Terdapat legenda yang turun temurun diceritakan dan diwariskan dari generasi ke generasi, yaitu legenda Darktian. Konon katanya, ribuan tahun yang lalu sebuah kota muncul secara tiba-tiba di wilayah utara dalam waktu satu malam. Kota tersebut dihuni oleh makhluk asing yang disebut Heller. Nama kota itu ialah Darktian, terselimuti kegelapan dan dipenuhi jeritan yang membelah langit. Tidak banyak informasi akurat mengenai Darktian. Karena lamanya waktu berlalu, cerita demi cerita baik fakta maupun dongeng saling tumpah tindih hingga tidak dapat dibedakan kebenarannya. Satu hal yang pasti. Kebangkitan Darktian adalah tanda kehancuran.
"Kota tersebut bernama Darktian. Kegelapan menyelimuti Darktian, membuat suasana kota menjadi mengerikan. Rintihan demi rintihan terdengar, teriakan demi teriakan bergema, konon katanya Darktian merupakan bagian dari neraka." Yea berbicara dengan suara yang berlebihan seolah ingin membuat suasana menjadi sesuram apa yang dikatakannya, kemudian melirik Can yang berada di sampingnya.
Can mengangguk pelan, dia melanjutkan dengan suara yang datar tanpa emosi namun hal itu memiliki dampak yang besar dengan apa yang akan dia katakan. "Darktian dihuni oleh makhluk yang berasal dari neraka, makhluk itu disebut dengan heller. Heller sangat kejam dan begis, mereka membunuh dengan menggunakan cakar tajam mereka, mencabik-cabik kulit manusia hingga tidak dapat terdefinisi lagi. Darah adalah minuman kesukaan heller dan bola mata adalah cemilan favoritnya. Heller memiliki gigi taring yang tajam dan bola mata yang sepenuhnya hitam. Mereka sangat membenci manusia, karena itu setiap manusia bertemu dengan mereka, tiada yang utuh. Sering terdapat mayat manusia di jalan dengan organ dalam yang berceceran di tanah dan darah yang mengalir-"
"Berhenti!" Mofi memotong ucapan Can dengan kesal. "Kenapa kamu harus menceritakan heller seakurat itu? Itu menjijikan!" lanjutnya dengan marah.
Yea dan Tera juga mengangguk setuju, "Itu mengerikan!" seru mereka berdua.
Anak laki-laki yang berkulit putih itu hanya mengangkat bahunya tak peduli, "Kalau begitu giliranku selesai. Sekarang giliranmu," ujarnya memberi isyarat dengan matanya kepada Mofi.
Dengan sedikit rasa kesal, Mofi melanjutkan permainan mereka dan mulai bercerita. "Karena penduduk semakin merasa terancam pada Darktian, mereka mulai mencari cara untuk membasmi heller dan Darktian. Mereka menggunakan segala macam taktik dan upaya, namun heller sangatlah kuat hingga aksi mereka menimbulkan banyak korban jiwa. Saat itu munculah seorang kesatria, kesatria tersebut bertarung melawan pemimpin heller dan menang. Sejak saat itu Darktian lenyap dan manusia kembali damai."
Mofi menyelesaikan cerita dengan senyum penuh kebanggaan seolah dialah kesatria dalam cerita tersebut yang telah menyelamatkan dunia dari ancaman Darktian.
"Benarkah ceritanya berakhir seperti itu?" tanya Can dengan ragu.
Mofi ingin berteriak jika yang dia katakan itu benar, namun suaranya tertahan. Dia sendiri juga sebenarnya kurang yakin dengan akhir cerita itu. Dia hanya mendengarnya dari dongeng yang sering ibunya bacakan untuknya, dia tidak mengetahui secara pasti kebenaran dalam cerita tersebut.
Di ruangan yang remang, empat anak muda berkumpul melingkar dan memainkan permainan yang sedang populer, itu adalah permainan sambung cerita legenda Darktian. Ada banyak versi cerita legenda Darktian, dan tidak diketahui secara pasti kebenaran dalam cerita tersebut. Karena itu, permainan ini sering kali menjadi salah satu cara untuk mencari tahu versi lain dari cerita legenda Darktian.
"Ayahku mengatakan Darktian lenyap karena pengorbanan darah seratus manusia," ujar Tera dengan wajah misteriusnya.
Yea menyela, "Itu hanyalah mitos."
Tera, "Lalu apa kebenarannya?"
"Darktian lenyap karena penduduk menyalakan seribu cahaya di dalam kota," jawab Yea dengan penuh percaya diri.
"Benarkah?"
"Tentu saja seperti itu, Darktian adalah kegelapan, kegelapan lenyap karena cahaya. Bukankah itu logis?"
Mofi mengangguk setuju, "Itu sangat logis."
Can menggelengkan kepala pelan, "Itu juga mitos."
Ketiganya menatap Can dengan penuh rasa ingin tahu. "Lalu menurutmu apa kebenarannya?"
Komunikator di tangan Can tiba-tiba menyala, segera holografik persegi muncul di depan matanya disertai dengan pemberitahuan panggilan dari kakaknya.
Can menekan sebuah tombol di komunikatornya sehingga sebuah earphone muncul dari ketiadaan. Dia mengambilnya dan memasangkannya ke telinganya untuk menerima panggilan.
"Kak Bin!" suara Can terdengar semangat, menyapa kakaknya yang sangat jarang memanggilnya.
Suara pria datang dari earphone yang ada di telinganya, tampak sangat pelan dan ringan. Jika saja Can tidak mendengarnya dengan baik, maka dia mungkin saja melewatkan apa yang kakaknya katakan padanya.
"Apakah kamu masih di sekolah?" tanya Bin.
Can mengangguk antusias, tapi kemudian dia sadar bahwa kakaknya tidak dapat melihat tindakannya sehingga dia menjawab dengan suara. "Ya, aku masih di gedung pembelajaran saat ini."
"Kamu masih ingin tetap di sana atau keluar sekarang dan pulang denganku?"
"Pulang!" Can segera mengatur semua alat tulisnya ke anting dimensinya dan bangkit segera berlari ke luar ruang kelas. "Aku pulang duluan," katanya dengan tergesa-gesa kepada teman-temannya.
Gerakannya cepat memindai komunikatornya untuk mendeteksi identitas siswa sehingga pintu kelas yang tertutup rapat segera terbuka.
Mofi segera bangkit berdiri, tangannya terulur ke depan mencoba menghentikan gerakan Can yang tiba-tiba menjadi gesit dan lincah. "Can, kamu belum memberitahu kami bagaimana Darktian menghilang."
Namun sebelum dia menyelesaikan ucapannya, pintu kelas kembali tertutup, mengisolasi semua suara yang ada di dalam kelas.
Can melirik ke pintu dan menghela napas lega, sebenarnya dia sendiri tidak tahu bagaimana Darktian bisa lenyap. Hanya saja instingnya mengatakan bahwa semua yang dikatakan oleh teman-temannya adalah sebuah kebohongan untuk anak-anak.
Pemuda 15 tahun itu berjalan dengan santai menuju lift, dia sekali lagi memindai komunikatornya untuk menggunakan lift dan turun ke lantai dasar. Ketika dia baru saja keluar dari gedung pembelajaran, robot penyambut segera menyapanya.
"Semoga harimu menyenangkan," kata robot itu dengan suara mekanisme yang kaku.
Can menoleh dan tersenyum, "Terima kasih."
Robot itu sekali lagi bersuara, "Sama-sama."
Tidak ingin membuang waktu, Can segera berlari ke depan gerbang Akademi Tinggi Enius. Di sana, sebuah kendaraan mobil dengan tenaga angin telah terparkir melayang lima puluh sentimeter di atas tanah dan terus menerus mengeluarkan semburan udara panas dari belakang.
Ini mobil kecil yang bergerak dengan energi angin dan panas yang hanya sebagian kecil orang saja yang masih memilikinya. Kakaknya salah satu dari sebagian kecil orang tersebut, sangat suka mengumpulkan teknologi lama dan mengutak-atiknya menjadi sebuah produk baru yang tampak antik di mata orang lain.
Salah satu pintu terbuka secara otomatis mengundang Can untuk segera naik. Can tanpa menunda lagi masuk ke dalam mobil, dia bertemu dengan kakaknya yang tampak sangat pucat dengan rambut terkulai di kepalanya. Tampaknya hari ini kakaknya bekerja lembur lagi.
"Apakah Kak Bin baru pulang kerja?" tanya Can sembari melirik ke luar jendela ke pemandangan gedung-gedung bertingkat yang menutupi sebagian besar layar dan hanya menyisikan sedikit tempat bagi Can untuk melihat warna langit yang telah menjadi gelap pekat.
Mobil saat ini semuanya bergerak secara mekanis, namun Bin adalah orang aneh yang sangat suka menyetir secara manual. Dia duduk di kursi pengemudi, menekan berbagai tombol di depannya dan memegang setir dengan serius. Tatapannya fokus ke depan ketika menyetir mobil, bergerak dengan kecepatan 80 km/jam yang memberikan kesempatan setiap kendaraan di belakangnya untuk melambungnya. Bahkan bus sekolah tidak akan berjalan dengan kecepatan pelan seperti ini.
Suara gumaman rendah Bin terdengar menjawab pertanyaan yang baru saja ditanyakan oleh adiknya itu. Dia terlalu malas untuk mengatakan hal lain sehingga tidak mengaktifkan obrolan dalam mobil.
Tangannya bergerak menyalakan radio, kemudian suara seorang wanita yang membawakan berita cuaca terkini terdengar melenyapkan kesunyian yang terjadi di antara kedua kakak beradik di dalam mobil.
"Suhu saat ini turun hingga 20°C, yang menjadi suhu terendah dalam tahun ini. Disarankan untuk mengenakan pakaian lebih banyak ketika keluar dan meningkatkan suhu ruangan untuk tetap menjadi lebih hangat ..."
Can mendengarnya dan melirik ke arah kakaknya. Bin memiliki tubuh lemah dari lahir dan tidak tahan dengan dingin, setiap perubahan cuaca tiba-tiba, dia akan jatuh sakit dan sesak napas.
"Sepertinya Kak Bin harus mengambil cuti selama beberapa hari sampai suhu naik ke tingkat normal," kata Can mengingatkan dengan baik.
Namun pengingatnya itu ditakdirkan tidak mendapatkan respons apa pun dari pihak lain, Bin terus diam fokus berkendara seolah tidak mendengar apa pun yang dikatakan wanita dari radio atau pun pengingat baik adiknya.
Can sudah terbiasa dengan kebisuan kakaknya, terlebih lagi dia tidak mengharapkan jawaban apa pun dari kakaknya yang pendiam itu.
Karena mobil bergerak sangat lambat, butuh waktu lama untuk sampai di rumah. Jadi Can mengambil inisiatif menaikkan suhu ruangan dalam mobil hingga sepuluh derajat secara berkala.
Udara di sekitar naik dengan perlahan dan menetap di suhu tertentu yang menghangatkan ruang dalam mobil, sangat bertentangan dengan suhu di luar mobil yang penuh dengan angin dingin.
Tidak tahu apa yang dipikirkan Can, dia tiba-tiba bertanya dengan pertanyaan yang paling aneh menurut Bin. "Kak Bin, bagaimana Darktian lenyap?"
Jangankan mengetahui cara Darktian lenyap, Bin bahkan tidak tahu bagaimana kota legenda itu bisa muncul. Meski begitu, Bin tidak begitu sibuk untuk mencari tahu hal-hal mitos yang selalu dijadikan cerita hantu untuk menakuti anak-anak.
Bin hidup dengan berpusat pada rumah dan studio pribadinya. Dia tidak memiliki ambisi untuk hal lain yang hanya menguras tenaganya dan memilih untuk mengabaikannya.
Tidak mendapatkan jawaban lagi, Can masih tetap mempertahankan senyuman di bibirnya. Lagi pula dia masih sangat senang mengetahui bahwa kakaknya ingat untuk menjemputnya kali ini. Meski naik di mobil jadul dengan gerakan lamban yang membuat kebanyakan orang tidak sabar, tetapi Can sangat semangat. Lagi pula ini adalah hasil dari produk buatan tangan kakaknya, dan juga naik mobil ini benar-benar menenangkan. Tidak seperti kendaraan lain yang tampak terburu-buru, di kendaraan ini Can merasa santai dan bahkan bisa menikmati pemandangan di luar dengan nyaman.
Mereka melewati gedung-gedung pencakar langit dengan berbagai bentuk yang unik. Ada juga sebuah markas besar pemerintahan kota yang sangat mencolok menjadi suatu tanda pusat kota Enius.
Di udara, lampu-lampu malam berkeliaran tampak seperti kunang-kunang dengan sinar warna warni, mereka tersebar di mana-mana meredupkan cahaya bintang di langit. Saat malam tiba, sebagian besar kegiatan manusia telah digantikan oleh teknologi sistem mekanis. Sehingga di setiap jalan bisa terlihat robot-robot dengan berbagai kegiatannya.
Setengah jam kemudian, barulah mereka akhirnya sampai di rumah. Bin memasukkan mobil ke dalam garasi dan kedua bersaudara itu beriringan masuk ke dalam rumah.
Itu adalah rumah sederhana dengan bangunan satu tingkat yang terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, ruang kerja, tiga buah kamar, dan dapur. Meski dalam kategori rumah kecil di abad saat ini, tetapi itu terasa sangat luas untuk empat anggota keluarga yang menempatinya.
Bin dan Can baru masuk ke dalam rumah dan mereka segera melihat orang tua mereka sedang duduk di sofa ruang tengah. Layar holografik aktif di sekitar dinding, menayangkan sebuah berita nasional tentang hal-hal yang terjadi di sekitar.
"Kalian sudah makan malam?" Ibu segera berdiri ketika melihat kehadiran anak-anaknya. Dia menanyakan pertanyaan yang paling umum dari seorang ibu dengan memperhatikan raut wajah anaknya.
Can menggelengkan kepala, "Belum, lauk apa hari ini?" tanyanya dengan penasaran.
"Sudah," jawab Bin dengan pelan, lalu dia berjalan langsung masuk ke arah kamarnya.
"Bin, kemari sebentar. Ada yang ingin kami bicarakan kepadamu," Ibu menghentikan langkah Bin, memanggilnya dengan hangat untuk mendekat. Kemudian dia menjadi lebih lembut ketika melihat putra bungsunya, "Kamu pergi makan sendiri, Ibu memasak makanan favoritmu."
Can menoleh untuk melihat antara kakaknya dan kedua orang tuanya, dia mengangguk lalu dengan tenang pergi ke meja makan.
"Ada apa?" tanya Bin setelah berjalan mendekat, dia tidak duduk di sofa sama sekali yang menandakan bahwa dia sedang tidak ingin mengobrol banyak.
Wajahnya yang pucat benar-benar mengungkapkan kelemahan di kulit putihnya, matanya sedikit terkulai ke bawah dengan tenang menunggu orang tuanya untuk berbicara.
"Kapan kamu berhenti melakukan hal-hal konyol?" Ayah berbicara terlebih dahulu, dengan isyarat matanya dia meminta Ibu untuk mematikan televisi holografik yang sedang aktif.
Setelah televisi dimatikan, ruangan tampak memiliki atmosfer yang aneh dan menegangkan. Itu membuat Bin tanpa sadar mengerutkan keningnya.
"Aku tidak pernah melakukan hal-hal konyol," kata Bin, suaranya masih sangat tenang tampak begitu jauh dan tak tersentuh oleh emosi, seolah setiap ucapan orang lain kepadanya tidak dapat mempengaruhinya.
"Mengumpulkan rongsokan itu adalah hal konyol, apakah kamu tidak tahu berapa kali para tetangga membicarakanmu?" Ayah selalu menjadi orang yang berbicara langsung, dia tidak memedulikan tentang ucapannya yang dapat menyinggung perasaan anaknya dan mengatakan apa yang dia pikirkan.
Ibu memiliki suara yang lebih lembut yang tampak seperti menawar ketika berbicara kepada Bin, "Kenapa kamu tidak mencoba mencari pekerjaan yang lebih baik saja? Tidak ada prospek yang baik dari yang kamu lakukan saat ini."
"Apa yang tidak baik dari yang aku lakukan saat ini?" tanya Bin, dia mengangkat kepalanya untuk menatap kedua orang tuanya. "Hal yang aku lakukan juga merupakan pekerjaan."
"Tetapi tidak dengan cara mengumpulkan rongsokan. Keluarga kita masih mampu menyekolahkan kalian ke akademi yang baik, mengirimmu untuk magang ke perusahaan teknologi tinggi. Kamu tidak perlu melakukan hal-hal seperti itu dengan mengumpulkan rongsokan setiap hari. Apakah kamu tidak mendengar bahwa mereka semua telah menyebutmu pemulung?"
Rasa dingin yang menjalar di tubuhnya tampak membuatnya menjadi lebih mudah tersinggung. Bin mengerutkan kedua bibirnya tertutup rapat sebelum berkata dengan sedikit emosi yang dibawa dalam suaranya, "Apa peduliku dengan ucapan mereka, aku tidak bekerja untuk orang lain."
Setelah dia mengatakan itu, suara pukulan yang renyah terdengar. Ayahnya memukul meja dengan keras yang menimbulkan bunyi yang tidak pelan.
Can yang saat ini sedang makan tanpa sengaja menjatuhkan sumpitnya. Dia tertegun sejenak sebelum bangkit untuk mengintip situasi yang ada di ruang tengah melalui video pengintai yang dipasang di pintu.
Sebenarnya video pengintai hanya berada di pintu depan rumah dan kamar saja, namun kakaknya- Bin selalu memiliki hal unik yang dibuatnya dan meletakkan satu persatu di rumah. Video pengintai dengan penggunaan manual ini salah satu ciptaannya, hal ini telah lama dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat umum, mungkin hanya rumah mereka yang masih bersedia memiliki hal unik seperti ini.
Di layar video pengintai, orang tua dan kakaknya sedang duduk di sofa ruang tengah. Hal yang seharusnya menjadi pemandangan harmonis itu tampak memiliki atmosfer yang tegang, bahkan Moni- mesin pembantu hanya berdiam diri di sudut ruangan dengan cerdas tidak mengganggu alur percakapan yang sedang terjadi.
Video pengintai yang dipasang di pintu dapur hanya menunjukkan gambar gerak yang sedang berlangsung namun tidak dengan suara. Jadi Can hanya dapat melihat bagaimana orang tua dan kakaknya membuka mulut satu persatu seolah sedang berdebat dengan penuh semangat. Tidak diketahui apa yang terjadi, Bin tampaknya menyerah untuk terus berkomunikasi dengan orang tuanya. Dia berjalan pergi begitu saja meninggalkan ruang tengah ketika ayah telah bangkit seolah mencoba menghentikannya.
Can sedikit khawatir, karena kakaknya tidak pergi menuju kamar melainkan pintu depan yang artinya dia ingin pergi ke luar rumah saat ini.
Setelah sosok Bin tidak terlihat lagi, Can teringat sesuatu dan segera membuka pintu dapur untuk menuju ke ruang tengah. "Kak Bin pergi kemana?" tanyanya kepada orang tuanya.
"Biarkan dia pergi, jangan sampai aku melihatnya masuk ke rumah lagi." Ayah terlihat sangat marah, bukan waktu yang baik untuk mengobrol dengannya saat ini.
Can melihat ke orang tuanya dan diam-diam berjalan menjauh menuju ke kamar Bin.
Kamar Bin tidak menggunakan pemindaian identitas dengan komunikator, tetapi melalui pemasukan nomor kode enam angka. Hal ini sangat mudah ditembus oleh orang lain dengan niat jahat, namun Bin selalu meletakkan virus berbahaya yang akan membantai sistem operasi dan program orang lain di setiap perangkatnya.
Can telah lama mengetahui nomor kode kamar Bin, jadi dia masuk dengan mudah. Dia bergerak cepat untuk pergi ke kotak obat dan menjadi waspada ketika menemukan semua obat-obat Bin lengkap, bahkan pil obat harian pun ada.
"Ayah, Ibu, Kak Bin belum meminum obatnya, dia juga tidak membawa inhaler."
Bab 1 Suhu Rendah
22/10/2022
Bab 2 Kehilangan
22/10/2022
Bab 3 Turnes
22/10/2022