“Saa—” Riki menghembuskan napasnya panjang. Ia mencoba mengejar Quin dengan langkah kaki besarnya.

Quin bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Di sisi lain, ia sangat membenci Riki. Tapi saat ini ia jadi bimbang karena ternyata Arion adalah anak dari bosnya di tempat kerjanya saat ini.

Quin duduk di bangku kerjanya. Mengacak rambutnya dengan frustasi. Berharap jika ia bisa lari dari semua ini.

“Eh, kenapa kamu?” tanya Riska yang merupakan sahabat Quin di kantor ini.

Quin mengangkat wajahnya yang sudah acak-acakkan. Ia menatap Riska dengan wajah frustasinya.

“Sakit kepala. Mau mati rasanya,” ucap Quin yang sudah pasrah dengan keadaan.

Riska mengernyit. “Kenapa memangnya? Kalau bicara jangan asal seperti itu! Nggak bagus tahu! Kadang ucapan itu bisa menjadi doa lho.” ucap Riska sambil mengusap bahu sahabatnya itu, mencoba memberikan kekuatan untuk Quin yang terkenal keras kepala dan cerewet.

“Nggak tahu deh. Sakit kepala banget ini. Ada obat nggak?”