/0/20791/coverorgin.jpg?v=e65667aa7d62f9ca14b86f6ae32ad138&imageMogr2/format/webp)
Alana Septiani Putri, gadis yang kini usianya beranjak dewasa. Di setiap harinya, ia harus menguatkan dirinya sendiri bahwa ia pasti bisa. Bukan karena apa. Tetapi, memang harusnya seperti itu sebelum ia mendapatkan hal yang tidak diinginkan. Misalnya, dijatuhkan berkali-kali oleh keluarganya sendiri, atau diperlakukan seenaknya oleh keluarganya.
Gadis yang biasanya dipanggil Al, atau Alana ini, adalah gadis cantik yang memiliki wajah yang nyaris sempurna. Dilihat dari kulitnya yang putih, tubuh yang tingginya berkisar 165 cm, tidak terlihat kurus, juga tidak terlihat gemuk. Sangat pas, dengan dirinya. Hidung mancungnya, bibir tipisnya, bulu mata lentiknya, dan juga bola matanya yang indah.
Alana tipe cewek yang pendiam. Akan tetapi, ia memiliki sifat yang ramah kepada semua orang. Misalnya kepada orang tua, ia akan membantu ketika melihat orang tua yang kesusahan dimanapun ia menjumpainya. Atau, kepada orang-orang yang ia jumpai di jalan. Pastinya, ia akan memberikan senyuman dan sapaan kepada orang tersebut.
Alana memang bukan anak yang pintar, atau sangat berbakat dalam hal prestasi. Ia hanyalah gadis biasa saja. Mampu mengikuti, mampu melakukan, mampu berfikir, dan bisa semua itu.Akan tetapi, hanya secukupnya saja. Padahal, ia bisa. Tetapi, ia tidak ingin merasa sombong karena prestasi. Biarkan itu menjadi bakat yang ia pendam.
“Alana, bisa ngga sih. Lo itu, kerjaannya yang bener? Bantu mikir doang, kok susah banget sih!” gerutu sang kakak. Alana yang masih duduk di depan sang kakak, dengan mengerjakan beberapa lembar jawaban kakaknya itu, hanya memandang dan terus berfikir keras untuk mencari jawaban.
“Maaf Kak,” ujarnya.
Yup, kini Alana sedang duduk di ruang tamu bersama sang kakak. Mengerjakan tugas sang kakak adalah kebiasaan Alana setiap harinya setelah ia lulus dari SMA. Padahal, ia saja belum masuk ke perguruan tinggi. Walaupun, sebentar lagi ia akan masuk. Tetapi pikirkan saja coba, kakaknya sudah duduk di semester dua bangku kuliah. Dan bahkan, Alana saja belum masuk satu semester pun sudah disuruh mengerjakan tugasnya.
Sang kakak berdecih. “Segitu aja ga bisa. Bodoh banget sih jadi orang!” cetus sang kakak kasar kepadanya.
Alana hanya bisa pasrah. Apapun yang ia dengar, apapun yang ia terima, apapun yang ia lihat, semuanya emang harus ia terima mau bagaimanapun, itu adalah jalan satu-satunya dia masih dianggap anak oleh keluarganya.
“Ini ada apa sih, dari tadi teriak-teriak terus. Mama sampai ga fokus sama urusan Mama.” ucap sang mama yang tiba-tiba datang dari kamarnya.
Alana dan Alena menoleh menatap kedatangan sang mama. “Tuh, liat Mah. Alana masa dari tadi suruh ngerjain itu aja, masa ga bisa!” adu Alena pada mamanya.
Sang mama menoleh menatap Alana sinis. Melangkahkan kakinya menuju tempat Alana duduk dan menarik kasar lengan Alana berdiri secara terpaksa.
“Aww, Mah. Sakiiitt!” jerit Alana ketika merasakan sakit di lengannya.
Sang mama terus menarik Alana berjalan mengikutinya. Menaiki anak tangga dan berjalan menuju kamar di ujung, tak lain kamar Alana sendiri. Sang mama membuka pintu, dan menguncinya. Kemudian, menghempaskan tubuh Alana ke lantai dengan kasar.
“Awww!” jeritnya.
Sang mama berdiri angkuh dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, melihat Alana yang berada di bawah lantai.
“KAMU, JADI ANAK KOK BODOH BANGET SIH! PAPA KAMU TUH NYARI UANG BUAT KAMU, ITU TUH BIAR KAMU BISA JADI ANAK PINTER. BISA NGGA SIH, GA USAH MALU-MALUIN KELUARGA SAYA? KAMU, KELUARGA SAYA BUKAN? HAH?” bentak sang mama di depan Alana.
Alana hanya bisa menunduk. Sakit? Yah, sudah pasti. Fisiknya yang berkali-kali disakiti, dan juga batinnya yang terus-terusan tersiksa. Beginilah hidupnya. Kadang, ia mengharapkan papanya yang selalu ada untuknya dan memberikan semangat. Tetapi, akan ada tanggapan negatif dari sang mama, dan kakaknya yang membuatnya tidak bisa berbicara atau membantah. Karena memang, inilah yang sudah terjadi. Mau dibantah pun, sama saja ia akan memulai perkara baru lagi. Dan lebih, lebih, menyakitkan bukan?
Alana hanya menunggu waktu yang pas dan tepat. Khususnya, dimana ia akan melihat keluarganya benar-benar menginginkan kehadirannya. Tetapi, mungkin sekarang bukan dan belum waktunya saja. Apa ia harus terus tetap sabar menghadapi dan menguatkan dirinya, untuk selalu menerima perlakuan di hidupnya.
“BANGUN KAMU!” perintah sang mama.
Alana ingin menangis. Tetapi, ia terus menahannya. Ia menundukkan kepalanya, dan terus duduk di hadapan mamanya.
“KAMU TULI? HAH?” bentak sang mama lagi yang baru disadari Alana.
Alana yang kaget mendengarnya langsung berdiri. Walaupun tubuhnya tidak kuat untuk berdiri, ia paksakan untuk bisa. Karena, tidak untuk dirinya menunjukkan kelemahan di depan sang mama.
“Buruan turun, lalu masak!” titah sang mama. Kemudian berbalik, dan membuka pintu kamar juga membantingnya secara kasar.
Alana hanya memegang dadanya, rasanya benar-benar nyeri. Ia memandang pintu tersebut, dan menundukkan kepalanya kembali, meremas dadanya kuat, dan tak terasa air matanya lolos begitu saja.
“Sakiiiittt Mah.” ucapnya lirih.
“ALAANAAAAA BURUAAAANNN, GUE UDAH LAPAAAR GAUSAH LELET YAAA JADI ORANG!” teriak Alena dari bawah masuk sampai ke pendengaran Alana.
Alana yang menyadarinya, langsung mengusap air matanya dan menghembuskan nafasnya pelan. “Alana, you can! Don't down!! Its, okee.” ucapnya, kemudian berjalan keluar dan menutup pintu kamar.
Bukan hal yang mudah bagi Alana melewati ini semua. Kadang, ia sudah berusaha sebaik mungkin apakah ia bisa jadi seorang anak yang seperti diinginkan oleh orang tuanya. Tetapi, hari demi hari bukan semakin baik, tapi sebaliknya. Dulu, papanya Alana adalah orang yang paling percaya dengan Alana. Karena, Alana adalah anak yang paling baik, ceria, rajin dan selalu dinomorsatukan oleh sang papa. Tetapi, itu diselingi dengan kesibukan papanya. Dan sekarang, sulit bagi Alana untuk selalu bersama sang papa, dan mendapatkan kasih sayang papanya lagi. Tetapi, semenjak kakaknya tidak menerima Alana diperlakukan seperti itu, akhirnya ia membuat Alana menderita sekarang.
Dan, ketika Alana menjadi semakin dewasa, dunianya berubah. Karena, ia susah mendapatkan prestasi. Apapun itu, tidak pernah sama sekali. Tetapi, semua itu hanya kebohongan yang dipalsukan oleh kakaknya, yang tidak mau kalah dan harus paling utama sebelum Alana.
Kalau dibilang Alena licik. Berarti, perlu dibenarkan. Ia memang wanita licik yang tidak punya hati. Selalu iri, dan juga syirik. Kepada Alana, khususnya!
Flashback 10 tahun yang lalu,
Alana yang menginjak usia ke 8 tahun, sedangkan sang kakak yang berusia 10 tahun. Tepatnya, ketika kenaikan kelas di SD. Alana yang baru saja naik kelas 2 SD, dan kakaknya yang akan naik kelas 4 SD.
Saat itu, papanya Alana sedang berada di luar kota. Jadi, yang akan mengambil rapor kedua anak adalah sang mama.
Waktu itu, Alana sedang berada di samping kanan mamanya, dan Alena duduk di samping kiri mamanya juga. Saat pembagian rapor di kelas dua, nama Alana berada di posisi rangking pertama di kelasnya. Sedangkan, Alena berada di posisi rangking tiga di kelasnya.
Setelah selesai pembagian rapor, mereka keluar dari ruangan tersebut. Dan ternyata, berpapasan dengan beberapa ibu-ibu di luar ruangan. Ada yang anaknya kelas 3, kelas 2, dan juga kelas 4. Yah, berada di kelas yang sama dengan Alena.
“Ehh, Alena. Dapet peringkat berapa, nak?” tanya sang ibu yang putranya berada di kelas 4.
“Dapet peringkat 3, Bu.” jawab sang mama.
“Ohhh, anak saya peringkat pertama di kelas kamu, Alena.” ucap sang ibu lagi.
Alena yang mendengarkan, hanya mengerutkan dahinya.
“Oh ya, siapa anaknya Bu?” tanya mamanya Alena.
“Namanya Evan, Bu.” jawabnya.
“Ohh, anaknya pinter ya Bu?” ucap mamanya Alena lagi.
“Iya Bu, oh iya ini anak ibu juga?” tanyanya, ketika melihat Alana yang berdiri dan diam di samping sang mama.
“Iya Bu, ini yang kelas dua.” jawabnya.
“Alana ya ?” tanya ibu yang satunya.
“Iya, kok Ibu tau?” tanya mamanya Alena balik.
“Anak saya kan, kelas dua juga Bu.” ucapnya.
“Alana pinter ya, bisa dapat peringkat satu. Eh, Kakaknya malah dapat tiga. Alena, coba liat adek kamu aja bisa, masa kamu ngga!” lanjut ibu itu.
“Iya yah, Alana pinter.” sambung ibunya Evan.
“Heheh, iya Bu. Namanya juga anak-anak jadi kita gatau bisanya dimana. Biasalah, beda-beda gitu.” jawab mamanya Alana dan Alena.
Alena yang mendengar penuturan tersebut menjadi marah. Wajahnya berubah seketika. Sepertinya, ia tau bahwa mereka sama saja menjelek-jelekkan dirinya.
Alena juga menatap Alana, yang selalu senyum-senyum menanggapi penuturan ibu-ibu disitu, membuat Alena menjadi bertambah marahnya.
/0/3024/coverorgin.jpg?v=d0a70ec43900c698b0224e61a30f845d&imageMogr2/format/webp)
/0/17195/coverorgin.jpg?v=20240328170447&imageMogr2/format/webp)
/0/29709/coverorgin.jpg?v=6fcb174a878b4609f3946580a7866757&imageMogr2/format/webp)