Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Gairah Liar Pembantu Lugu
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
"Mas minta maaf ya, Uni? Semua ini Mas lakukan karena terpaksa. Mas sama sekali tidak tau kalau kedua orang tua Mas telah mengatur pernikahan ini. Sekali lagi, maafkan Mas ya, Uni?"
Seruni termangu. Biantara Sadewa, kekasihnya sampai beberapa menit yang lalu, seperti menjatuhkan bom di hatinya. Dan mantan pacarnya itu sukses besar. Hatinya hancur porak poranda tak bersisa. Tadinya Seruni mengira kalau Bian tiba-tiba menyambangi rumahnya karena kangen. Tapi ternyata mantan kekasihnya itu datang untuk mengantar surat undangan.
Tidak tau, tapi menerima. Apa itu bisa disebut terpaksa?
"Tidak apa-apa, Mas. Mungkin kita memang tidak berjodoh."
Walau langit serasa runtuh di depan matanya, Seruni mencoba tersenyum tegar. Ya, apalagi yang bisa ia lakukan bukan? Berteriak atau menangis meraung-raung? Maaf-maaf saja. Saat ia dicampakkan pun, ia akan berusaha menerima dengan anggun. Sayang sekali kalau harga dirinya ia jadikan keset wellcome bukan?
"Kamu... kamu... tidak marah pada Mas? Tidak ingin berteriak atau memaki-maki Mas misalnya?"
Sosok gagah di hadapannya tampak bingung. Beribu tanya terbias dari kedua bola matanya.
"Apa dengan Uni marah dan memaki-maki Mas, pernikahan Mas dengan Nastiti bisa dibatalkan?" ucap Seruni datar. Kepala laki-laki gagah yang selama lima tahun ini memacarinya, menggeleng gelagapan. Kegelisahan terlihat dari gerak-geriknya yang tidak bisa diam.
"Tidak bisa, Uni. Mas tidak mungkin mempermalukan kedua orang tua, Mas."
Tapi mempermalukan pacar, mungkin saja kan, Mas?
"Nah, Mas sudah menjawab pertanyaan Mas sendiri. Jadi Uni tidak perlu menjawabnya lagi," Seruni beringsut dari kursi teras rumahnya. Terlalu lelah untuk mendengar pembelaan diri dari laki-laki yang lima tahun lalu mengaku mencintainya lebih dari apapun di dunia. Lidah memang tidak bertulang. Janji yang dulu begitu lantang dikumandangkan, ternyata begitu gampang dilupakan.
"Kenapa harus dengan Nastiti?" tanya Seruni penasaran. Nastiti adalah sahabat karibnya sejak berseragam merah putih. Mendengar pacar sendiri tiba-tiba akan dinikahkan saja, hatinya bagai diiris-iris. Apalagi saat tau bahwa calon istrinya adalah sahabat sendiri. Seruni seolah-olah merasa ada pisau tak kasat mata yang sengaja ditancapkan di punggungnya.
"Mas juga tidak tau, Uni. Tapi menurut ibu, bapak berhutang budi pada keluarga Nastiti. Terpilihnya bapak sebagai kepala desa bulan lalu, itu semua atas campur tangan Pak Hasto dan Bu Sari. Makanya Bapak ingin membalas budi dengan meminang Nastiti sebagai menantu. Hanya itu yang Mas tau," guman Bian lirih. Selama bercerita, Bian tidak sekalipun menatap matanya. Dan itu artinya Bian sedang berbohong. Lima tahun menjadi pacarnya, cukup membuat Seruni mengenali karakter Bian.
"Baiklah. Selamat menempuh hidup baru ya, Mas? Semoga Mas berbahagia dengan wanita pilihan Mas, oh iya, wanita pilihan orang tua Mas maksudnya," ralat Seruni pura-pura salah berbicara. Merahnya pipi Bian mengindikasikan sesuatu. Bian tau bahwa ia memang bermaksud menyindir. Mereka terlalu mengenal kepribadian satu sama lain.
"Uni terima ini undangannya ya, Mas? Uni masuk dulu." Seruni menggeser dingklik. Bermaksud masuk ke dalam rumah.
"Tunggu sebentar, Seruni!" Bian yang merasa belum selesai berbicara, menyambar pergelangan tangan Seruni.
"Ketahuilah Uni, walaupun minggu depan Mas akan menikahi Nastiti. Tapi di sini, di hati Mas ini, hanya kamu wanita yang paling Mas cintai. Percayalah, Uni," sergah Bian putus asa. Seruni tersenyum masygul mendengar kerancuan kalimat Bian.
"Apa, Mas? Uni adalah orang yang paling Mas cinta? Lihat Mas, cacing tanah saja sampai ingin tertawa mendengarnya!" sembur Seruni seraya menepis kasar tangan Bian. Ia tidak habis pikir dengan sikap Bian yang begitu kekanakan. Bian seperti anak kecil yang sibuk membela diri karena dianggap menelantarkan mainan lamanya, demi sebuah mainan baru. Menyedihkan.
"Mas, cinta itu sejatinya tidak menyakiti. Tidak menghianati apalagi membodohi. Benar kan, Mas? Tapi mengapa cinta Mas mengandung ketiga unsur itu? Cinta model apa itu namanya, Mas?" sindir Seruni getas. Entah mengapa mendengar pengakuan cinta Bian tadi, membuatnya muak alih-alih bersedih. Ternyata cuma segini mental laki-laki yang kemarin masih ia gadang-gadang akan menemaninya seumur hidup. Lemah sekali!
"Satu hal yang harus Mas ketahui. Sekarang, Uni tidak lagi sedih Mas tinggal menikah dengan Nastiti. Tidak sama sekali. Mas tau kenapa?" cecar Seruni lagi. Bian menggeleng. Ia tidak tau lagi harus bersikap bagaimana menghadapi amukan Seruni.
"Karena hari ini, Uni telah melihat siapa diri Mas yang sebenarnya. Mas ini laki-laki yang tidak punya pendirian. Tidak punya tujuan dan tidak punya daya juang. Untung saja bukan Uni yang akan menjadi istri, Mas. Untung saja."
Seruni memuntahkan semua rasa marah, kecewa dan sakitnya pada Bian untuk terakhir kalinya. Ia berjanji, setelah hari ini, ia tidak akan pernah membiarkan sebutir pun air matanya jatuh untuk menangisi laki-laki ini.
"Tapi, Uni--"
"Pulanglah, Mas. Ingat baik-baik kata Uni ini. Mulai hari ini Mas jangan pernah menemui Uni lagi tanpa ada Nastiti di samping Mas. Uni bukan penghianat yang suka menikam dari belakang seperti beberapa orang. Uni masuk dulu."
Tanpa menunggu jawaban Bian, Seruni melangkah tertatih-tatih ke arah pintu. Membuka dan menutupnya sekaligus di depan hidung Bian. Selesai sudah. Tidak ada gunanya lagi ia menyesali masa lalu. Apalagi jika masa lalunya selemah itu.
"Jadi cuma begini akhir penantian lima tahunmu?" Sindiran tajam ayah tirinya membuat Seruni menghela napas panjang. Di ruang tamunya yang sederhana, ibu dan ayah tirinya duduk bersisian. Tidak perlu orang pintar untuk menebak maksud ayah tirinya yang tengah duduk manis menunggunya di sini. Tujuannya sudah pasti untuk mengejek nasib sialnya.
Jangan sekarang. Demi Tuhan, saat ini ia begitu capek saling berbalas sindiran untuk hal yang tidak lagi penting.
"Lima tahun kamu menunggunya berkarir di ibukota. Dan saat ia sudah berhasil jadi orang, kamu dicampakkan begitu saja seperti seonggok sampah. Begini ini laki-laki yang kamu gadang-gadang paling kamu cinta dan mencintaimu? Hah, cinta tah* kucing!"
Sabar Uni, sabar. Bagaimana pun kalimat itu memang pernah keluar dari mulutmu. Terimalah dengan besar hati.
"Lima tahun yang lalu memang begitulah kenyataannya, Yah. Mengenai mengapa Mas Bian sekarang berpaling hati, itu di luar kuasa Uni. Uni bukan Tuhan yang Maha membolak-balikkan perasaan seseorang," jawab Seruni datar. Beginilah hubungannya dengan ayah tirinya. Seperti anjing dan kucing. Mereka berdua memang tidak pernah akur.
"Kamu ini, setiap dinasehati orang tua, menyahut saja!" Ayah tirinya menggebrak meja. Wajahnya memerah karena emosi yang mulai naik.
"Menasehati? Menurut Ayah, bagian mana dari kalimat Ayah tadi yang mengandung nasehat? Uni tidak mendengarnya sama sekali." Gebrakan di meja bertambah kencang. Dan seperti biasa, ibunya menatapnya dengan pandangan menghiba. Isyarat tanpa kata agar ia mengalah saja.
Selalu begini. Lagi dan lagi.
"Sudah, jangan banyak bicara lagi. Berhubung kamu sekarang tidak mempunyai hubungan apapun lagi dengan Bian, sebaiknya kamu terima saja lamaran Pak Nyoto. Pak Nyoto 'kan tidak kalah kaya dengan si Bian. Kebun tebunya saja berhektar-hektar.
Dan istri-istrinya juga berjejer-jejer di sepanjang jalan desa!
"Kamu akan hidup senang seperti Siska, Dewi, Ratih, Tanti dan yang lainnya. Teman-temanmu yang dulunya melarat, kini sudah hidup senang semua karena menjadi istri konglomerat."
"Pak Nyoto usianya bahkan lebih tua dari Ayah. Uni tidak sudi hidup seperti Siska, Dewi, Ratih, Tanti dan yang lainnya seperti kata Ayah. Dibalik kemewahan hidup mereka, tidak ada ketenangan hidup di dalamnya. Mereka semua saling fitnah, saling tikung dan bermuka dua hanya untuk menyenangkan seorang bandot tua yang sudah bau tanah. Uni tidak semenyedihkan itu!" desis Seruni geram.
Alangkah dangkalnya pemikiran orang-orang seperti ayah tirinya ini. Hanya karena ingin hidup enak, mereka merendahkan diri menjadi benalu, alih-alih berusaha meraih kesuksesan sendiri. Kemalasan memang dekat sekali dengan kebodohan.