Memori Seorang Santri
at me
bisa sekolahnya d
seperti itu, membujuk ayahku yang keras kepala agar
ibuku tidak dapat mengubah keputusan ayahku.
buskan asap ke udara. Tidak... tidak... aku tidak merokok. Hanya meniup serbuk dar
k dengan gaya sok kejagoan, sementara baju sekolah berwarna putih yang kukenak
untuk menyekolahkannya." Ayahku berucap m
ang sedikit daun-daunnya lalu menggigit sedikit batangnya. Menggoyang-goyangkan dengan
knya beberapa bulan menjelang kenaikan kelas. Sebentar lagi
duk dikelas 5 sd dan ayahku ingin memasukkanku ke sebuah pesantren yang kal
p memasukkanku ke sana, alasan kedua ayahku sangat bersem
nya, semua kakak-kakakku sekolah di pesantren. Tetapi bukan itu inti da
h kandungku sendiri, mengikuti kakak-kakakku. Wajar karena aku terlahir bungsu dan makhluk palin
seluruhnya, tempat tinggal dan biaya makan. Kita yang se
at dengan jenggot sepanjang jari telunjuk itu sudah mulai mar
minuman rasa-rasa seharga 500 rupiah ke udar
apapun, aku mencintai ayahku di dalam sudut hatiku. Menghormati setiap keputusannya atas di
engatakan aku mencintai ayahku di hadapan kakak
las, semua itu sama saja! Disana
ari pada menyibukkan diri membujukku sebaiknya siapk
Tok
keputusan ini tidak bi
dengan sendu. Tidak, aku tidak melihat ib
kedua orangtuaku berada di ruang tamu dengan keadaan pintu yang terbuka lebar. Men
yang memanas. Aku sudah hapal gerak-gerik ibuku, bahkan aku tau sebentar lagi ia ak
ti baju. Setelah itu m
ruh masuk. Dengan malas-malasan aku bangkit d
eja kayu biasa yang digunakan untuk tempat sayur-mayur. Ayahku tidak sang
lama aku berdiri meneliti lauk-pauk yang terhidang, hingga kuputuskan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi. Mencuci tangan han
u pesantren dan tempat apa itu. Meski semua kakak-kakakku berada di pesantren aku tetap tidak tahu itu tempat a
, mana tau di pesa
inap. Tempat anak-anak nakal sepertiku menetap dengan jangka waktu ya
Menganggap 5 buah buku tulis cukup untuk kehidupanku disana. Hanya terfokus pada bekal makananku di sana,
a? Ganti bajunya dulu lalu makan,
pilkan wajah tengil khas
gannya kotor habis mengang sepatu, di sekolah pun tadi main g
akan memanjang
ci itu tan
uh suara ibuku terasa dekat. Ber
jawab denga
n. Nggak bisa juga, kayak mana nanti kalau di pesantren banyak
ke pesantren. Sebagai seorang anak yang baik, apa lagi yang bisa kulakukan selain menurut perkataan orangtuaku. Pada akhirnya, se
ambu