/0/29147/coverorgin.jpg?v=391d49f6d6fab81627303f61c098322e&imageMogr2/format/webp)
"Maaf kalau kedatangan saya ke rumah ini telah menghancurkan segalanya. Tapi saya harus mempertahankan hak saya bukan? Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya dan Seno sebenarnya telah menikah dua hari yang lalu. Sah secara hukum dan agama. Ini adalah buku nikah kami berdua. Silakan kamu mengecek keasliannya, Rimbi."
Nina Sujatmiko memberikan dua buah buku nikah ke hadapan Arimbi dan juga om dan tantenya. Ia begitu puas kala melihat air mata yang menganak sungai di mata sepupunya. Arimbi Maulida. Keinginannya untuk membalas dendam pada Arimbi tunai sudah.
Sedari kecil ia sudah membenci Arimbi. Sepupunya yang cemerlang ini, membuat kehadirannya redup. Arimbi yang cantik, pintar dan baik hati memborong seluruh perhatian keluarga besarnya.
Sedari kecil dulu, setiap ada acara kumpul keluarga, Arimbi akan menjadi primadona. Dimulai dari selalu menjadi juara kelas, pandai mengaji, berakhlak baik, sopan kepada orang tua, dan rentetan pujian positif lainnya. Telinganya kerap sakit kala mendengar segala puja dan puji yang ditujukan pada Arimbi di waktu itu.
Bukan itu saja, setiap kali dirinya membuat kesalahan, maka kedua orang tuanya akan membandingkannya dengan Arimbi. Arimbi itu begini, Arimbi itu begitu. Hingga kepalanya seakan berasap mendengar nama Arimbi yang terus dijejalkan dalam benaknya.
Sejak saat itu, Nina memendam dendam kesumat kepada Arimbi. Cita-citanya hanya satu. Yaitu suatu hari kelak, ia akan membuat Arimbi menangis darah karena kalah padanya.
Ketika Arimbi kemudian berpacaran dengan Seno Caturranga, seorang pengusaha otomotif yang sukses tiga tahun lalu, Nina sudah mengincarnya. Namun Seno tidak pernah mengindahkan perhatiannya. Nina tidak pernah patah semangat. Ia terus berusaha, hingga dua bulan lalu ia berhasil menjebak Seno. Alhasil ia hamil dan meminta Seno untuk bertanggung jawab.
Rencananya berjalan mulus. Ia pun telah menikah secara sah dengan Seno dua hari yang lalu. Padahal Nina tahu bahwa seminggu lagi pernikahan Arimbi dan Seno akan dilangsungkan. Memang itulah rencananya. Mempermalukan Arimbi.
Sebenarnya Seno melarangnya untuk memberitahukan masalah ini kepada keluarga Arimbi. Rencananya nanti malam keluarga besar Seno akan menjelaskannya sendiri kepada mereka semua. Namun Nina tidak mau kalah set. Ia sengaja terlebih dahulu memberitahukannya kepada Arimbi. Karena ia punya perjanjian hitam di atas putih dengan Seno.
Nina ingin lebih dulu meracuni pikiran Arimbi. Dengan begitu, apapun alasan yang akan diberikan oleh Seno nantinya, tidak akan lagi masuk ke dalam benak Arimbi. Nina yakin setelah ia membeberkan tentang kehamilannya ini, maka Arimbi pasti akan membatalkan pernikahannya. Akibatnya tentu saja keluarga Arimbi akan malu besar. Pada saat itulah cita-citanya sedari kecil akan berhasil. Arimbi kalah telak di kakinya.
"Mbak minta maaf ya, Rimbi? Tapi nasi telah menjadi bubur. Mbak dan Seno sebenarnya sudah lama saling mencintai. Tetapi Seno tidak tega untuk mengatakannya padamu. Mengenai pernikahan kalian, sebenarnya Seno tidak menginginkannya. Kedua orang tuanya lah yang mendesak. Seno ingin menolak tetapi ia tidak mempunyai alasan untuk itu. Seno juga bilang bahwa ia tidak bisa meninggalkan Mbak. Makanya Seno, maaf, menghamili Mbak. Kata Seno dengan begitu ia mempunyai alasan untuk membatalkan pernikahan ini."
Nina mengakhiri ceritanya dengan derai air mata. Namun kedua bola matanya memancarkan kepuasan. Ia bahagia sekali menyaksikan Arimbi kehilangan kata-kata. Rasakan! Begitulah sakitnya hatinya, setiap kali orang-orang membandingkannya dengan Arimbi. Ia bahagia sekali kala memindai Arimbi berkali-kali menyusuti air mata.
"Katakan sesuatu, Rimbi. Jangan diam saja. Kamu boleh memaki bahkan memukul Mbak. Mbak sebenarnya juga tidak mau semua ini terjadi. Tapi Mbak tidak kuasa menahan rasa ini. Mbak hanya seorang perempuan yang tengah jatuh cinta."
Nina menyusut air mata. Aktingnya ia keluarkan semaksimal mungkin. Ia tidak ingin terlihat terlalu jahat. Ia masih ingin menjaga martabatnya. Bagaimanapun mereka berdua adalah saudara sepupu. Ibu Arimbi adalah adik kandung ayahnya.
"Sudah berapa lama Mbak Nina dan Mas Seno bermain di belakang, Rimbi?" tanya Arimbi pelan.
Ia mati-matian menahan diri untuk tidak mencakar dan meneriaki Nina. Arimbi tidak buta. Ia bisa melihat betapa Nina sangat bahagia mengabarkan tentang pernikahannya dan Seno. Air matanya tidak sesuai dengan air mukanya.
Namun Arimbi mencoba bersikap bijak. Nina tidak akan hamil kalau Seno tidak menggaulinya. Artinya bukan hanya Nina yang salah. Namun Seno juga. Seno tega menghianatinya.
"Setahun belakangan ini, Rim." Nina kembali berbohong. Kalau berakting itu harus all out dan dramatis bukan? Setengah-setengah itu feelnya kurang.
"Baik. Sekarang Rimbi tanya, maksud Mbak ke sini untuk apa?" imbuh Arimbi datar. Walau hatinya hancur, ia tetap harus menjaga harga dirinya. Ia tidak ingin Nina semakin besar kepala menyaksikan kehancurannya.
"Untuk mencegah kamu menikah dengan Seno tentu saja. Karena bagaimanapun hubungan Mbak dengan Seno, saat ini Mbak adalah istri sah Seno. Sedang hamil pula. Mbak tahu kalau Mbak salah. Tapi semuanya sudah terjadi bukan? Mbak harap kamu mengerti. Selain itu Mbak ingin kamu mengetahui masalah ini terlebih dahulu dari Mbak sendiri, daripada kamu mendengarnya dari orang lain."
"Baik. Mbak Nina tidak usah khawatir. Rimbi pastikan bahwa Rimbi tidak akan melanjutkan pernikahan ini. Rimbi tidak sudi menikahi seorang penghianat. Karena sejatinya seorang penghianat itu mendapatkan seorang penghianat juga."
Mata Nina membara. Arimbi ini sungguh kurang ajar. Sudah kalah, namun masih saja menyindirnya.
"Rimbi berpatokan pada ayat yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula. Serta wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula."
"Keji-keji begitu, tapi masih bisa membuatmu menangis bukan?" dengkus Nina sinis. Ia tidak tahan terlalu lama menjadi orang yang tertindas. Bukan kepribadiannya sama sekali.
"Bagaimana rasanya dicampakkan? Darah serasa turun semua atau hati seperti diremas-remas? Yang mana paling mendekati, Rimbi?" ejek Nina lagi.
"Cukup, Nina! Sekarang sebaiknya kamu pulang. Tante sama sekali tidak mengira kalau kamu sedemikian kejinya."
/0/12649/coverorgin.jpg?v=903995fe26e676f36bfbe4edae7404bc&imageMogr2/format/webp)
/0/18593/coverorgin.jpg?v=6e047c6fb701d65303e74f9099744b7b&imageMogr2/format/webp)
/0/27491/coverorgin.jpg?v=675f3788714408973b0be75b42319707&imageMogr2/format/webp)
/0/3067/coverorgin.jpg?v=eada346cd24d4f7dec76391d644d9db0&imageMogr2/format/webp)
/0/14607/coverorgin.jpg?v=be4cb27234bbbf8ce81d5cf15a97b98f&imageMogr2/format/webp)
/0/4312/coverorgin.jpg?v=8259b29301e1a72896409b2d270cb8f2&imageMogr2/format/webp)
/0/20251/coverorgin.jpg?v=4c0a3e7038718f340c5d51aaaf74b801&imageMogr2/format/webp)
/0/5290/coverorgin.jpg?v=4e395246c883fa9451b70b76b14e3f3f&imageMogr2/format/webp)
/0/28100/coverorgin.jpg?v=6edda16c2599f96c1c5e03c55d7ad39a&imageMogr2/format/webp)
/0/5367/coverorgin.jpg?v=7b8c421c3023f29e2ed162a85458107c&imageMogr2/format/webp)
/0/15548/coverorgin.jpg?v=52203a4e7a3cff23a71dd41fd607aa6e&imageMogr2/format/webp)
/0/20601/coverorgin.jpg?v=c767a518547a1a5362b5171616e93730&imageMogr2/format/webp)
/0/8218/coverorgin.jpg?v=a1e730afee2586a52e7da4340c5ede83&imageMogr2/format/webp)
/0/16135/coverorgin.jpg?v=229f6ae4d3bbd17e38626e52433800a7&imageMogr2/format/webp)
/0/27913/coverorgin.jpg?v=faf2b47c68929ed5a61adc53187cd08a&imageMogr2/format/webp)