat ke bawah.
'Tebing ini lebih tinggi dari yang kubayangkan. Bagaimana jika ternyata aku tidak mati dan hanya berakhir mengalami patah tulang? Aku harus menghabiskan sisa hidupku di kursi roda. Aku tidak punya siapa-siapa untuk menjaga diriku; hidupku akan menjadi seperti di neraka. Itu jauh lebih buruk daripada patah hati ini.' Cathy pun bergidik memikirkannya. Hatinya goyah; ia sangat ingin menghilangkan rasa sakitnya. Tetapi, memilih mati juga tidak mudah. Ia tidak cukup berani untuk mengakhiri hidupnya.
Kegelisahan menyelimuti tubuh Cathy; kakinya gemetar.
"Apa yang harus aku lakukan? Melompat atau tidak?
Oh Tuhan! Aku benar-benar menyedihkan." Ia kembali menangis tersedu-sedu.
Hembusan angin dingin membelai pipi Cathy. Ia membayangkan dirinya di kursi roda, hidup dengan keterbatasan fisik. Sepertinya, itu akhir yang mengerikan untuk hidupnya yang sudah cukup menyedihkan.
"Tidak, aku tidak akan melompat!"
Jantungnya berdebar ketika sebuah pikiran tiba-tiba terbesit di benaknya. 'Mengapa aku harus mati sedangkan semua ini bukan salahku? Mereka berdua akan hidup bahagia tanpaku. Mengapa aku harus menghukum diriku sendiri atas kesalahan mereka?'
Ia merasa hancur saat memikirkannya. Ia tidak tahu bagaimana mengatasi patah hatinya dan perasaan yang tak dapat dijelaskan itu segera menguasai dirinya. Tetapi ia akhirnya mengerti bahwa kematian tidak akan ada gunanya.
Cathy menggelengkan kepalanya dan berbalik untuk pergi.
Di saat yang bersamaan, suara klakson yang tak henti-hentinya berbunyi menarik perhatiannya.
Ia terdiam kaku ketika sebuah cahaya yang menyilaukan mengaburkan pandangannya. Ia memejamkan matanya dan membukanya kembali.