"Sabar dan diam adalah dua energi yang kuat. Sabar membuatmu kuat secara mental, diam membuatmu kuat secara emosional. Tunggu sampai saatnya tiba." Selama dua tahun, pria itu berusaha keras menahan gejolak amarahnya. Baginya, konglomerat cerdas yang tak berperasaan adalah manusia sampah yang sesungguhnya. Suatu hari, tanpa sengaja ia melihat pemandangan yang asing. Seorang gadis yang tak disangka malah meneteskan air mata untuknya. *** "Ketika diperlakukan tidak adil, tidak ada salahnya memberontak! Aku tidak peduli dengan perasaan orang lain!" Gadis cantik itu dengan segala keterpaksaan harus menerima ikatan perjanjian yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Tentu saja bukan dengan orang yang diinginkannya. Hingga di suatu malam, ia melakukan hal yang akan jadi penyesalan terbesarnya seumur hidup. Ada saat dimana gadis itu benar-benar putus asa akan hidupnya. Dan entah bagaimana, keajaiban datang dan membuatnya kembali ke masa itu. Rasa bersalah, dan rasa syukur, bercampur menjadi satu bersama tekad yang kuat untuk mengubah masa depan. Namun, hati kecilnya masih menyisakan keraguan. Apakah waktu benar-benar terulang? Apakah masa depan bisa diubah? Dan pelan-pelan satu per satu kebenaran pun mulai terkuak. Setelah matanya telah terbuka lebar, apakah gadis itu harus menyesali perbuatannya lagi?
Pagi adalah awal sebuah hari baru dimulai. Pagi hari selalu dianggap sebagai berkah, karena hanya di pagi harilah kita bisa menikmati udara segar, mendengar merdunya kicauan burung, dan merasakan hangatnya sinar matahari dengan sejuta manfaat yang dimilikinya. Karena itulah, semua orang pasti, dan harus selalu bersyukur atas pagi yang masih bisa mereka rasakan.
Namun, alih-alih bersyukur karena bisa merasakan nikmatnya pagi, seorang gadis cantik bernama Avanya Nuria Wijaya selalu menganggap pagi sebagai pertanda hari buruknya akan dimulai. Oleh karena itu, ia tidak pernah mensyukurinya. Ia selalu berharap agar waktu cepat berlalu, hingga kelulusan yang dinantikannya itu tiba, dan ia bisa bebas menikmati hidupnya.
Baginya, tidak ada waktu untuk merasakan damai dan tenang seperti yang kebanyakan orang-orang rasakan. Tidak di lingkungan Avanya. Setiap detiknya terasa terkekang dan menyesakkan, bahkan ketika berada di tengah-tengah mansion mewah yang ditinggalinya.
"Tuan, Nona Ava sepertinya terlambat bangun. Saya sudah coba panggil dari luar kamarnya, tapi tidak ada jawaban."
Lapor wanita yang mengenakan seragam maid, yang biasa dipanggil Iyem itu. Wanita itu kini masih berdiri agak membungkuk, menunggu respon dari pria yang tengah menikmati sarapan di hadapannya.
"Lagi-lagi anak itu bertingkah." Keluh pria itu dengan suara paraunya.
"Harusnya gak perlu dipanggil-panggil lagi, anak itu terlalu dimanjakan." Sambung pria itu lagi. Rautnya kini tampak kesal setelah mendengar laporan itu.
Hening
Ruang makan yang luas itu kembali diselimuti keheningan. Bukan keheningan yang menenangkan, melainkan keheningan yang membuat orang di ruangan itu merasa was-was. Was-was, kalau sewaktu-waktu salah satu dari mereka kedapatan melakukan sedikit saja kesalahan, maka tamatlah riwayat mereka.
Waktu terus berlalu. Dari tadi hanya terdengar dentingan sendok dan garpu pria itu yang saling mengadu, memecah keheningan di ruangan itu. Setelah cukup lama menikmati sarapannya, pria paruh baya yang mengenakan stelan jasnya itu kini melirik jam mewah yang melingkar di tangannya.
"Silahkan bereskan semuanya,"-pria dingin bertubuh tegap itu mengelap bibirnya dengan serbet, lalu berdiri dari kursinya-"Kalau anak itu sudah bangun, jangan biarkan dia sarapan, dan jangan antarkan dia ke sekolah! Suruh dia pergi sendiri!"
Perintah pria itu dengan suara yang tegas kepada ketiga maid yang bertugas di ruangan itu, dan sopir putrinya yang tengah berdiri di dekatnya. Ia menatap mereka secara bergantian. Sorot matanya yang tajam, membuat mereka tertunduk tidak berani melihat karena merasa terintimidasi.
Setelah mendapat jawaban, pria itu bergegas meninggalkan ruang makan. Hari ini adalah hari yang sibuk untuknya, karena ia akan mengadakan rapat penting di perusahaan miliknya. Ia meninggalkan mansion mewah itu dengan langkah terburu, diikuti oleh sekretaris pribadinya. Tidak beberapa lama mobil mewah yang mereka tumpangi melesat meninggalkan tempat itu.
"Kenapa tuan putri itu selalu membuat kita terancam?"
Salah seorang maid muda dengan nametag bertuliskan 'Dinda', mengeluh kepada dua temannya. Ia mendengus kesal dengan wajah cemberut sembari mulai membereskan meja makan. Kesibukannya itu juga dibantu oleh kedua maid lainnya.
"Din, anak itu mana peduli sama nasib orang-orang seperti kita." Sahut maid yang satunya sambil tersenyum sinis.
"Cuihh.." Timpal Dinda yang merasa najis.
"Dinda, Ririn, jaga ucapan kalian. Kalian belum tahu sifat asli Nona Avanya. Aku yang melihatnya sejak dia kecil, sebenarnya masih bingung dengan jati dirinya. Entah dia orang baik atau tidak." Bisik si maid senior awas.
"Maksud Ibu, Nona Ava bermuka dua?"
Kemudian pertanyaan Dinda itu dibalas dengan anggukan pelan dari Iyem.
"Makanya, lebih baik berhati-hati. Kita tidak tahu loh siapa kaki tangan Non Ava di rumah ini." Bisik Iyem lagi memperingatkan kedua rekannya.
Sambil berbisik, mata wanita itu melirik pria berseragam hitam di sudut ruangan itu. Lirikan mata Iyem yang tampak jelas, diikuti, dan dimengerti oleh mereka berdua. Ya, mereka tahu bahwa Iyem meminta mereka untuk berhati-hati, khususnya pada pria itu.
Namun Ririn yang mendengarkan peringatan itu malah tertawa remeh. Ia merasa peringatan itu terdengar konyol dan tidak masuk akal. Pasalnya, Avanya yang mereka tahu selama ini bukanlah orang yang ramah, dan cenderung menutup diri. Tidak ada satu orang pun di mansion ini yang terlihat dekat padanya. Walaupun pria itu sering mengajak Avanya berbicara dan selalu menyapanya dengan hangat, Avanya tidak pernah peduli. Ia selalu bersikap dingin. Jadi mana mungkin ada yang namanya 'kaki tangan' gadis itu di mansion.
"Bu Iyem tercinta, kalaupun dia tahu kita selalu menggosipkannya, memangnya dia bisa mengadu pada Tuan? Tuan mana peduli padanya." Ucap Ririn percaya diri.
"Hoo.. iya juga ya."
"Kan tidak ada salahnya jaga-jaga. Kita mana tau kedepannya bagaimana." Ujar Iyem meyakinkan Dinda dan Ririn, juniornya.
"Nah, kau sudah bisa bawa ini ke dapur Kotor." Perintah Iyem sambil menggeser beberapa tumpukan piring bekas makanan sisa, ke arah sebaliknya.
Ia memerintahkan Dinda untuk menghantarkan tumpukan peralatan makan yang kotor, dan beberapa sisa makanan menggunakan dinner trolley cart yang berwarna silver di sampingnya. Dengan sigap Dinda mengindahkan perintah seniornya itu, walaupun dari ekspresinya ia terlihat enggan diperintah oleh sesamanya maid, yang sebenarnya bukanlah kepala pelayan di mansion itu. Kepala pelayan di mansion yang sebenarnya adalah seorang pria berumur 60-an tahun, yang saat ini minta cuti karena sedang ada urusan di kampung halamannya.
"Ririn, setelah kamu selesai lap mejanya, tolong hubungi tukang kebun. Harusnya dia sudah datang jam segini."
"Siap Buuu." Balas Ririn bersemangat dengan gestur menghormat ala-ala tantara. Dengan sigap, ia segera berlari kecil pergi meninggalkan ruangan itu.
Saat akan meninggalkan ruang makan yang telah dibersihkan, Iyem berjalan mendekati pria di sudut ruangan itu. Bibirnya tertarik hingga membentuk senyuman sinis ala nenek sihir di film-film. Iyem tidak habis pikir, bagaimana bisa seseorang yang begitu kaku bekerja di tempat yang sama dengannya.
"Eh? Pak Bram masih di sini toh dari tadi?" Ucapnya dengan nada yang ramah, berpura-pura tidak tahu.
Sayangnya pertanyaan yang terdengar ramah itu hanya dibalas dengan keheningan, dan pandangan yang masih menatap lurus. Dari raut wajahnya, Pak Bram jelas malas meladeni wanita tua yang kelihatan sok berkuasa itu.
"Ah, biar saya ingatkan lagi,"-Iyem berkata sambil menautkan kedua telapak tangannya-"Bapak dibebastugaskan hari ini, jadi tidak perlu mejalankan formalitas yang begini."
Sindirnya dengan mata yang menelusur Pak Bram dari bawah ke atas dengan sorot mata sinis, dan senyuman terpaksa.
Iyem mengatakan hal itu, karena ia tahu selama ini hanya Bram saja yang benar-benar peduli dan tulus melayani Avanya di mansion itu, meskipun Avanya tampak tidak pernah memedulikannya. Iyem berpikir, mungkin Bram masih berdiri di tempatnya karena ingin diam-diam membantu Avanya yang diberi hukuman.
"Saya mau menunggu Non Ava di sini. Ibu tidak perlu khawatir." Pura-pura tersenyum, Bram membalas sindiran itu.
Iyem yang mendengar ucapan sok professional dan sok setia itu, spontan menaikkan satu alisnya, dan menatapnya hina. Itu adalah ekspresi yang biasa ditunjukkannya. Ia sering memandang orang-orang sekitarnya dengan tatapan sepele dan hina, sehingga banyak orang-orang di mansion ini yang justru merasa takut dan terintimidasi, alih-alih tersinggung dan melawan. Ya, belum ada seorang pun.
"Jangan coba-coba langgar perintah Tuan, Pak Bram." Tegas wanita itu. Rahangnya kini tampak mengeras dan matanya melotot pada Bram.
"Anda jelas tahu konsekuensinya."
Sambungnya lagi setelah jeda beberapa detik. Lalu tiba-tiba sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman peringatan pada Bram. Sambil terkekeh pelan, ia berbalik, lalu melangkah meninggalkan Bram di ruangan itu sambil melambaikan tangannya. Wanita itu terang-terangan menunjukkan gestur dan tawa kemenangannya.
[Dasar Nenek Sihir!] Rutuk Pak Bram dalam hati. Pak Bram menghela napasnya panjang.
[Kasihan Nona Ava. Tuhan, tolong bantu dia supaya tetap kuat bertahan di rumah ini. Seandainya pekerjaan ini kulakukan bukan demi istriku, aku pasti akan bantu Nona Ava. Tapi...]
Batin Pak Bram sedih memikirkan nasib Avanya.