/0/20791/coverorgin.jpg?v=e65667aa7d62f9ca14b86f6ae32ad138&imageMogr2/format/webp)
“Jodoh tak akan kemana.”
Perkataan Bapak kembali terngiang di tengah kebisingan jalan raya sore ini yang sedang macet. Pesan tersebut dikatakan setahun lalu saat aku ditinggal menikah oleh tunanganku—Gina Ayuningtyas—yang perselingkuhannya ketahuan lima hari sebelum aku dan dia menikah.
Aku masih ingat terakhir kali kami bicara. Saat itu pertengahan bulan Maret. Gina tiba-tiba menelpon dan memaksaku untuk keluar rumah secara diam-diam pada malam hari.
“Kenapa kamu begini, Gina? Bukannya hubungan kita sudah berakhir? Buat apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
“Aku cuma datang untuk meminta maaf, Mas.” Dia menangis dalam diam, sementara tangannya meraih ujung jaketku, memegangnya erat.
“Sudah kukatakan bahwa aku ikhlas. Pulanglah, besok kamu menikah, kan? Kamu akan resmi jadi istri orang, menemuiku seperti ini apakah pantas? Apa dia tahu kamu ke sini?” tanyaku lirih. Dia menggelengkan kepalanya pelan, lantas menunduk.
Aku menghela napas panjang, tidak percaya kalau dia datang tanpa sepengetahuan calon suaminya. Gina tetap bergeming. Dia malah mempererat pegangan pada jaketku, tangisannya perlahan terdengar.
“Maaf ...,” ucapnya lirih.
Aku diam membisu, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Memangnya apa yang harus dimaafkan? Bukankah semua sudah berakhir?
“Maaf ....” Sekali lagi Gina mengucapkan kata maaf.
Aku berusaha bersikap dingin, walau sebenarnya hatiku masih menyimpan perasaan untuknya. Aku menepis tangan Gina, dan segera masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata, tanpa ucapan perpisahan, atau ucapan selamat menikah dariku.
Segala kenangan pahit itu terlalu menyakitkan dan membekas di ingatan. Aku sempat menggila waktu itu. Mogok makan, jarang mandi, tidak main sosial media, bahkan menangis. Namun, sekarang aku tertawa mengingat kebodohanku dulu, karena terus menerus memikirkan hal yang tak seharusnya kupikirkan. Benar-benar memalukan.
Tiid! Tiiiiid!
“E—kucing!” Suara klakson membuyarkan lamunanku, membuatku kaget setengah mati. Ternyata kemacetan mulai melonggar.
“Woy! Yang pakai motor merah, maju!” teriak seseorang dari belakang.
“Sorry, sorry, Bang!” sahutku ketika menoleh ke belakang. Kuanggukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf padanya.
Perlahan kulajukan Honda CBR merah ini. Tak sampai satu jam macet berakhir, sehingga aku bisa meneruskan perjalanan pulang ke kosan.
“Baaang!” Teriakan cempreng tapi halus terdengar tak asing. Aku menepikan motorku untuk memastikan dari arah mana suara itu berasal.
Kepalaku celingukan, sebelum akhirnya kulihat seorang gadis berseragam SMA di trotoar seberang jalan, melambaikan tangan ke arahku. Ia merentangkan tangannya untuk menghentikan kendaraan yang sedang melaju.
“Heh, kamu dari mana?! Keluyuran aja, kerjaannya! Ini jam berapa? Anak gadis gak boleh ....”
“Mulai, mulai! Abang ini bisa nggak, sih, jangan suuzan dulu. Vivi baru pulang sekolah, kok, habis geladiresik perpisahan,” sangkalnya memotong ucapanku. Anak Ibu kos ini selalu saja membuatku jengkel. Seperti sekarang, memotong ucapan orang yang lebih tua darinya.
Tangannya bergerak meraih helm di jok belakang dan segera mengenakannya. Tanpa basa-basi lagi, ia segera naik ke motor, dengan posisi tangannya melingkar di pinggangku.
“Gladiresik sore-sore? Gak percaya, pacaran, ya?” tudingku sambil melepaskan pelukanya di pinggang secara perlahan. Tak enak di lihat orang.
“Fitnah! Enggak, lah! Mana ada aku pacaran,” sangkalnya lagi, “Jangan lepasin pegangan Vivi, dong, Bang.”
“Pengangan, ya, pegangan aja, Vi. Gak usah peluk-peluk. Taro di sini tangannya, baru bener!” Kutarik kembali tangan mungil itu, dan menempatkannya ke sisi pinggang.
“Ck! Kenapa? Takut dilihat gebetan?!”
Mendengar nada bicaranya yang agak kesal, aku hanya bisa tersenyum di balik helm-ku tanpa menjawabnya.
"Berangkaaat ...!" Vivi berteriak di balik helm-nya. Membuatku teringat pada jargon tukang ojek yang ada di film.
Kami yang tak sengaja bertemu di jalan pun akhirnya pulang bersama. Tak sampai dua puluh menit, kami pun tiba. Nyak Marni—ibu kost—sedang duduk manis di teras sambil membaca majalah.
“Assalamualaikum, Nyak.” Aku dan Vivi mengucap salam bersamaan.
“Waalaikumsallam,” jawabnya datar. Matanya menyorot tajam ke arah Vivi. Dia bangkit saat kami sudah turun dari motor.
“Kalian, kok, bisa bareng?” telisik Nyak Marni sambil memicingkan mata.
“Iya, Nyak. Kebetulan tadi ketemu di jalan.”
“Oh, begitu.” Nyak Marni mengangguk, tatapannya tak lepas dari Vivi.
Entah kenapa aku merasakan aura horor di sekitar Nyak Marni. Sepertinya dia akan memarahi Vivi lagi. Aku rasa, Nyak Marni akan marah karena anak gadisnya pulang terlalu sore.
“Elu, ya! Kebiasaan!” Nyak Marni langsung mendekati kami dan memukul lengan Vivi.
Benar saja dugaanku. Itulah akibatnya kalau dia pulang terlambat.
“Aaw! Apa, sih, Nyak?! Sakit tau!”
“Apaan, apaan! Kebiasaan lu, tuh, ya, baju kotor lu simpen sembarangan! Sama pakean dalem warna ping, lagi! Jorok banget, sih, lu jadi perempuan! Enyak lagi, Enyak lagi yang nyuci, kebangetan, lu!” teriak Nyak Marni.
Aku yang mendengarnya tiba-tiba serasa terkena sembelit. Kupikir, Nyak Marni akan memarahinya karena telat pulang ke rumah. Ternyata ... ah, sudahlah, aku tidak tahu harus bereaksi apa. Kulihat wajah Vivi memerah seperti kepiting rebus, sesekali kami bertemu pandang gelisah. Dia celingukan, mungkin takut terdengar penghuni kost lain. Begitu juga aku yang merasa malu karena mendengar hal sensitif seperti itu.
“Ish! Apaan, sih, Nyak! Malu-maluin aja!” katanya sedikit berbisik.
/0/5008/coverorgin.jpg?v=bf80187d49dfa6d4c4874668a2ea8d5a&imageMogr2/format/webp)
/0/6031/coverorgin.jpg?v=aae5f0898ccd7fcf0639082b17e0d0df&imageMogr2/format/webp)
/0/2676/coverorgin.jpg?v=ba61c0ba527ea42c26f3d2cffb98e973&imageMogr2/format/webp)
/0/30174/coverorgin.jpg?v=20251203182442&imageMogr2/format/webp)
/0/30216/coverorgin.jpg?v=ce8a760e55a193f7e3b71672332814fe&imageMogr2/format/webp)