My Lovely, Ajeng
ini ia menjadi seorang istri. Ia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Ia tak akan sanggup bertahan jika tak berbuat apa-apa. Setelah meyakinkan diri jika yang dilakukan ini a
a bergetar. Dilirik wanita yang berdiri canggung dengan tatapan kaget di sisi kiri suaminya. "Ti
tuh makanya aku membantunya." Suami Dhiajeng ber
mu akan bercumbu dengan wanita jalang ini." Ia tak lagi menyembunyikan kemarahannya. Sudah tidak sa
aris suaminya yang bernama Hafizha itu mohon
knya yang selalu bahagia. "Mas, kamu harus memilih sekarang. Kamu pilih dia atau aku?" Mata
kan punggungnya pada sandaran kursi. "Hafizha se
h cinta yang berusaha ia bangun dari nol. Ia dicampakan begitu saja. Dhiajeng mundur perlahan. Ia
g wanita kedua meman
pergi." Aldo
terusir dan rasanya
*
a perkenalan mereka yang singkat tak sekali pun Ersya melihat gurat ekspresi lain selain kebahagiaan di wajah wanita bernama Dhiajeng itu. Matanya yang indah selalu berbinar dan penuh cinta. I
ang keras untuk didengar. "Ajeng!" Kali ini Ersya berteriak hingga ternggorokannya nyeri. Masih saja
sya hingga terlepas. Namun, ia tak serta merta melanjutkan langkah kak
sa menjelaskan betapa ia ikut t
ama." Dhiajeng mengungkapkan perasaannya. Ia menun
di sini. Tetapi, posisinya benar-benar sama sekali tak menguntungkan. Ersya tetap saja hanya
arus kulakukan?" tanya Dhiajeng denga
lum itu kamu harus berhenti menangis.
las semua rasa sakit yang didapat. "Aku ingin menghancurkan mereka." Dhiajeng men
ia, akan kulakukan, batin Ersya yakin. Ia akan mem
*
bil menatap anak tangga yang menghu
a makan. Satu kecupan melayang di kenig Dhiajeng sebelum pria itu mendudukan diri di kursi dan menikmati pelayan
sisi kanan. Menikmati dengan tenang teh yang ia siapkan untuk dirinya sendiri. "Semuanya lancar saja d
penawaran kontrak yang bagus minggu depan dari perusahaan asing." Aldo mengingat-ingat informasi yang
dang itu, ia tahu betapa penting tugas seorang sekretaris. Setelah selesai dengan kuliahnya, Dhiajeng langsun
membuatku rileks saat berada di rumah." Aldo berdiri, jam menunjukan pukul 7.00.
umah dan sekali lagi menerima kecupan di kening. Sampai mobil san
*
tukan gaun yang cantik untuk dipakai bersama. "Masih b
pada Dhiajeng yang hanya tersenyum kecil menyaksikan ekspresi lucu sang calon pengantin. "Bilangin nih sama t
in kedua temannya menemani saat ijab kabul dan juga resepsi dengan gaun yang senada dengannya. Selama beberapa saat Dhiajeng membalik majalah, matany terpesona pada gaun cantik b
rapa detik mereka menilai. Detik kemudian hampir bersamaan me
l dewi." Teman Septina dan Dhiajeng yang
hafizha terpekik dan banyak mata melihat mereka. "Ngomong sembarangan, kamu tuh ya
jelas hubungan percintaannya. Kadang-kadang Dhiajeng mendengar selentingan kabar jika sahabatnya itu telah memiliki pacar. Lalu beberapa waktu kemudian k
apa? Mungkin ada kenalan suaminya Dhiajeng dan calon suamiku nanti yang sesuai. Kan, kami jadi bisa nyomblangin kamu." Septina tidak mau kal
enyukai kebebasan yang sedang dijalani kini. Fokus pada karir, begitu orang tuanya berkata. Karir yang harus ia tunda se
a gadis yang menggatakan tak ingin menikahi pria yang dicintai. Septina beruntung, Dhiajeng harus
ha terkekeh disusul teman-temannya. "Pokoknya kayak-kayak suamimu itulah Dhiajeng
an minuman cappuccino di televisi. "Eh, tunggu-tunggu ... jangan-jangan
eran? Kalau buat kamu ambil, deh, ambil
iajeng marah nggak mau temenan lagi sama aku," tolak Hafi
awa bersama
han. Mengambil sepotong kentang goreng dan mencocol dahul
n baru, Zha?" Septina berta
m. Sekarang perusahaan banyak menerima fresh
giyakan. "Coba nanti aku tanya Mas Aldo, mudah-mudahan lowongan sekretarisnya masih kosong," tawa
rpancar di mata Hafizha. Senyu
danya. "Kalau sampai kamu gaet ...." Dhiajeng membuat gerakan seperti o