Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sheila berjalan dengan langkah tergesa menuju halte, meninggalkan gedung PT. EP yang menjulang megah tempatnya mencari nafkah selama ini. Dengan tak sabar ia menyetop taksi, lalu meminta sopir taksi itu untuk bergegas.
"Ke rumah sakit Haluan, Pak. Kalau bisa ngebut saja ya," pinta Sheila dengan wajah cemas.
Wanita cantik dengan bola mata biru gelap itu terus melirik arloji di pergelangan tangannya. Telepon dari orang yang ia tugaskan untuk menemani ibunya adalah alasan dia cemas sekali siang itu.
"Mbak Sheila, ibu pingsan di kamar mandi, dari hidungnya keluar darah!"
Itulah kata-kata yang ia dengar beberapa saat lalu, yang dalam sekejap mata membuat Sheila langsung berlari meninggalkan meja kerjanya.
Sheila tidak akan sepanik itu jika saja keluarganya masih utuh. Sayangnya, sang ayah meninggal tidak lama setelah perusahaannya dinyatakan bangkrut. Selepas kepergian ayahnya itu, hidup Sheila semakin kacau. Jangankan mendapat warisan yang berlimpah, semua aset keluarganya justru disita untuk membayar hutang. Itu sebabnya, Sheila harus berkerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan membiayai pengobatan sang ibu yang sakit-sakitan.
"Tolong lebih cepat lagi, Pak," pinta Sheila sambil menepuk-nepuk sandaran jok sopir itu dari belakang. Ia benar-benar tak sabar untuk segera melihat kondisi ibunya.
"Ini sudah sangat cepat, Mbak. Kalau lebih cepat lagi kita bisa celaka," jawab sopir taksi bertubuh besar itu.
"Oh, maaf. Saya sedang sangat buru-buru soalnya, ibu saya baru saja dibawa ke IGD rumah sakit itu," ujar Sheila dengan wajah yang hampir menangis.
Namun, ia tidak mau air mata itu jatuh dengan mudah. Sheila mengangkat kepalanya, mencegah air mata itu meluncur ke pipinya. Akan tetapi, tentu saja cara itu tidak akan membantu sama sekali. Air mata itu tetap meleleh di pipinya yang mulus.
Akhirnya, taksi itu sampai dengan selamat di rumah sakit yang ia tuju. Setelah membayar ongkos, Sheila berlari secepat mungkin menuju IGD, tempat sang bunda tercinta berada saat ini. Kaki Sheila lemas seolah tak bertulang saat mendapati ibunya terbaring tak berdaya dengan berbagai macam alat menempel di tubuhnya.
"Ibu Anda harus segera dioperasi, dia kritis."
Kata-kata dokter itu bagaikan palu besar menghantam dada Sheila. Sangat sakit dan menyesakkan dadanya. Tubuh Sheila bergetar hebat, ia bingung dan juga takut dalam satu waktu. Ia takut kehilangan ibunya, tetapi ia bingung dengan biaya pengobatan yang pastinya tidak sedikit itu.
'Operasi? Biayanya pasti besar sekali. Apa yang harus aku lakukan? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayarnya?'
Sheila berdiri resah di hadapan dokter itu. Tanpa sadar ia menggigiti kukunya sendiri sambil menatap pilu pada ibunya yang tak sadarkan diri.
'Tabunganku hanya cukup untuk biaya hidup hingga gajian bulan depan. Ke mana aku harus mencari uang dalam waktu singkat ini? Haruskah aku ...? Ah, tidak-tidak. Tidak boleh, itu melanggar hukum, Sheila!'
Sheila terus bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Tolong cepat, Mbak. Ini dokumennya, tolong ditandatangani. Lalu selesaikan administrasinya di kasir, ya."
Beberapa lembar kertas berpindah ke tangan Sheila. Ia benar-benar harus berpikir cepat kali ini karena satu detik saja terbuang bisa berakibat fatal pada ibunya. Tanpa berpikir panjang lagi Sheila menandatangani semua berkas itu lalu menyerahkannya pada petugas yang itu kembali.
"Biaya operasinya empat puluh delapan juta. Sesuai dengan peraturan rumah sakit ini, Anda harus membayar minimal setengah dari biaya tersebut agar pasien bisa di operasi secepatnya. Sisanya bisa Anda lunasi maksimal satu minggu setelah operasi selesai," kata kasir itu.
Sheila mengangguk dengan pikiran bercabang. Akal sehatnya benar-benar sudah hilang. Meski dengan tangan yang masih bergetar hebat, ia membuka dompet lalu mengeluarkan selembar cek yang baru saja ia terima tadi pagi.
'Ya, Tuhan. Tolong ampuni aku kali ini saja,' desis Sheila dengan suara yang sangat lirih.
Wanita berparas cantik itu memejamkan mata dengan perasaan bersalah. Namun, terbayang wajah ibunya yang sekarat, semua perasaan bersalah itu langsung raib tak bersisa. Bagi Sheila, nyawa ibunya lebih berharga. Ia tidak peduli lagi dengan risiko yang akan ia hadapi karena menggunakan cek itu tanpa izin pemiliknya.
"I-ini, Mbak. Sa-saya bisa bayar dengan cek, 'kan?" tanya Sheila gugup.
Kasir itu mengangguk, ia menerima lembaran cek yang Sheila sodorkan. Dalam hitungan detik, Sheila sudah menerima bukti pembayaran lunas, beserta uang kembalian senilai dua juta rupiah. Yah, cek senilai lima puluh juta yang seharusnya ia setorkan ke rekening perusahaan itu telah berpindah tangan sekarang.
Ia tidak tahu apakah rasa syukurnya hadir untuk alasan yang tepat, tetapi tidak bisa dipungkiri hal ini bisa ia lakukan karena kolom penerima pada cek tersebut tidak diisi oleh rekan bisnis yang mengeluarkan cek itu. Bagi mereka tanda terima pembayaran yang Sheila berikan sudah cukup sebagai bukti bahwa cek itu sudah sah sebagai alat pembayaran dari mereka.
Sheila melangkah meninggalkan meja kasir menuju ruang operasi. Ia tahu, saat ini sebelah kakinya sudah berada di penjara, tetapi ia tidak peduli karena saat ini yang terpenting adalah bisa menyelamatkan ibunya, satu-satunya keluarga yang masih ia miliki.
Beberapa jam sudah berlalu, Sheila masih duduk menunggu di depan kamar operasi yang lampunya masih menyala. Jantungnya berdetak beberapa kali lipat saat melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul lima belas lewat lima menit. Ia tahu arti angka di penunjuk waktu itu, karena di jam segitu biasanya ia sudah membuat laporan penerimaan pembayaran harian.
Tugas itu tentu saja sudah ia limpahkan pada rekan kerjanya sebelum pergi tadi, tetapi yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat adalah fakta bahwa dirinya telah menggelapkan satu lembar cek yang seharusnya masuk dalam rekapitulasi penerimaan pembayaran hari ini.
Pukul lima sore lewat lima belas menit, enam jam sudah operasi itu berlangsung. Sheila mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Meski waktu operasi yang disebutkan dokter masih empat jam lagi, tetapi Sheila tetap tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar bahwa operasi itu berhasil dilakukan.
Ia terus menatap ke pintu ruang operasi itu berharap dokter yang membedah tubuh ibunya keluar dari sana dengan wajah lega. Namun, lain yang ditunggunya lain pula yang ia dapatkan.
Dering ponsel yang memperlihatkan panggilan masuk dari ruang direktur membuat jantung Sheila terasa akan melompat ke luar.
["Selamat sore, Bu Sheila. Saya Chiara, sekretaris direktur. Pak Revian meminta Anda menghadapnya sekarang juga."]
"I-iya, Bu Chiara. Tetapi ... saya sedang di rumah sakit sekarang. Bisakah saya menemui beliau besok pagi?" pinta Sheila dengan suara terbata.
["Maaf, Bu Sheila. Pak Revian bilang harus sekarang, dia tidak akan menerima kedatangan Ibu besok pagi.]
Keringat dingin terasa mengalir deras di tubuhnya. Sheila tahu apa yang akan ia hadapi di ruangan direktur itu nanti. Tidak ada cara lain, ia harus menghadapi orang nomor satu di perusahaan itu jika masih ingin hidup dengan sedikit kewarasan yang tersisa.
Tiga puluh menit kemudian Sheila sudah berada di ruangan direktur berparas tampan itu. Muda, tubuh proporsional, cerdas, dan mapan. Tidak ada wanita yang menolak pesona eksekutif muda seperti Revian Adolf, sang konglomerat muda yang terkenal itu.
Jika saja hatinya tidak terikat pada seorang pria yang berada di masa lalu, mungkin dirinya sudah jatuh cinta pada ketampanan sosok di depannya saat ini. Sayangnya, sampai detik ini di hatinya masih bertahta nama pria itu. Pria yang ia sayangi sekaligus harus ia lupakan karena kemelut di kehidupan pribadinya.