Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
No Hearts Available

No Hearts Available

Azure iips

5.0
Komentar
13
Penayangan
5
Bab

Alfa hanya jomlo akut yang kepengen punya gandengan tiap pergi kondangan. Telinganya sangat panas mendengar pertanyaan. Kapan nikah? Kapan ngenalin calon ke keluarga? Di saat dirinya baru setahun lulus dari SMA! Hingga me time-nya berujung pada pertemuan dengan makhluk yang sama sekali tak dia duga ada keberadaannya di dunia. Ketika hati mulai menemukan kenyamanan, dia harus menelan pahit kenyataan. Bahwa dia tak bisa mengendalikan apa-apa. Pada hal-hal fana yang dia yakini akan kekal.

Bab 1 - Prolog

"Kapan bawa calon, Al? Lihat, tuh, si Jeki, temen sekelasmu dulu, anaknya udah mau dua. Padahal seumuran loh sama kamu."

Alfa berusaha tetap mengulas senyuman meskipun kini, batin menolak keras untuk merasa senang. Bulik Nur semestinya ingat kalau Lona-istri Jeki-tengah mengandung anak kembar, wajar saja jika langsung diberi anugrah dua orang putra. Lagi pula, teman klop-nya waktu SMA itu telah menikah, hal lumrah jika mau mempunyai anak sementara ia? Calon saja masih antah berantah keberadaannya. Entah sudah belajar merangkak atau belum menjadi penduduk di bumi.

"Hehe." Alfa tersenyum canggung, "jodohnya masih nyasar, Bulik. Dia lupa nggak bawa kompas. Makanya nggak nyampe-nyampe."

Pandangannya berkeliaran ke sana kemari. Mencari keberadaan sang ibu yang katanya hanya ingin menemui pengantin. Namun, lima belas terlewati belum juga kembali. Mungkin ibu harus menyeberangi lautan dan mendaki lembah dulu.

"Ya makanya itu, Le," timpal Nur gemas dengan ucapan tak masuk akal Alfa, "kalau mau dikenalin ke sepupu, kamunya jangan ngumpet di gudang. Malu-maluin aja!"

"Hla wong, nikah sama sepupu juga boleh, kok. Atau mau sama anak Bulik? Uayu-ayu, hlo. Pinter masak!" lanjutnya bangga, seolah-olah putrinya adalah produk yang harus segera di-checkout sebelum voucher gratis ongkir berakhir.

Alfa ikut menarik sudut bibir. Dalam hati berusaha ditahan gejolak untuk tidak melangkahkan kaki menjauhi beliau. Dia tidak seenggak laku itu, loh sampai mau dijodohin sama sepupu sendiri. Yang benar saja!

Pemuda itu merasa lumayan kece untuk ukuran orang yang baru lulus. Buktinya, belum genap setengah tahun, ia mau diambil menantu sama Bulik-nya sendiri. Tanpa sadar senyuman kembali merekah. Gue emang memesona, sih, batinnya kegirangan.

Akan tetapi, khayalan itu buru-buru sirna ketika Bulik kembali berceletuk, "Tapi kamu udah telat, sih, Le. Dena baru minggu kemarin dilamar anak bupati."

Kalau kata anak zaman sekarang, posisinya ibarat 'the real dibawa ke langit ke tujuh, lantas diempas ke dasar bumi'. Ia teringin membalas lebih sengit, tetapi mendengar namanya dipanggil membuat niat itu urung. Ia berbalik badan, mendapati sang ibu kembali. Cuaca terasa makin panas apalagi dekat dengan sumbernya. Mau anaknya menikah dengan anak raja pun, Alfa tidak peduli. Gadis di dunia ini bukan cuma Dena!

"Eh, Nur, sama siapa ke sini?" Alfa cemberut di tempat.

"Mbak Nia, piye kabare?" Alfa memutar bola matanya malas. Bukankah terlihat jelas, ibunya tengah berdiri dengan keadaan sehat wal afiat?

"Alhamdulillah, aku baik. Mamak gimana? Ikut ke Jakarta, 'kan?"

Meskipun orang tua mereka telah berpisah dalam kondisi baik-baik, Nia selalu menyayangkan jarak antaranya dengan saudari dan mamak. Nur memilih ikut Mamak sementara Nia ikut Bapak ke Jakarta.

Nur menarik kedua sudut bibirnya ke atas sebagai balasan, lantas mengalihkan topik. "Nanti datang, ya, ke nikahannya Dena."

"Loh, sudah mau menikah?" tanya Nia kaget. Terakhir kali bertemu, Dena masih suka membuat adonan yang disebutnya cookies dari lempung, "Sama siapa? Bukannya Dena masih kelas sebelas, ya?"

"Mbak Nia ini pikun e ndak hilang-hilang. Dena kan seumuran sama Alfa. Beda enam bulan aja. Tapi perkara nikah, siapa tau? Dena ternyata duluan, hehe," jawab Nur dengan senyum jenaka, menyindir pemuda yang makin meradang di tempat. Alfa melirik kesal. Dia diam loh, kenapa dibawa-bawa?!

***

Jika ibu mengatakan akan menyapa seseorang sebentar, itu bohong. Nyatanya, Alfa menyadari tiga puluh menit telah berlalu saat kesemutan menyerang kedua kaki. Timbul perasaan menyesal menemani ibu ke kondangan. Bros sebagai penghias di kerudung bahkan lebih baik daripada keberadaannya. Ia akan menolak jika diajak lagi, titik.

"Kamu kenapa, to?" Nia mengerutkan dahi, "kok lesu gitu, Le."

"Nggak papa." Alfa menghidupkan mesin motor.

"Kamu marah sama Bulik Nur?" terka Nia, tidak jadi menaiki motor.

"Nggak, tuh," balas Alfa spontan, "siapa juga yang marah. Ibu sok tahu."

Nia mengulas senyum, mengacak rambut putra semata wayangnya dengan gemas. "Nggak boleh gitu sama orang yang lebih tua. Mau kamu jungkir balik dari Monas, beliau tetap Bulik kamu. Jangan ambil hati, ya."

Alfa mengangguk saja. "Iya iya. Berhenti bahas Bulik. Ayo, pulang. Gerah."

Nia menggeleng pelan. Susah memang menghadapi putranya yang gampang ngambek seperti anak gadis. Motor mulai melaju. Sesekali sifat iseng Alfa naik ke permukaan. Dia membuat sang ibu harus menepuk bahunya berulang kali agar segera mengurangi kecepatan.

Nia menjadi lebih pendiam. Meskipun kenyataannya, batin wanita itu lebih ramai dari bising kendaraan. Mungkin beberapa kenalan memiliki anak gadis untuk dikenalkan pada Alfa. Apa memang sudah waktunya berumah tangga, ya? Makin pusing sekali menghadapinya.

***

Alfa berupaya menutup pintu kamar tanpa menimbulkan decitan. Membuka dua kancing atas kemeja, merasa punggung telah basah oleh keringat. Namun, belum berniat untuk membersihkan diri. Tak sampai sepuluh detik, lantas dia melemparkan diri ke ranjang. Nyaman sekali. Lampu di tengah langit-langit itu menarik perhatian.

"Lam, lo nggak bosen gitu sendirian?" celetuknya muram.

"Iyalah, ngapain bosen. Gue temenin gitu tiap hari." Lalu, Alfa membalasnya sendiri.

"Gimana masa depan gue, ya, Lam?"

Lampu itu mendadak mati seakan menertawakan kegalauan tanpa alasan si pemilik kamar membuat Alfa berdecak. "Nyebelin lo!"

Alfa terdiam, semua hal menjadi membosankan. Matanya perlahan memejam, seseorang perlu memberikan pekerjaan kepada anak malang ini.

Pemuda itu beralih duduk dan menggeser posisinya agar bisa bersandar pada tembok. Kaki kanan ditekuk sementara kaki kiri diluruskan. Dia merogoh ponsel dari celana, memandang benda itu dalam waktu lama tanpa bersuara.

Dia merasa kehilangan teman setelah ujian semesteran selesai. Padahal hari-hari biasa, mereka bak guling dan bantal, terasa hambar bila salah satu tiada.

Alfabet

[Kumpul, yok!]

[Bosen gue. Lo pada nggak?]

[Jangan di rumah mulu, kayak gadis di pingit ae]

Banoganteng

[Ada duit, gas sih]

[Masalahnya, dompet gue penuh sarang laba-laba]

[Ada yang murah hati mau ngisiin?]

Neruman

[Gue sibuk]

Banoganteng

[Marathon Cinta untuk Guddan kan lo?]

Neruman

[Yoi.]

[Abisnya tiga hari gue ke Jogja, tiga hari juga gue ketinggalan cerita.]

[Ini gue nonton, untung ada, ya walau bahasa Hindi sih.]

Banoganteng

[Ya sama aja, dong!]

[Lo juga nggak tau artinya]

Neruman

[Ini namanya perjuangan bre.]

[Tiada yang bisa menghentikan langkahku menuju Guddan]

Alfabet

[Bucin lo]

Jeki Tanpa Chen

[Ijin alfa, Bos! Bini gue ngambek.]

Mereka masih sama, hanya saja dengan kesibukan baru. Alfa mematikan ponsel lantas beranjak menuju kamar mandi. Ia perlu berendam air suam-suam kuku atau mungkin ... lebih baik pergi ke suatu tempat untuk menjernihkan pikirannya yang mulai kacau?

"Alfaa, angkatin jemuran! Gerimis noh!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku