Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Seperti mimpi buruk yang Laura alami lima tahun lalu. Dia tidak percaya saat ini telah melewati masa-masa sulit itu. Jika bukan karena Mario, kekasih sekaligus sahabat yang memahaminya dengan baik. Laura tidak akan menghirup udara musim gugur di New York. Lima tahun lalu, bermodalkan nekat Laura menginjakkan kakinya di negara itu. Bukan karena pekerjaan atau pendidikan. Alasan klise seperti kebanyakan orang patah hati pada umumnya. Melupakan kenangan masa lalu. Bodoh, benar Laura mengakuinya. Kebodohan manusia karena mencintai seseorang yang tidak ditakdirkan untuknya.
Dan demi menghargai perasaan itu. Laura menjauh, memilih belahan bumi yang lain.
Untuk menyembuhkan luka.
"Lala!"
Laura tersentak dari lamunan ketika Mario memanggilnya. Dia menatap wajahnya di cermin sekali lagi lalu mengalihkan pandangannya pada Mario. Laki-laki itu terlihat tampan memakai setelan jas. Ketampanan Mario meningkat dari hari biasanya. Laura memuji dalam hati lalu merapikan riasannya. Malam itu, Mario mengajaknya makan malam di luar. Tidak biasanya, Laura merasa aneh. Namun, tidak ingin bertanya. Dia hanya mengikuti langkah Mario yang menggenggam tangannya menuju sebuah restoran. Letak restoran itu tidak jauh dari apartemen. Tidak ada orang lain di sana kecuali mereka berdua. Bisa dikatakan, mereka satu-satunya pengunjung di restoran itu.
Laura menatap Mario curiga. "Kau menyewa restoran ini?" tanya Laura.
"Untuk merayakan anniversary kita. Jangan marah, aku berjanji hanya sekali ini saja. Lala, kau berhak mendapatkan yang terbaik," ucap Mario.
Laura mendesah pelan. Keinginan laki-laki itu sulit dicegah. Meskipun untuk hubungan mereka, Laura tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan Mario. Selama ini Laura bahagia asalkan Mario ada di sampingnya. Tidak ingin berdebat, Laura mengangguk kemudian memberi isyarat pada pelayan. Pelayan itu menghampirinya lalu menyerahkan buku menu.
"Salad tanpa mayonaise," ucap Laura dan pelayan menuliskan pesanannya.
"Sayang, kau harus makan banyak." sela Mario.
"Aku sedang diet. Akhir-akhir ini lemak di tubuhku bertambah. Mario jangan memaksaku."
"Baiklah, aku juga tidak makan apapun." Mario menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan Laura dengan seksama. "Aku juga ingin menurunkan berat badan."
Laura menyerah. "Pesan apa pun yang kau inginkan."
"Beri hidangan terbaik. Dan siapakan seperti yang aku minta," ucap Mario kemudian pelayan itu berlalu meninggalkan meja mereka.
"Kau mengeluarkan banyak uang hanya untuk malam ini. Beberapa hari ini kau tidak tidur karena pekerjaanmu. Mario, aku tidak suka kau memaksakan diri untuk membuatku bahagia," ucap Laura.
"Aku hanya memberikan kejutan. Lala, aku tidak pernah memberi hadiah apa pun. Dan ini pertamakalinya aku memberimu kejutan. Jangan menolak pemberianku, mungkin tidak mahal, tapi aku berusaha memberikan yang terbaik. Lala aku ingin kau bahagia seperti orang lain."
"Mario, aku bahagia saat bersamamu. Sudah cukup bagiku, kau tidak perlu menghamburkan uang yang kau dapatkan susah payah."
"Lala, kita selalu berdebat karena masalah seperti ini. Di luar sana, para gadis mendapatkan hadiah terbaik dari pasangan mereka. Aku tidak pernah memberimu apa pun. Dan hanya malam ini aku melakukan hal ini. Kau justru tidak senang. Lala aku tidak ingin kau menahan diri saat melihat orang lain mendapatkan hadiah dari pasangan mereka. Aku tahu, kau sering memperhatikan Lucy dan Jason. Cara mereka menunjukkan kasih sayang. Kau ingin aku bersikap seperti Jason 'kan?" tanya Mario.
Laura bangkit dari duduknya. Dia menghampiri Mario lalu memeluk laki-laki itu. "Maaf, aku tidak ingin membuatmu kesulitan," ucap Laura lirih.
Makan malam itu terasa berbeda. Mungkin karena Laura tidak menyukai cara Mario memberinya kejutan. Atau karena makanan mahal itu tidak sesuai seleranya. Dia hanya tidak terbiasa berada di tempat mewah seperti restoran itu. Dan juga Mario yang bersikap gugup selama makan malam itu. Laura curiga, namun tidak bisa bertanya mengingat emosi Mario tidak stabil dan belakangan ini pekerjaan Mario menumpuk. Laura tidak bisa membantu, dia hanya menemani Mario bekerja hingga larut malam. Begitu pagi tiba, Mario sudah pergi dan Laura berada di atas tempat tidur seorang diri. Selalu seperti itu hingga dua tahun berlalu.
"Laura,"
Laura tersadar dari lamunan ketika Mario berlutut dengan membawa sebuah cincin.
"Laura menikahlah denganku," ucap Mario serius.
Laura terkejut dengan lamaran tiba-tiba itu. Dia tidak siap. Maksudnya belum siap menikah dalam waktu dekat. Bukan begitu, Laura bahkan tidak mengerti mengapa seseorang harus menikah jika hubungan yang mereka jalani saat ini baik-baik saja.
"Aku,"
"Aku tahu jawabanmu. Tidak apa-apa. Aku bisa menunggu hingga kau siap," ucap Mario kecewa. Dia berdiri lalu menyimpan cincin itu ke dalam saku.
"Mario aku—"
Ucapan Laura terhenti ketika Mario mencium bibirnya. Mario tidak pernah membiarkan Laura menjelaskan tentang penolakan itu. Sejak dulu, mungkin ketakutan akan sebuah hubungan yang mengikat. Menyebabkan Laura terus menghindar dari ajakan pernikahan. Dia tidak bermaksud melukai Mario, namun Laura tidak bisa memaksakan diri untuk menjalani kehidupan pernikahan. Meskipun keinginan untuk hidup bersama Mario adalah impiannya.
"Lala kau tidak perlu menjelaskan apapun. Kau bersamaku itu sudah cukup. Aku tidak akan memintamu melakukan sesuatu yang kau takuti," ucap Mario lembut.
Laura menggeleng. "Aku tidak bisa melihatmu kecewa Mario. Kau tidak pernah mengecewakan aku."
"Sudah malam. Ayo kita kembali."
Laura tidak pernah mengira jika genggaman tangan Mario yang membuatnya kuat menjalani kehidupan. Dia hampir menyerah ketika pertama kali datang ke New York. Menjadi orang asing di negara itu. Membawa pakaian tanpa tujuan. Hingga bertemu Lucy dan tidak lama kemudian bertemu Mario. Mereka tidak pernah bertanya tentang masa lalunya. Alasan datang ke New York tanpa persiapan. Mereka mengerti, Laura membutuhkan privasi. Dan yang paling Laura syukuri, Mario tidak pernah bertanya alasan mengapa Laura takut dengan sebuah pernikahan.
Kini setelah waktu terlewati. Tidak terasa, Laura mulai melupakan tentang luka masa lalunya. Semua itu berkat kehadiran Mario.
"Lala aku ingin bertemu orang tuamu."
Laura melepas genggaman tangan Mario. Dia berhenti di depan gedung apartemen. Udara musim gugur semakin dingin, Laura merasakan udara dingin itu bersamaan dengan air matanya menetes perlahan.
"Orangtuaku sudah meninggal."
Mario memeluknya. Membiarkan Laura menangis. Cukup lama, Laura tidak merasakan apa pun karena perasaannya semakin terluka. Dia terus menangis dalam pelukan Mario.
***
"Lala!"
Pelukan Lucy menyebabkan Laura tidak bisa bernapas. Dua minggu tidak bertemu antusias Lucy meningkat dari terakhir kali Laura melihatnya.
"Kau membawa kabar gembira?" tanya Laura setelah pelukan itu terlepas.
"Jason melamarku. Kami akan menikah tahun depan." Lucy membentangkan kelima jarinya. Di sana tersemat sebuah cincin.