/0/21612/coverorgin.jpg?v=e60d6bd2c0a776a47dc1740ac270ceed&imageMogr2/format/webp)
Awan mendung semakin menggelap pertanda hujan akan segera turun, angin berhembus dengan kencang, cuaca semakin bertambah dingin, tapi tak juga membuatku beranjak dari area pemakaman. Sudah satu jam aku berdiam diri di sini, orang-orang pun sudah beranjak pergi dari tadi. Aku masih memandang hampa gundukan tanah di depanku, air mataku masih tetap luruh tanpa henti.
Aku sedang terduduk di samping makam Mas Haris, suamiku yang masih beberapa hari lalu menghalalkanku. Mas Haris meninggal karena kecelakaan saat kami akan pergi berbulan madu.
Aku masih mengingat jelas permintaanku kepada Mas Haris untuk berbulan madu di pulau Komodo, aku sangat ingin melihat pantai dengan pasir berwarna pink di sana.
***
"Setelah kita menikah, kamu mau pergi berlibur kemana, Ras?" tanya Mas Haris padaku ketika kami sedang makan siang bersama.
Kami baru saja pulang dari butik untuk mengambil kebaya yang akan kupakai di acara pernikahan kami, kebetulan di sebelah butik tersebut ada sebuah restoran, jadi kami memutuskan untuk makan siang di sana.
"Aku ingin pergi ke Labuan bajo, Mas. Aku penasaran dengan pantai Pink di sana," jawabku dengan wajah berbinar. "Aku ingin melihat pasir di sana yang berwarna pink itu, kata Winda pemandangan di sana sangat indah," tambahku. Winda adalah teman sekaligus rekan kerjaku.
"Baiklah, apapun mau tuan putri akan aku penuhi. Aku akan membawamu melihat pantai itu," sahut Mas Haris sembari tersenyum lembut.
"Benarkah, Mas?" tanyaku dengan wajah semringah. Tak dapat kusembunyikan bagaimana bahagianya hatiku ketika Mas Haris memenuhi permintaanku.
"Tentu saja, aku akan memenuhi permintaanmu, aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia karena sudah mau menikah denganku," jawab Mas Haris.
Aku mengembangkan senyum mendengar jawaban dari Mas Haris. Pipiku merona karena ucapan Mas Haris yang sangat manis. Hatiku berbunga-bunga, aku sangat bahagia karena mempunyai calon suami seperti Mas Haris. Walaupun kami dijodohkan oleh orang tua kami, tetapi kami merasa sudah cocok satu sama lain.
Aku tidak menyangka kalau permintaanku saat itu malah membuatku kehilangan Mas Haris untuk selama-lamanya.
Tepat empat hari setelah acara pernikahan, kami pun akan berangkat berbulan madu. Aku sangat antusias menyambut keberangkatan kami, terbayang kami akan disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah begitu sampai di sana. Aku menjadi tidak sabar menantikannya.
Aku menunggu kedatangan Mas Haris dengan tidak sabar. Mas Haris sedang pergi ke kantor karena ada keperluan yang mendesak. Padahal Mas Haris masih dalam masa cuti, tapi tetap saja ada urusan kantor yang harus dia tangani.
Aku melirik jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Mas Haris belum juga pulang. Padahal satu jam lagi kami harus segera tiba di bandara untuk keberangkatan kami.
"Mas Haris lama sekali, apa aku telepon saja untuk mengingatkannya?" Aku pun mengambil ponsel untuk menghubungi Mas Haris.
Namun, baru saja aku akan menelepon Mas Haris, ponselku sudah berdering terlebih dahulu. Aku tersenyum melihat layar ponsel yang berkedip ketika ada telepon yang masuk.
"Assalamu'alaikum, Mas."
"Wa'alaikumsalam, Ras. Maaf Ras, aku baru bisa pulang sekarang, aku tidak menyangka jika pekerjaanku banyak sekali," ucap Mas Haris membuatku sedikit lega akhirnya dia akan pulang.
Di saat seperti ini Mas Haris masih saja mementingkan pekerjaannya. Padahal tinggal sebentar lagi kami harus berangkat, tapi Mas Haris masih disibukkan pekerjaannya.
"Iya, Mas," jawabku singkat.
"Kamu marah ya, Ras?" tanya Mas Haris dari sambungan telepon.
/0/29790/coverorgin.jpg?v=4eeac7b6ed4cfd6b59c5b454fbfb63e3&imageMogr2/format/webp)