Gigolo is My Father
Tok..
lek
dari keduanya terlihat muram dan bahkan wajah putranya terlihat lebam, tatapan mata mereka pun layaknya orang yang baru saja selesai menangis.
tanya pada Max lalu ia pun menatap perempuan itu seraya mengangguk sopan
pertanyaan dari Ibunya, ia ha
tegar dan tidak menjatuhkan air mata namun ternyata pertahanannya akhirnya runtu
pundak perempuan. "Baiklah lebih baik kita masuk," usul Bu Tami sedikit
sama-sama duduk di sofa sementara Bu Tami berusaha untuk menenangkan Laura karena tangisan
nmu menangis seperti ini? Apa kau melakukan
embuka suara. "Laura bukan temanku, but Laura
seperti ini? Sejak kapan kalian berhubungan, kenapa
Max berusaha sesantai mungkin, tapi saat ia kembali melihat Laura yang menangis sesegukan tentu saja me
enangis seperti ini?"
ah khawatir dan mulai curiga karena sikap mereka yang aneh dan tak wajar. Sekelebat pikiran overthinking menyelimuti Bu Tami, na
, agaknya Max kesulitan untuk mengatakan sesuatu hingga
e say something!" desak B
gatakannya. Tapi ia harus jujur pada Ibunya meskipun ia sad
x yang melakukannya
angat tak menyangka dengan apa yang di lakukan putranya. Sebisa mungkin Bu Tami bekerja paruh waktu untuk membiayai sekolah Max, tapi seketika saja harapan yang ia bangun harus runtuh begitu cepat. Bayang-bayang ketika ia memikirkan Max di masa depan sangatlah
ilangan kata-kata dan ia hanya bisa menangi
an masa depan dari dua wanita yang sangat ia sayangi. Max mengerti betul bagaimana angan
takut melukai hati Ibu. Tapi pada akhirnya aku malah melukai keduanya. Aku sungguh menyesal," Max berucap tepat di telinga sang Ib
buat menangis. Tapi kau menyakiti hati kedua orang tuanya juga Max
ami dari awal." jawab Max lirih
dali dan langsung mendorong tubuh Max dengan k
ang seraya bangkit dari sofa lalu
perlakuan Bu Tami pada Max, namun sunggu
tapi kenapa semuanya malah menjadi seperti ini?! Dan mungkin itu artinya Ibu telah gagal mendidik mu, Max!" Bu Tam
ersimpuh di kaki Ibunya. Max me
abis pikir dengan apa yang terjadi, ia selalu b
begitu bodoh, hidupku terlalu berat, masalalu ku selalu membuatku menderita hingga berimbas pada pola pikirku. Aku tah
rma. Tapi ketahuilah aku tak pernah menyesal dengan apa yang telah terjadi, cinta benar-benar membuatku kehilangan akal sehat. Tapi apa mau di kata, semuanya sudah terjadi. Orang tuaku sama sekali tak
i bahwa rintangan itu masih panjang, banyak hal yang harus mereka lalui. Pemikiran mereka memang dangkal, tapi percayalah Bu Tami juga manusia biasa. Bagaimana pun mereka telah mengakui kes