Bumi ingin mendapatkan uang secara instans untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menjadi Youtuber konten horor. Suatu hari, Bumi nekat eksplor ke tempat paling angker di hutan desa seorang diri. Namun, Bumi tidak menyangka akan benar-benar bertemu sosok yang paling menakutkan di matanya. Ketika Bumi hampir dibawa sosok itu ke alam gaib, tiba-tiba saja datang seseorang yang membantunya mengusir kuntilanak mengerikan itu. Semenjak hari itu, petualangan-petualangan mengerikan Bumi dan Ki Abimanyu lalui demi untuk mengungkap rahasia dan memburu keberadaan makhluk-makhluk gaib.
Mata sipit pria itu terbelalak. Wajahnya pucat pasi. Dalam keadaan terjebak, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Ponsel yang tadi dipegangnya, kini ikut terjatuh masih dengan layar yang menyala, tergeletak di rerumputan basah di dekat serumpunan bambu betung.
"Per ... pergi! Jangan ganggu aku!" Bumi berbicara dengan suara bergetar. Tangannya mengibas-ngibas ke arah sosok mengerikan yang melayang semakin mendekatinya. Namun bukannya menjauh, sosok dedemit perempuan bergaun putih lusuh itu semakin mendekati Bumi.
"Hi-hi-hi-hi." Kuntilanak berkuku runcing panjang itu tertawa kesenangan di atas ketakutan manusia yang terduduk di depannya.
Tubuh Bumi semakin bergetar menggigil. Sekuat tenaga dia ingin bangkit berdiri lantas berlari. Namun kakinya mendadak seperti lumpuh, tidak bisa digerakkan. Yang terlihat, Bumi dalam keadaan tidak berdaya hanya mampu mendorong tubuhnya ke belakang dengan bantuan kedua tangan untuk menjauhi sosok menakutkan di depannya.
Lokasi keberadaan Bumi saat ini sungguh tidak membantu pria itu dari situasi yang menegangkan. Bagaimana tidak, dia sekarang tengah berada di sebuah tempat di mana tidak ada siapa pun atau kendaraan mana pun yang berlalu lalang. Lebih tepatnya, Bumi berada di hutan pinggir desa yang dikenal angker oleh warga setempat.
Kuntilanak bergaun putih itu makin kesenangan menyerap energi ketakutan yang dipancarkan dari Bumi. Kekuatan makhluk mengerikan itu semakin nyata. Sosoknya pun semakin padat, makin jelas memperlihatkan wajahnya yang hancur dengan belatung-belatung di rongga hidung dan mata.
Kedua tangan makhluk yang terbalut kulit hitam gosong itu telah terjulur ke leher Bumi, bersiap mencekik pria itu yang kini tidak mampu bersuara lagi. Namun tiba-tiba dari arah yang berbeda ....
"Allahu Akbar!"
Dari arah Utara, seorang pria berusia kepala empat tiba-tiba datang dan mengarahkan kedua tangannya ke sosok kuntilanak. Makhluk mengerikan itu terpental jauh hingga membentur pohon beringin yang kokoh berdiri di tengah hutan tersebut, lantas sosoknya memudar dan menguap. Hilang entah ke mana.
Si pria asing yang memakai penutup kepala serupa kain bebat, gegas mendatangi Bumi yang masih menggigil ketakutan.
"Mas tidak apa-apa?"
Bumi menggeleng patah-patah. Meski dia berbohong, si pria tersebut tahu bila Bumi masih dilanda syok dan ketakutan yang hebat.
"Biar aku bantu Mas melenyapkan energi jahat kuntilanak itu dulu, tapi Mas juga harus bantu aku dengan membaca Al-fatihah."
Bumi menurut. Dia memejamkan mata sembari membaca Al-fatihah dalam hati. Sedang pria asing tersebut duduk bersila di belakang Bumi, menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Bumi.
Bumi merasakan aliran dingin menjalar di sekujur tubuh sejak pertama kali punggungnya disentuh telapak tangan pria asing itu.
"Alhamdulillah, sekarang Mas sudah bersih. Bagaimana perasaan Mas sekarang?" Pria yang memakai ikat kepala berdiri, lantas membersihkan bokongnya dari rumput kering yang menempel. Dia ulurkan tangannya untuk membantu Bumi berdiri.
"Sudah mendingan, Kang. Terima kasih."
Si pria asing menatap sekitar. "Maaf kalau boleh tahu, ada urusan apa Mas sendirian di hutan angker ini?"
Bumi teringat sesuatu. Bukannya menjawab, dia menunduk. Matanya mencari-cari keberadaan ponselnya yang tadi jatuh tergeletak. Setelah berhasil menemukan, Bumi ambil benda pintar itu. Untungnya masih menyala dan tidak rusak walau terhempas cukup kuat.
"Aku sedang eksplor di sini, Kang," jawab Bumi malu-malu.
"Untuk apa?"
"Merekam penampakan hantu."
Si pria asing geleng-geleng kepala, rautnya berubah seperti menyayangkan keputusan Bumi . Tanpa banyak bicara, dia melangkah meninggalkan Bumi. Karena tidak ingin ditinggalkan sendirian, Bumi mengikuti langkah pria asing itu.
"Btw, terima kasih, Kang. Seandainya saja tadi Akang tidak menolong aku, entah apa jadinya aku sekarang."
Si pria asing menghentikan langkah. Dia pandangi Bumi serius.
"Lagian ngapain sampean ke hutan ini sendirian, Mas? Kalau tidak punya 'isi dada', mending jangan pernah ke sini lagi. Ingat saja pesanku, ya." Si pria asing kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti. "Hampir saja Mas dibawa kuntilanak tadi ke dunia gaib. Bisa-bisa sampean jadi makhluk bunian, Mas, dan tidak akan bisa kembali ke dunia kita," gerutu pria asing itu.
"Ngomong-ngomong, nama Akang siapa? Mana tahu suatu saat kita bertemu kembali." Bumi kembali menyusul setengah berlari.
"Ki Abimanyu. Panggil saja aku Ki Abimanyu."
"Aku Bumi, Ki. Boleh kah aku minta nomor ponsel Ki Abimanyu?" Bumi masih berlari-larian mengiringi langkah Ki Abimanyu yang bergegas dan panjang-panjang.
~AA~
Tiga hari sebelumnya ....
Jarum jam yang menempel di dinding kamar sudah menunjuk ke pukul 06.30. Kesibukan dan riuhnya pagi mulai terdengar dari sekitaran rumah. Namun yang paling berisik bagi Bumi ialah bunyi kelontang dan hempasan daun pintu yang sengaja dibanting oleh istrinya.
"Sudah tahu uang pegangan tinggal sedikit. Ini malah bermalas-malasan. Bangun selalu siang. Gimana rezeki tidak dipatok ayam coba?" omel Lastri. Perempuan kelahiran di tahun yang sama dengan suaminya itu memanyunkan bibir.
Ya ... siapa yang tidak sebal. Sudah hampir dua bulan Bumi tidak bekerja, sedangkan uang tabungan mereka sudah mulai menipis.
Sebagai kuli buruh bangunan, tentu penghasilan Bumi tidak lah tetap. Pekerjaannya kadang ada, kadang tidak. Jika tidak, berarti Bumi bakal seharian di rumah sembari menunggu permintaan orang-orang yang ingin memakai jasanya.
Di masa pandemi seperti saat ini, apalagi begitu banyak orang yang di-PHK dari pekerjaan mereka, membuat orang-orang tidak begitu mempedulikan renovasi rumah. Bagi sebagian orang saat ini ialah yang penting dapur bisa mengepul dulu. Belum lagi harga-harga sembako dan barang-barang lain ikut-ikutan naik. Merenovasi rumah atau membuat rumah, mungkin termasuk daftar terakhir dari perencanaan keuangan bagi kepala keluarga dengan keuangan menengah ke bawah.
Oleh sebab istrinya sudah ngomel sepagian, mau tidak mau Bumi bangun dari tempat tidur. Pria berambut lurus itu melangkah ke luar kamar dengan keadaan mata yang masih mengantuk.
"Sarapan apa kali ini, Dek?" Tanpa ambil pusing, Bumi duduk di kursi makan.
"Sarapan Mas bilang?" Suara Lastri meninggi. Dia ambil tempat beras yang kosong, lantas dibukanya di depan Bumi. "Mau masak saja beras sudah habis, Mas. Mas masih mikirin sarapan pakai apa?"
Bumi garuk-garuk kepala. "Kalau habis, ya ... tinggal beli, Dek."
"Pakai uang tabungan Aidan lagi? Bisa-bisa habis tabungan anak kita kalau uangnya diambil terus, Mas!" Lastri berbicara seraya meletakkan kembali tempat beras yang terbuat dari anyaman bambu tadi dengan cara dibanting keras.
"Pinjam dulu, Dek. Kan nanti diganti." Bumi mencoba merayu.
"Sudah berapa kali uang itu dipinjam tapi tidak pernah Mas ganti-ganti. Makanya kerja sana, Mas. Cari info jangan tidur terus sepanjang hari. Bosan aku lihat Mas berkemul sarung dari pagi sampai senja. Apa Mas tidak capek, tidur terus-terusan? Aku yang melihatnya saja bosan, Mas. Enek!"
Melihat situasi sudah tidak memungkinkan bagi Bumi untuk duduk diam di rumah saja, akhirnya pria itu putuskan pergi ke luar rumah dalam keadaan perut kosong minta diisi. Bahkan mandi saja belum. Namun lebih baik, Bumi menyelamatkan telinga dulu dari segala perkataan pedas istrinya itu.
Buku lain oleh Anna Asa'ari
Selebihnya