Dipaksa bercerai dengan suami ketika selesai melahirkan, itu sakit. Dan ketika dia kembali, apakah harus diterima?
Sah. Satu kata yang diucapkan oleh wali hakim yang menikahkan Dika dengan Camelia. Pernikahan itu hanya digelar secara agama saja, tanpa pengesahan kenegeraan. Alasannya karena orang tua dari Dika tidak menyetujui calon istri yang ia bawa.
Wanita yang tak jelas siapa bapaknya. Sebab nasab yang mengikut pada ibunya. Pernikahan itu pun hanya dihadiri keluarga dekat dari pihak Camelia saja, termasuk ibunya yang sudah menikah lagi. Ayah kandung wanita itu kabur tanpa jejak yang bisa terendus entah ke mana, tak ada yang tahu.
Tidak ada resepsi, catering dan lagu yang dibawakan oleh biduan sebagai penanda di rumah itu ada pernikahan yang sedang berlangsung. Dika harus merahasiakannya, sebab jika kedua orang tuanya tahu maka semua fasilitas bulanannya akan dihentikan. Itu juga berarti ia tak bisa memberikan nafkah untuk Camelia-istrinya. Yang kedua orang tua Dika tahu, putranya sudah putus sejak enam bulan lalu dengan gadis tak jelas siapa bapaknya itu.
Malam pun akhirnya datang menyapa. Dua insan yang sudah sah secara agama itu akhirnya merasakan apa yang disebut orang sebagai malam pertama. Tanpa rasa takut atau waswas sebab mereka memang sudah suami istri.
Sampai malam berganti pagi dan keduanya masih terlelap dalam selimut yang sama. Ketika bangun, Camelia berusaha menjadi seorang istri yang menyejukkan hati bagi suaminya. Ia siapkan semua kebutuhan Dika, termasuk makan dan pakaian.
Kemaren, selesai Amel langsung dibawa ke rumah kontrakan sederhana, tapi Camelia menerima semuanya dengan lapang dada, karena itu merupakan pilihan mereka berdua untuk merahasiakan pernikahan, entah sampai kapan.
"Mel," sapaan Camelia, begitu Dika memanggilnya.
"Iya, kenapa, Bang?" tanya wanita itu, ia bawakan sepiring makanan yang asapnya masih mengepul. Kebutuhan dapur di rumah itu dipenuhi Dika dengan baik.
"Malam ini Abang nggak bisa pulang, ya. Bisa curiga kedua orang tua Abang, karena alasan kemaren cuma main ke rumah temen di luar kota." Lelaki itu memegang tangan Camelia. Begitulah resiko dari pernikahan diam-diam.
"Iya, nggak apa, Bang, Amel sangat mengerti, kok. Hati-hati di jalan, ya. Bilang sama mertua dapat salam dari menantunya yang paling cantik." Camelia tersenyum dan terlihatkan satu lesung pipinya di sebelah kanan.
"Soal itu, Abang belum bisa bilang, Mel. Perlu waktu, tapi Abang janji akan menafkahi Amel, lahir batin terpenuhi."
"Iya, Amel tahu, Bang. Semoga saja hati kedua mertuaku terbuka dan pernikahan kita bisa disahkan secara hukum." Begitu harapan sederhana Amel.
Perempuan yang sekolah hanya sampai bangku SMP saja, begitu mudah terpesona dengan paras menawan Dika yang notabenenya seorang anak pengusaha. Tentu dengan sesuka hatinya bisa mendapatkan dan membuang perempuan sangat mudah.
Lelaki itu pulang dari rumah istri sirinya. Ia menaiki motor besar yang dibelikan oleh kedua orang tuanya. Dengan perlahan-lahan ia kendarai hingga membelah jalanan aspal di kota besar.
Jarak dari rumah Dika ke rumah istri sirinya memakan waktu tiga jam lamanya. Dalam perjalanan pulang, jujur saja lelaki dengan paras menawan itu sempat pusing. Ia takut ketahuan oleh keluarga besarnya. Namun, untuk melepaskan Camelia juga Dika tak bisa.
Paras manis wanita tersebut telah membuatnya susah tidur dan sulit makan. Setahun mengenal Amel membuat Dika berani mengambil keputusan untuk menikahinya.
***
"Udah puas nginap di rumah temen?" tanya Mama Dika, sering dipanggil Bu Inah.
"Udah, Ma. Dika ke kamar dulu, ya, lelah, ingin mandi terus tidur," jawab anak pertama laki-laki yang merupakan kebanggaan keluarga itu.
"Nanti kita bicara, Nak. Mama sama Papa sudah punya calon istri buat kamu. Harus kami yang tentukan bukan orang lain. Supaya harta keluarga ini nggak jatuh ke tangan yang salah." Tegas Bu Inah, ia mewakili suaminya yang sedang berada di kantor.
Anak lelaki di antara dua adik perempuannya itu hanya mengangguk saja, ia sedang tak mau berpikir atau berdebat dengan siapa pun. Sampai di kamar, ia mandi dan merebahkan tubuhnya. Masih tergambar jelas dalam benaknya, rasa-rasa melewati malam pertama. Ia yang masih perjaka dan Camelia yang masih gadis ting ting.
Ada rasa kecanduan yang membuatnya ingin mengulangi lagi, sayang sekali istri sirinya sangat jauh. Dika hanya bisa meredam rasa itu dengan tertiur pulas saja.
Saat malam kembali lelaki itu mengambil ponsel nokianya, tak banyak orang yang bisa membeli benda itu. Ia masih dibelikan oleh orang tuanya agar mudah berkomunikasi dengan cara sms atau telepon langsung. Camelia juga Dika belikan, hasil uang tabungan yang ia simpan diam-diam.
Ketika ingin melakukan panggilan dengan istri sirinya, pintu kamar Dika terbuka, Bu Inah masuk mengajaknya makan malam bersama.
"Iya, Ma. Dika beresin jurnal dulu." Lelaki itu sempat menyelipkan ponselnya di antara buku-buku ekonomi yang ia miliki.
Bu Inah sedikit curiga, ia sempat bertanya tentang tanda kemerahan di leher putranya. Lelaki itu berkilah, ia katakan digigit nyamuk saat pergi bersama teman-temannya ke hutan.
Makan malam tersaji, Dika makan secukupnya saja. Masakan yang kalau jauh dengan buatan Camelia. Jika ada yang mengetahui tentang pernikahan mereka berdua, tentu saja meja makan akan heboh dengan ujaran bahwa Dika yang baru satu hari berpisah dengan Amel sudah sangat merindukan istrinya. Nyatanya, tidak ada obrolan apa pun di meja itu. Kecuali ketika piring sudah bersih.
"Namanya, Sinta, anak baik-baik, kalem, lemah lembut juga, anak dari salah satu teman Papa," ujar kepala keluarga di rumah itu. Jika ia sudah bertitah, maka tak ada yang bisa membantah.
"Iya, Pa," jawab Dika bohong. "Tapi kalau boleh Dika selesaikan S2 dulu, satu tahun lagi. Baru memikirkan ke jenjang yang Papa dan Mama inginkan."
"Oh, tentu, selesaikan kuliahmu, kerja dulu, baru pikirin menikah. Supaya nggak menelantarkan anak gadis orang. Nikahi baik-baik dan nafkahi lahir batin baik-baik. Dan mulai besok, kamu sudah harus ikut kerja sama Papa di bagian bawah dulu, supaya tahu apa itu berproses." Khidmat kepala keluarga itu berkata, semua yang ada di meja makan hanya mendengar saja.
"Harus kerja dan kuliah dengan baik, Dika. Kamu itu anak pertama laki-laki, panutan kedua adik kamu. Jangan sampai memberikan contoh yang salah," sahut Bu Inah pula. Lelaki itu hanya mengangguk saja, yang ia pikirkan ialah jadwal kunjungannya untuk Camelia yang pasti kacau balau.
"Kerja ada liburnya, kan?" tanya Dika. Sang ayah hanya bilang iya saja tanpa menanyakan alasan lagi.
***
Kicau burung di pagi hari seharusnya menjadi penanda kebahagiaan bagi Camelia. Namun, wanita itu resah. Sudah dua minggu Dika tidak mengunjunginya.
Beberapa kali ia mencoba menelepon tapi suaminya selalu menjawab sedang sibuk, kalau tidak kuliah maka pekerjaan yang menjadi alasan. Amel sangat merindukan suaminya, walau bagaimanapun juga ia merupakan wanita normal yang telah disentuh sebagai seorang istri.
"Aku tidak seperti ibuku. Aku menikah dengan baik-baik dan memiliki suami secara sah. Aku tidak merebut milik orang juga tidak menjadi wanita kedua. Dika menikahiku ketika masih lajang. Tapi kenapa sulit sekali untuk memilikinya utuh-utuh." Amel memandang langit yang kebiruan, hari itu musim kemarau, sinar mentari di jam delapan saja sudah seperti jam dua belas siang.
"Baik, mungkin alasannya memang karena bekerja. Tapi jangan lupakan kalau aku sudah kamu nikahi. Atau aku akan datang ke rumah orang tuamu dan menunjukkan bukti kalau kita sudah menikah," gumam wanita itu sendirian.
Amel masih bersabar, dua minggu menanti telah berubah menjadi satu bulan. Malam itu ia duduk di teras rumahnya. Setiap malam ia masak sedikit lebih banyak takutnya Dika tiba-tiba mengetuk pintu rumah dan menginap bersamanya.
Dalam hati Amel merasa ia seperti wanita simpanan saja. Tak jauh dari kontrakannya tinggal ada satu kos-kosan yang isinya perempuan cantik dan seksi. Mereka mendapatkan uang untuk menyambung hidup sebagai simpanan om-om kaya.
Angin semakin berembus, musim kemarau nampaknya akan berganti menjadi musim hujan. Amel pun masuk karena tak tahan dengan dingin embusan yang terasa menusuk tulangnya. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam dan pada saat itulah pintu rumahnyanya diketuk beberapa kali.
Lekas wanita dengan lesung pipi itu mengintip dari tirai jendela. Benar saja, suami yang ia rindukan datang padanya.
Amel membuka pintu dengan penuh semangat. Dika belum masuk ke rumah dan sudah ia peluk tanpa rasa malu sama sekali, untung saja komplek itu sedang sepi karena akan turun hujan. Anak lelaki manja itu menyerahkan beberapa buah tangan untuk istrinya. Kemudian Dika masukkan motor besarnya ke teras rumah agar tak terkena guyuran air.
"Kangen kamu, Bang." Amel bergelayut manja di lengan suaminya.
Begitu juga dengan Dika yang merindukan segala sesuatu tentang istrinya, mulai dari makanan termasuk pelayanan di atas ranjang.
"Maaf, Abang lama pulang. Hari ini gaji pertama yang Abang terima. Ini semua untuk kamu." Dika memberikan sebuah amplop cokelat pada istrinya.
Semringah wanita itu menerimanya. Beberapa lembar uang seribu, lima ribu juga sepuluh ribu. Tidak semua diserahkan, sebagian telah Dika sisihkan, kata orang tuanya lelaki itu disuruh untuk memulai pendekatan pada Sinta. Ciuman di pipi kiri juga kanan ia dapatkan sebagai hadiah. Camelia menyambutnya pulang dengan penuh pelayanan dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Malam semakin dingin ketika hujan lebat terus saja turun, sebagai penanda masuknya musim hujan. Dua insan yang saling merindu itu tentu saja melepas rasa cinta dalam selimut yang sama pula.
Cukup lama lelaki rupawan itu mengambil libur, tiga hari karena alasan ada kumpul-kumpul dengan temannya. Tiga hari yang cukup untuk melepaskan segala gelora pada diri Camelia.
"Bang, gimana kedua orang tua Abang. Apa udah ada tanda-tanda mau terima aku sebagai istri kamu?" tanya Amel ketika liburan Dika telah selesai.
"Belum. Abang lagi sibuk kerja. Masih banyak urusan, belum sempat bicara. Nanti Abang cari waktu, ya. Kamu tenang aja, Abang tidak akan meninggalkan kamu. Kamu istri Abang, tanggung jawab dunia sampai akhirat." Begitulah lelaki itu melontarkan rayuannya, seolah-olah tak akan ada yang bisa memisahkan mereka berdua.
Amel memeluk suaminya, lelaki itu sebentar lagi akan pergi. Lalu ponsel nokianya berdering, panggilan masuk dari sang ibu.
Dika menjauh agar obrolan itu tak terdengar oleh Amel. Perintah dari seberang sana sangat jelas, kalau Bu Inah meminta Dika lekas pulang dan menyempatkan diri membeli beberapa buah tangan untuk kedua orang tua Sinta. Akan ada pertemuan kecil-kecilan untuk mempertemukan dua orang anak pengusaha itu. Dika hanya mengangguk saja.
Bersambung ...
Buku lain oleh Aini Dahlia
Selebihnya