Dalam Tasbih Cintamu
nya kepada orangnya aja, sih!" ge
n meski mereka satu tim dalam ranah ekonomi, lah aku baru kenal sama Sagara udah syok nyampuri urusannya aja," jawabku malas. Aku
akai acara ngangkatin keranjang sampah lo lagi!" Vika kian g
kan aku juga belum pernah ikut bersih-bersih. Mana puasa lagi
ilang kalau mungkin Sag
sa jadi besar. Dan agar hatiku nggak sakit-sakit amat, aku milih yang
ini emang nggak
a gue nggak mau berh
merebahkan diri di sampingku. Kali ini sepertinya dia akan menginap, mengingat j
ma Mas Mustafidz. Masa
Gue sumpek
di sana. Dan untuk pertama kalinya, aku serasa mau pingsan. Benar-benar panas berada di pantai. Sudah panas, anginnya kencang
ai, dia lagi-lagi salat dahulu. Dia sendiri. Wajar saja. Jarang sekali ada orang yang mau salat dahul
k rasanya lama-lama. Siapa tahu yang lain menunggu kami untuk makan bersama. Tapi Sagara tak kunjung selesai. Setelah berdoa, Sagara bersujud. Ia lama sekali membenamkan dahin
*
sakral. Kukira cukup dua kata itu yang mewakilinya. Tapi jangan sangka ini adalah pondok si dia
penuh sih, tapi aku mengambil minggu pertama. Hari pertama yang libur resmi dari perusahaan dan sisanya aku ambil dari
an santriwati ada yang datang karena kemauan sendiri, ada juga yang diutus oleh pesantren mereka masing-masing. Setelah aku bertanya-t
wih ada empat tingkatan. Masing-masing tingkatan berdurasi satu jam. Jadi bisa dibayangkan kalau tarawih sampai jam sembilan, berarti kegiatan bisa sampai jam satu
ti yang kuat berlama-lama duduk. Aku sampai kesemutan dan hampir jatuh saat berdiri. Untung saja aku duduk di sa
an, minum air putih yang
bukan hanya seorang santriwati biasa, tapi juga ning – anak kiai yang kelak menuruni tahta ayahnya sebagai pengampu pesantren. Horor tidak tuh! Ilmunya
ing kok kesemutan kalau jar
guk lalu men
h bisa
h. Oh ya, habis ini
salah Gus Mustafidz,
rnah denge
u orang yang sering men
mm
u lagi. Walaupun kitab yang dikaji itu kitab kuning dengan arab gundul, aku teta
membawa satu botol minum agar tidak mengantuk sampai ini usai. Toh, durasinya cuma
ahnya begitu saja. Ruangan ini berbentuk persegi panjang dengan tembok di sisi kanan dan kiri, seh
n kitab Fathul Qorib adalah orang yang sama dengan orang yang sering aku dengarkan dakwahnya. Buru-buru aku menutup wajahku dengan k
nunduk. Masih jelas terngiang di otakku tentang pertemuan perta
u?" Kaluna agaknya memerhatikan ting
enunduk, berdoa dengan khusyuk agar Gu
ng datang dari sumbernya, air hujan, dan air embun. Nah ketujuh air itu dapat k
menebar pandangannya ke semua orang. Ia begitu fasih menjelaskan setiap uraian yang ada, pelan serta begitu rinci. Dan
anku bertemu dalam satu garis. Aku pun langsung men
ketika sakit adalah sholat. Ketika sakit bahkan puasa bisa digantikan dengan fidyah, tapi sholat tidak. Orang yang sakit tetap berkewajiban sholat. Jika dia tidak kuat berdiri, maka duduk.
a bersyukur dia tidak mengungkitku di depan umum, walau dengan jel
mengajakku, tapi jujur sampai di pengajian fikih ini saja aku sudah hebat karena menahan kantuk sampai selesai.
au makan lebih biasanya aku buang, kalau di sini, satu nasi bungkus pun yang notabene untuk satu orang, bisa dimakan berlima. Lebih dari itu. Sesuatu yang kita anggap privasi
nnya yang aku temui adalah kesantunan luar biasa yang terjadi. Aku masih ingat dulu pas di sekolah, guru masih di dalam dan belum keluar saja aku
matang. Saat itu aku dengan jelas melihat santri putra tengah bermain sepak bola. Mereka begitu gaduh dan seru bermain di halaman pesantren. Tapi ketika mobil romo kiai lewat, semuanya hening. Permainan otomatis berhenti be