searchIcon closeIcon
Batalkan
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon

Sejuta fikiran

Gairah Liar Nayla

Gairah Liar Nayla

Juliana
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Romantis R18+MenegangkanFantasiHubungan rahasiaPerangkapBudak seksualLolitaLicikBeruntungUrban
Unduh Buku di App

Solo menyambutku dengan desah angin panas dan aroma rempah yang asing. Deru mesin mobil ayahku melambat, dan jantungku berdebar lebih kencang daripada biasanya. Kami tiba di sebuah gerbang besi tua yang catnya mulai mengelupas, diapit oleh pagar tembok tinggi yang dihiasi tanaman merambat liar. Di baliknya, rumah kos Bu Ratih berdiri kokoh, namun tampak sunyi, seolah menahan napas. Aku menatap keluar jendela, telapak tanganku berkeringat dingin menempel pada jok mobil.

"Sudah sampai, Dens," kata ayah, suaranya berusaha terdengar ringan, tapi aku tahu ada getaran kesedihan di sana.

Aku mengangguk, tenggorokanku tercekat. Pandanganku menyapu sekeliling, mencari-cari tanda-tanda kehidupan, namun hanya kesunyian yang menyapa. Halaman kos yang cukup luas ditumbuhi rumput gajah yang rapi, dan sebuah sepeda motor tua terparkir miring di bawah pohon mangga.

Sebuah perasaan aneh merayapi diriku, campuran antara kegugupan dan kerinduan yang mendalam akan rumah. Ini adalah awal dari perjalananku yang baru, jauh dari hiruk-pikuk kota kecil di Jawa Timur.

Ayah membunyikan klakson pelan. Tak lama, pintu utama terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan daster batik berwarna cerah.

Senyumnya lebar, memperlihatkan deretan gigi yang masih utuh, namun matanya yang tajam seolah menimbang-nimbang diriku.

"Assalamu'alaikum, Bu Ratih!" Ayah turun lebih dulu, menyalami wanita itu dengan sopan.

"Wa'alaikumussalam, Pak Bagus! Aduh, akhirnya sampai juga. Kok lama sekali, to, Pak? Dari pagi saya sudah siapkan kamarnya. Jangan-jangan mampir makan sate dulu, ya?" Bu Ratih menyambut dengan celotehan yang langsung membanjiri telingaku. Ia tertawa renyah, meski aku merasa sedikit disindir.

Aku turun dari mobil, membawa ransel yang terasa berat di pundak, bukan karena isinya, melainkan beban ekspektasi yang kubawa. Aku menyalami Bu Ratih, tangan wanita itu terasa hangat dan sedikit kasar.

"Ini toh, calon penghuni kos saya? Namanya Dens Bagus, kan? Wah, gagah sekali anaknya. Tapi kok pucat begitu, Nak? Ndak apa-apa?" Bu Ratih menatapku lekat, kepalanya sedikit dimiringkan.

Aku tersenyum canggung, merasakan pipiku memerah. "I-iya, Bu. Dens, Bu."

"Dens? Panggil saja Ibu Ratih, ya. Jangan sungkan-sungkan. Di sini semua saya anggap anak sendiri. Tapi kalau ada aturan yang dilanggar, jangan harap bisa tidur nyenyak!"

candanya, lalu tertawa lagi, kali ini disusul oleh ayahku. Aku hanya ikut tersenyum hambar, mencoba mencerna rentetan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Ia seperti gelombang yang tak berhenti.

"Mari masuk, Pak, Nak Dens. Saya tunjukkan kamarnya." Bu Ratih berbalik, langkahnya cekatan memasuki ruang tamu yang luas. Wangi pewangi ruangan dan sedikit aroma masakan tercium samar, memberikan kesan hangat sekaligus asing.

Ruang tamu itu lapang, diisi sofa jati ukir dan beberapa tanaman hias dalam pot. Aku mengikuti Bu Ratih dan ayahku menyusuri koridor panjang di sisi kanan, dindingnya dicat kuning gading yang mulai pudar di beberapa bagian.

Beberapa pintu berjajar rapi. Aku melirik setiap pintu yang kami lewati, sebagian tertutup rapat, sebagian sedikit terbuka, menampakkan samar-samar isi di dalamnya. Sebuah gitar tergeletak di lantai, tumpukan buku di meja, dan gantungan baju di balik pintu.

Ketika kami melewati sebuah pintu dengan stiker band metal, sebuah kepala menyembul keluar. Seorang pemuda berambut gondrong, kaus hitam lusuh, dan mata merah, sepertinya baru bangun tidur. Dia hanya mengangguk tipis ke arah kami, lalu buru-buru menutup kembali pintunya. Aku menelan ludah. Wajahnya terlihat lelah dan penuh beban.

Tidak jauh dari sana, ada suara gesekan pensil di atas kertas. Sebuah pintu terbuka sedikit, menampakkan seorang gadis berambut panjang yang fokus menunduk, tangannya sibuk menggoreskan sesuatu di atas sketchbook. Ia tak menyadari kehadiran kami. Di sampingnya, seorang gadis lain yang lebih ceria, dengan rambut sebahu dan mata yang berbinar, melambaikan tangan ke arah kami sambil tersenyum lebar.

"Hai! Anak baru, ya?" sapanya ramah, suaranya ceria sekali.

Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis, terlalu malu untuk bicara. Ayahku mengangguk, "Iya, Nak. Anak saya, Dens."

"Mei Lin!" gadis itu memperkenalkan diri. "Itu adikku, Li Hua. Dia lagi asyik menggambar, jangan diganggu. Selamat datang, ya!"

Baca Sekarang
Sejuta cerita di balik pintu kos

Sejuta cerita di balik pintu kos

Bagus aprilianto
Bagi Dens Bagus, pintu kamar kos nomor tujuh berwarna cokelat pudar itu adalah gerbang menuju dunia baru. Di usia tujuh belas tahun, ia meninggalkan kehangatan rumahnya demi menimba ilmu di Kota Solo, kota yang terasa asing dan riuh. Di sebuah kos sederhana dengan lorong yang selalu bergema, ia bert
Adventure Cerita MenegangkanFantasiCinta pertamaImutPria SejatiTampan
Unduh Buku di App
Sejuta fikiran Wattpad IndonesiaSejuta fikiran novel gratis tanpa aplikasiSejuta fikiran gratis tanpa beli koin dan offlineSejuta fikiran
Yuk, baca di Bakisah!
Buka
close button

Sejuta fikiran

Temukan buku-buku yang berkaitan dengan Sejuta fikiran di Bakisah. Baca lebih banyak buku gratis tentang Sejuta fikiran Wattpad Indonesia,Sejuta fikiran novel gratis tanpa aplikasi,Sejuta fikiran gratis tanpa beli koin dan offline.