Istri Pertama Suamiku
da di tasku? Sungguh, pikiranku kalut dan tak tahu harus berbuat apa selain menangis. G
Bu Tyas. Aku menggeleng t
ena tak percaya. Sial, cobaan apa lagi ini? Naluriku mengatakan bahwa sia-sia saja me
gani orang tua, bagaimana perasaan Mama jika melihat hal ini? Aku tak bisa membuatnya
tawakanku. Aku tahu ini hal yang memalukan tapi tolong, bukan aku yang melakukan!
itukah kamu padaku, hah?" kataku setengah membentak, setelah sebelumnya memb
tang main grebek!" Ia berd
Kamu pikir aku nggak bisa melawan?" kataku mengepal gera
na buktinya kalau gue masukin bungkus rokok di tas lu?" Aku terg
lagi. Ia terkejut karena suaraku lumayan besar. Tentu saja seisi kelas mendengar
ontakku. "Saki
ahnya buat gue apaan? Buka mata lu! Selama mereka bully lu, gue cum
cuma diam?" kataku berusaha melepaskan cengkramannya. Sial, ia malah semakin menyingkir
uanya gue gak suka! Tapi camkan satu hal, gue gak pernah ngelakuin hal sere
u masih terasa, di sini, di bahu ini. Ara, jangan sampai
*
yang aku yakini, dia tidak tertarik padaku sedikit pun. Ya, siapa aku berani menaruh harapan padanya? Meski hanya setitik debu, itu m
han itu, dan semua tertawaan yang aku alami. Jantungku berdetak tak keruan dan
apkan salam. Alin sudah dijemput Mama pukul sepul
bercerita apa yang kualami, meski sebagian cerita kututupi. Ya, ada beberapa hal
ta tegar itu s
u menyimpan tas dan mengganti baju. Surat itu,
perpustakaan dan mencari referensi. Guru jarang masuk, mau tidak mau murid yang harus akti
rab, aku berusaha ramah dengan bibi. Dulu, ada sedikit kesalahpahaman mengenai harta warisan dan me
rama dalam keluarga
tok
lin dari luar, aku bangkit dan
antu Alin?" katanya membulatkan mata. Sebenarnya aku agak sibuk tapi kasihan adikku i
tanyaku. Ia mengetuk-nge
a Frozen!" jawabnya bersemangat. Aku bergeming
ang lain gitu? Yang lebih mudah
, Kak. Ali
ti jelek." Ia mengeluarkan sesuatu, sebu
ota pensiln
ggi." Ia begitu bahagia karena hadiah seperti itu sudah membanggakan untuknya. Aku mem
*
0 ma
! Elsa Frozen untuk adikku. Dia sudah tertidur karena lelah bermain
a datar. Aku berbal
utnya acak-acakan. Aku bahk
rgeming. Dingin, aneh, dan ter
u, matanya menatapku kosong dan tajam. Tubuhku kaku dan t
rika pakaian panik melihatku ketakutan. Setelah kujelaskan semua, wajah Mama da
ku buram. Kalau sudah begini, tak bisa melanjutkan catatan. Lagipula aku lupa mem
ar, su
apa yang harus kujawab jika aku tidak bersekolah? Haruskah
t tentang suatu buku. Ah, Daun yang Tak Pernah Membenci Angin. Meski sudah kubaca berulang kali, sulit memaha
lakukan itu
an. Kalau kau menjadi aku, pasti turut merasakan yang kualami. Aku bisa bertahan se
apakah ka
Ria dan ketiga temannya. Di situlah puncak depresiku. Sekolah, bertemu mereka yang menyakiti hati dan fisik. Di rumah, penuh bentak
rti meminum racun tikus? Haha, kalau pun aku mati, harus dengan cara y
um adzan subuh. Ada sebuah gedung di Samarinda yang tak terpakai lagi. Tidak terlalu tinggi memang, hanya lima lanta
seperti immortal di drama Wuxia yang aku tonton, aku malah ingin mati. Bukan tanpa alasan, setiap de
menangisi kepergianku, mereka justru senang karena anak buangan itu sudah meninggal. Paling hanya mam
buku pertama dan terakhir dari seorang Aradelia. Buku kisah hidup sekaligus surat takdir terakhir. Deng
ih selama tiga tahun. Tanpa tertawa dan cand
*