/0/21862/coverorgin.jpg?v=a88c5225604ec327987d04c83aae65b5&imageMogr2/format/webp)
Lelaki berkemeja biru muda itu meminum teh yang baru saja dihidangkan. Dengan sedikit gugup dia meletakan kembali cangkir porselen dengan ornamen bunga itu ke atas tatakan di meja.
“Ehm ... jadi kedatangan Nak Razi ini untuk melamar anak kami, Maida?” tanya lelaki paruh baya yang duduk berseberangan dengannya. Pandangan matanya tegas menyorot wajah pemuda itu.
Razi mengangguk sembari tersenyum. Dia belum bisa menghilangkan kegugupan sepenuhnya. Lelaki bertubuh tinggi itu memang bukan orang asing lagi bagi kedua orang tua Maida. Semenjak dulu, mereka telah mengenal Razi beserta latar belakangnya. Namun, menerima lamaran bagi putrinya tentu bukan soal kedekatan atau keakraban semata, karena setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi putrinya.
“Begini Nak Razi, kami merasa tersanjung Nak Razi berkenan melamar putri kami satu-satunya, tetapi ... pernikahan bukanlah hal sembarangan. Ini terkait soal jaminan kebahagiaan masa depan,” tutur papa Maida, lembut tapi penuh penekanan.
Razi berusaha meraba arah dan tujuan pembicaraan Pak Robi tetapi belum menemukannya.
“Nak Razi tahu sendiri, Maida tengah mengejar kariernya.” Bibir lelaki berusia awal lima puluhan itu menyunggingkan senyum. “Kami tidak mengatakan bahwa Nak Razi tidak pantas bagi anak kami karena status Nak Razi, akan tetapi ... berilah sedikit waktu bagi Maida dan juga kami untuk mewujudkan cita-citanya.”
Razi mulai mengerti akhir dari tujuan ucapan Pak Robby. Bahwa dia, ditolak. Dadanya mulai terasa berat. Tak satu pun kata mampu meluncur dari mulutnya, dia tiba-tiba membisu. Dia sadar akan keadaan dirinya yang hanya pegawai biasa di perusahaan papa Maida. Di situlah Razi merasa begitu lancang telah melamar anak bosnya sendiri. Dia pun paham, bahwa cinta saja tak cukup untuk menikahi gadis pujaannya.
Pandangan Razi menyapu sekitar, berusaha mencari keberadaan gadis pujaannya. Namun, perempuan yang dikenalnya sejak SMP itu tak menunjukkan batang hidungnya. Padahal pemuda itu telah memberi tahukan bahwa dirinya akan datang. Hingga dirinya pulang, Maida tak menampakkan diri.
●●●●
Arrazi El Fathan, seorang pemuda berusia dua puluh empat tahun yang menjalin hubungan dengan putri dari atasannya. Sejak SMA, keduanya sudah saling suka, dan terus berlanjut meski Maida berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Keesokan harinya di kantor, gadis yang memiliki jabatan lebih tinggi dari Razi itu menghampiri. lalu mengajaknya ke atap gedung tempat mereka biasa bertemu dan berbincang.
“Aku minta maaf,” ujar Maida sembari menatap wajah lelaki di sampingnya.
“Untuk apa?” tanya Razi tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan di depannya.
“Aku ... tidak bisa kalau harus menikah secepat ini. Aku sudah bilang kepadamu untuk menunggu dua atau tiga tahun lagi kan? Kenapa kamu nekat datang menemui orang tuaku tadi malam?”
Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. “Jadi itu sebabnya semalam kamu menghilang?”
“Aku belum bisa kalau harus mulai direpotkan dengan urusan rumah tangga saat ini. Jika aku menikah, bukankah kamu akan memaksaku memakai jilbab? Lantas aku harus hamil, mengurus anak, lalu bagaimana dengan karierku?” Maida melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda.
Razi tersenyum seolah apa yang diucapkan perempuan di sampingnya adalah hal yang lucu. “Jadi begitu ... baiklah. Bagaimana jika aku menikah dengan wanita lain?” tanya Razi, kali ini pandangannya mengarah ke wajah Maida.
“Apa ini sebuah ancaman?” tanya gadis berambut sebahu itu. “Aku percaya hingga detik ini kamu masih mencintaiku, dan kamu tidak akan mengkhianatiku karena masalah ini,” ucap Maida yakin.
Razi kembali tersenyum mendengar jawaban Maida. “Aku sudah mengajukan cuti selama seminggu, besok aku akan pulang ke Tasik,” ujar Razi.
“Kenapa mendadak?”
“Aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari.”
●●●
“Ibu senang kamu pulang, Nak,” ucap Bu Ratna seraya menempelkan kedua telapak tangan di wajah anaknya.
“Maafkan Razi, Bu. Baru sekarang bisa pulang.”
“Gak apa-apa, Nak. Ibu sudah senang. Ayo duduk, ibu sudah buatkan makanan kesukaan kamu.”
Ibu dan anak yang telah berbulan-bulan tak berjumpa itu saling melepas rindu. Obrolan santai pun mengalir antara keduanya sembari menikmati nasi liwet dan ayam bakar kesukaan sang anak. Hingga raut wajah lembut sang ibu mulai berubah serius.
“Nak, jadi bagaimana?” tanya Bu Ratna.
Razi mengambil gelas berisi air putih kemudian meminumnya. Pemuda itu mengambil napas dan mengembuskannya pelan. Ada rasa berat dan bimbang di hatinya.
“Ibu sudah tua, ibu takut tak bisa menimang cucu,” lanjut wanita berusia lima puluhan itu.
Sejak seminggu yang lalu, Bu Ratna telah menghubungi Razi melalui sambungan telepon. Wanita paruh baya itu mendesak putranya untuk segera menikah. Bahkan dirinya akan mempersiapkan calon istri jika putranya itu belum memiliki wanita pilihan sendiri.
Razi memandang ibunya lembut seraya tersenyum. “Bu, ibu ini bicara apa, sih? Ibu masih sehat, kuat, ibu masih sanggup menunggu Razi memberikan cucu untuk ibu.”
/0/2986/coverorgin.jpg?v=4bc49dfdf044bc6f097562ec8e1b88c2&imageMogr2/format/webp)
/0/17498/coverorgin.jpg?v=5fb9d6d830e6c50bd50b88398b43e9c0&imageMogr2/format/webp)
/0/20601/coverorgin.jpg?v=c767a518547a1a5362b5171616e93730&imageMogr2/format/webp)
/0/16250/coverorgin.jpg?v=34e1afcf814ea8de2e0f1c1b80358a29&imageMogr2/format/webp)
/0/16123/coverorgin.jpg?v=4abbb308ba639b6406e94227c23c7679&imageMogr2/format/webp)
/0/17755/coverorgin.jpg?v=c03d6b2af81ce04d9d705988982426d3&imageMogr2/format/webp)
/0/16740/coverorgin.jpg?v=9b2469c5173acc6cfa1cde50b3a9c6aa&imageMogr2/format/webp)
/0/28410/coverorgin.jpg?v=abfd9998c49dc9ebbbd7df12fc6584bf&imageMogr2/format/webp)
/0/6578/coverorgin.jpg?v=bf3a9a7e30cc3e7316a860916e948885&imageMogr2/format/webp)
/0/6707/coverorgin.jpg?v=51488038aaafd71b32bcc6bbb7b39e71&imageMogr2/format/webp)
/0/17216/coverorgin.jpg?v=8de1de39814150b2a34ec36544991dd7&imageMogr2/format/webp)
/0/10417/coverorgin.jpg?v=8155f48e04c97d07c0dc0f90cdce099a&imageMogr2/format/webp)
/0/10328/coverorgin.jpg?v=285cb73fd438350480124be261fee44d&imageMogr2/format/webp)
/0/17534/coverorgin.jpg?v=ff762a950265149ff15a814d69b94bcd&imageMogr2/format/webp)
/0/12930/coverorgin.jpg?v=f1d178d85c4e24b2cfcbcc8d6f43c9ae&imageMogr2/format/webp)
/0/16988/coverorgin.jpg?v=fb6f5bc71b71ba673fd22385c858c968&imageMogr2/format/webp)
/0/15614/coverorgin.jpg?v=c418b1aaaf998551827b3d1ad249b85a&imageMogr2/format/webp)