Ara, seorang traveler sejati. Dia kehilangan sosok Elang sebelum mereka menuntaskan petualangan mereka untuk pergi ke pulau terkahir mereka, yaitu pulau KRI. Sebuah petualangan yang pasti tak akan lagi sama tanpa sosok Elang yang sudah seperti kakak, sahabat, soulmate, atau apapun sebutannya. Suatu hari Ara pergi dengan kekosongan dan hanya ditemani kenangan masa lampau bersama Elang. Hampir saja dia terkubur dalam kesuraman yang dalam, jika bukan karena keindahan pulau KRI dan dipertemukannya dia dengan sosok pria baru. Yang membawanya perlahan melangkah dalam fase kehidupan lain. Tapi mungkin saja saja tak akan berlangsung lama, itu semua karena 'Elang'.
Ara
Malam pertama di pulau Raja Ampat.
Katanya, matahari terbit di sana mirip surga. Benarkah demikian?
Berarti, nanti aku bisa bertemu kamu dong, Lang? Kalau begitu, aku akan mendapatkan matahari terbit di sini besok pagi biar bisa melihat kamu. Jadi, kamu jangan sembunyi ya?
Kamu lihat bungalao yang didesain menjadi rumah panggung ini? Aku cukup puas dengan tempatnya. Tadi, saat hari masih terang, sekitar jam tiga sore, tidak lama setelah sampai, aku menggunakan mobil Jeep sewaan menuju pantai ini aku melihat putihnya pasir. Air laut yang biru jernih terlihat seperti lapisan kaca berkilauan tertimpa sinar matahari. Langitnya yang biru sebiru cintaku padamu dipadukan dengan awan putih yang solid tampak seperti awan di film kartun favoritku tingkerbell.
Kepalaku masih dipenuhi semua hal tentang kamu Lang, apalagi dengan post it berwarna kuning yang dulu kita buat bersama yang sedang ku genggam dan kupandangi ini. Semua ingatanku masuk ke dalam lubang hitam yang isinya hanya tentang kamu, kamu dan kamu.
Kamu pasti ingat dengan daftar tujuan wisata yang pernah kita buat kan? Yang kamu tunjukkan Pertama kali saat kita menginjakkan kaki disini. Hanya kita berdua.
Ah, mungkin sekarang aku sudah jago berhalusinasi Lang. Bahkan, disini, di sebuah penginapan tepi pantai yang berupa rumah panggung kayu ini, aku masih bisa merasakan kehadiran kamu. Jelas, sejelas jelasnya kenangan tentang kita yang selalu memenuhi otak ku.
Lihat, aku membayangkan kamu sedang duduk di ujung tempat tidur di kamar ini sambil mengoceh panjang lebar tentang bagaimana sukanya kamu dengan tempat ini dan akan berniat mengunjungi tempat ini setiap tiga bulan.
Udaranya, langitnya, pantainya, airnya yang biru dan pasirnya yang putih membuat kamu selalu jatuh cinta dengan semua ini. dan karena kamu, aku juga mencintai tempat ini.
Bukan kali pertama kita mendatangi tempat seperti ini Lang, tapi tetap saja rentetan kekaguman mu terhadap tempat seperti ini tidak akan pernah ada habisnya.
Dulu, enam tahun lalu, saat kita masih duduk di bangku kuliah semester lima.
***
"Ih, bibir kamu kenapa lebam gitu?" Aku mengernyitkan kening, memandangi Elang yang baru saja masuk kedalam kelas dengan buru-buru. Dia khawatir si Madam sebutan untuk dosen mata kuliah akuntansi keuangan yang terkenal killer, namun sok jadi primadona, yang juga baru masuk ke kelas ini menyadari kalau ada mahasiswa nya datang lebih telat darinya.
Setelah duduk cukup santai, Elang menoleh ke kiri, ke arahku yang duduk tepat disebelah nya, lalu nyengir. Sebuah senyuman jenaka yang ku tahu persis bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan senyum manis model iklan pasta gigi.
"Berantem sama Kakak lagi?" tanyaku pelan, nyaris berdesis.
"Hidup gue nggak akan sempurna kalau sehari nggak berantem sama tuh orang, kan dia saudara satu-satunya yang gue punya".
Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi yang kududuki. "Kenapa sih kalian nggak bisa akur?"
"Karena kakak gue nggak suka sama gue dan nyokap gue", jawab Elang dengan santai, bahkan sangat amat santai.
Oke, aku rasa tidak perlu membahas lebih lanjut. Karena aku sudah tahu bagaimana cerita keluarga Elang yang kacau.
Sepertinya aku terlalu frontal bila berkata seperti itu, tapi begitulah keadaannya.
Dulu, sebelum aku masuk kuliah dan berteman dengan Elang, kupikir cerita-cerita tentang keretakan keluarga yang benar-benar rumit hanya ada di dalam film. Atau, mungkin dalam sinetron. Entahlah, jangan tanya tentang hal itu karena aku benar-benar buta sinetron yang ada di Tv. Bukannya aku tidak suka, hanya saja, jumlah episodenya yang sanggup melebihi jumlah hari dalam setahun itu bisa membuatku frustasi. Karena tahu lah ya bagaimana pak sutradara dan pak produser Indonesia kalau bikin film dan ternyata banyak yang suka pasti gak akan secepat itu Ferguson selesainya kek nya nunggu hidayah dulu baru the and.
Kembali ke topik Elang.
Tidak lama setelah duduk, dia menoleh dan mengambil pulpen hitam yang sedang kupakai menulis. Dia tersenyum jail, lalu memandangi ku penuh arti, dia mengajakku bolos mata kuliah jam kedua. Katanya, dia minta ditemani makan di jalan Pelajar yang tidak jauh dari sekolah SMA kompleks Surabaya.
Perutku memang sedang lapar, apalagi aku sedang tidak mood mengikuti kelas akuntansi keuangan. Ya mau gimana? Masuk di jurusan ku sekarang bukanlah keinginan ku, melainkan keinginan kedua orang tua ku. sudahlah, aku tak ingin membahas hak itu.
Jadi, saat Elang mengajakku bolos, sebenarnya dia memang tidak ingin makan, itu cuma sebuah alasan agar aku bisa menemani nya duduk duduk dan ngobrol ngalor ngidul meskipun aku sejujurnya tidak tahu apa yang dia bicarakan.
Dia meminum es teh berukuran jumbo dan meneguk nya lalu menghisap rokok begitu terus. Aku sampai mengerutkan dahi melihat kelakuannya yang tergolong up normal.
"Lo lagi ada masalah ya?" tanyaku kepadanya.
tapi tidak ada jawaban, sepertinya memang ada yang tidak beres dengan Elang. Berulang kali aku memperhatikan bibir bawahnya yang lebam. Disalah satu sudutnya, bahkan ada darah kering. Separah apa kali ini dia ribut dengan kakaknya? Aku terus berpikir.
Elang memang sering berkelahi dengan kakaknya itu. kenyataan kalau Elang adalah anak dari istri kedua Wijaya, papa Elang, membuat kakak tirinya itu selalu membenci Elang. Bagi kak Seto, kakak tiri Elang, wanita bernama Sarah itu telah membuat kedua orang tuanya bercerai sampai akhirnya ibu kandung kak Seto sering sakit-sakitan, lalu meninggal dunia. itulah sebabnya, Seto sangat membenci Elang karena Sarah telah merebut posisi Mama Seto.
Berkelahi menjadi satu cara untuk melampiaskan kemarahan Seto.
Jujur saja, aku selalu tidak dapat memahami perbuatan mereka, kenapa coba harus berkelahi sampai baku hantam seperti itu. Toh kak Seto bukan anak kecil lagi, usia 30 tahun bukan termasuk dalam kategori balita kan? Begitu juga dengan Elang yang usianya lima tahun lebih muda dari kak Seto.
Tapi, mau gimana lagi, namanya juga laki-laki. Mungkin seperti itu cara menyelesaikan masalah yang hanya ada di kepala mereka.
"Gue pengen pergi ke Kri", ucap Elang setelah membuat lingkaran dari asap rokok dengan mulutnya. Dia memperhatikan gumpalan asap yang tengah memudar bersatu dengan karbon dioksida yang dihembuskan oleh orang-orang ditempat ini.
"Lo mau ikut?" tawarnya padaku.
"Siapa aja yang ikut?" tanyaku balik.
Diantara hiruk-pikuk di sekeliling kami para pelayan sibuk menawarkan makanan kepada pengunjung yang baru datang.
"Kita berdua aja yang pergi".
"Lo serius?!" tanyaku dengan mata melotot.
Ini gila! Aku dan Elang pergi ke Kri yang terletak di Papua Barat?! Hanya berdua?! Itu bukan jalan-jalan namanya, tapi bulan madu!.
KRI, loh ini! Pulau Kri merupakan pulau yang berada di Yenbuba, Meos Mansar, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Letaknya tidak jauh dari Sorong ataupun Waisai. Jaraknya sekitar 2 jam dari Sorong menggunakan speedboat dan sekitar 30 menit dari Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat.
Di Pulau Kri ini, wisatawan dapat menemukan 374 spesies ikan dengan karang yang indah. Mulai dari barakuda, jacks, batfish dan kakap yang hidup berdampingan dengan ikan kecil karang kecil, hiu, ikan kerapu, kura-kura dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pulau ini masih asri dengan air laut yang bening sehingga wisatawan dapat melihat ikan dan karang hanya dengan melihatnya dari atas permukaan air.
Spot paling dicari adalah Cape Kri, di sini wisatawan dapat berenang dengan hiu dan ikan-ikan tanpa perlu repot menyelam ke dasar laut. Pokoknya tempat ini sangat rekomendasi untuk pasangan yang baru saja menikah dan sedang melangsungkan bulan madu!
"Tapi bukankah itu tempat untuk orang bulan madu Lang?"
Elang nyengir, berusaha menyamarkan beban dibalik senyum indahnya. "Sesekali kita jalan-jalan jauh nggak apa-apa kan? Gue lagi butuh penyegaran. Pengen jalan-jalan ala orang kasmaran Ar".
"Tapi..."
Belum pernah aku pergi ke luar pulau Jawa hanya berdua dengan teman laki-laki. Bisa bisa di coret dari Kartu Keluarga kalau sampai Ibu dan Ayah tahu.
"Udah, ntar gue yang bayarin tiketnya"
"Bukan itu masalah nya!" Hardikku galak.
Aku memang tidak punya pohon uang di kamar. Aku mungkin bisa saja meminta uang dari orang tuaku, tapi kurasa.. tidak. Aku masih punya tabungan, walaupun tidak banyak, tapi kurasa cukup sih. Hanya saja...
"Terus kenapa?" Elang kembali bertanya. Dua memajukan posisi wajahnya, mendekat ke arahku, mencoba mencari jawaban disana.
Ugh! Kalau sudah begini, aku merasa mati kutu tak dapat berkata apapun!
Gue takut makin suka sama Lo! Gue takut kebersamaan kita yang intens itu bikin gue makin jatuh cinta sama Lo Elang!
"Gue takut Lo macem-macem sama gue". Kalimat itu yang terlontar dari bibirku, bukan kalimat yang terangkai tiga detik lalu di kepalaku, bukan kalimat pernyataan cinta yang sudah memenuhi kepalaku beberapa bulan terakhir untuk dia.
Hahaha.., dasar Ara bodoh! Elang bahkan gak anggep Lo sebagai cewek! Lo tuh kayak gitarnya doang! Hal yang bisa bikin dia bahagia, tapi bukan makhluk bernama wanita yang bisa bikin dia jatuh cinta sama Lo! Ara bangun! jangan berharap lebih! buang perasaan itu!
Elang tertawa keras menanggapi ucapan ku tadi, "Oh, Babe, Lo terlalu berharga buat gue Ara sayang. Masa iya gue mau macem-macem sama Lo?"
Dia cekikikan tertawa lepas, sedangkan aku hanya bisa meringis memaksakan diri untuk ikut tertawa meski sejujurnya aku malu.
Oh Elang, kamu nggak tahu betapa berwarna hari-hari ku karena kamu, dan kamu selalu membuatku merasa bodoh dengan cinta sepihak seperti ini.