“Apaaa? Yang benar saja? apa kau sudah gila? Pria itu bahkan tidak ada manis-manisnya! Malah suruh aku buat dia jatuh cinta sama aku!” ucap Quin dengan kesal.

“Tapi dia cukup tampan kok. Kamu beruntung bisa menikahinya.”

“Beruntung apanya? Jangan terlalu bermimpi. Nikah tanpa cinta? Ch, ini sudah gila!”

“Jangan seperti itu. Nanti seiring berjalannya waktu. Kalian berdua akan saling mengerti dan saling mencintai. Memang awalnya begitu sulit. Tapi kamu tidak perlu cemas. Karena biar bagaimana juga kamu harus yakin, jika semuanya akan baik-baik saja.”

Riska terus berusaha menenangkan sahabatnya yang terlihat tidak baik-baik saja. Mengambil sebuah keputusan memang sangat sulit. Apa lagi ini soal pernikahan yang tidak biasa.

Quin mendekap erat sahabatnya. Ia merasa sedikit lebih nyaman.

“Aku takut. Jujur saja, aku memang ingin menikah. Tapi dengan orang yang mencintai aku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Bagaiman kehidupan aku setelah ini. Apa aku lebih baik pergi saja ya?”