JANJI YANG TERKHIANATI
ncin tunangannya, berpikir tentang semua yang telah direncanakan. Setiap detail seolah telah disusun dengan sempurna-tempat, catering, gaun,
u di bawah sinar bulan, di mana mereka berbicara tentang ketakutan Ardi dan keraguannya, Nadia merasa ada sesuatu yang tak terucapkan antara mereka. Ardi lebih banyak mengha
Aku pulang agak malam, ya. Ada pekerjaan yang
ski ia berusaha untuk tetap tenang. "Ardi, kitar belakang. "Aku juga rindu, Nadia. Tapi ada banyak y
ubungi hatinya. "Aku hanya ingin kita bisa bersama, sebelum
banget," jawab Ardi terburu-buru, lalu
ambarkan betapa jauh jarak yang mulai tumbuh di antara mereka. Ia tahu Ardi bukan tipe or
ngan, tamu, dan detil pernikahan lainnya. Tidak ada lagi percakapan intim yang mereka miliki, tidak ada tanya jawab tentang perasaan at
gkan waktu bersama, meskipun hanya beberapa menit. Ia melangkah dengan hati penuh harapan, namun sa
lewati bersama. Setiap sudut kota seakan mengingatkannya pada kenangan
tiap piring, setiap sendok garpu, seakan menjadi simbol dari ketidakpastian yang ia rasakan. Waktu terus berja
a langsung menuju ke ruang kerja tanpa menyapa. Nadia menatapnya dengan tatapan kosong, merasakan
il, mencoba menahan s
anpa ekspresi. "Nadia, aku sedang ada uru
Kapan, Ardi? Kapan kamu akan kembali padaku? Aku
k. Ada banyak yang harus diselesaikan." Ia mengangkat tasnya dan berjal
dalam kebingungannya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ia masih cukup berarti bagi
mpur menjadi satu, dan Nadia merasa semakin tenggelam dalam penantian yang tak kunjung berakhir. Ia berusah
semakin nyata. Apakah mereka benar-benar akan menikah, a
a Nadia yang menunggu dan pekerjaan yang semakin memakan waktunya. Sejak beberapa minggu terakhir, Ardi mulai merasa cemas, bukan hanya ten
a, namun perasaan itu tidak lagi sekencang dulu. Semakin lama, perasaan it
pi, di dalam hatinya, ia tahu bahwa setiap detik yang berlalu tanpa Ardi di
di kamar mandi, memeriksa dirinya seolah mencari jawaban yang mungkin tersembunyi di balik riasan wajahnya. Terkadang, ketika i
asa, tidak ada senyum ringan dari Ardi yang biasanya menyapa pagi mereka. Ia hanya menyisakan secarik kertas di atas
rlalu memikirkan Ardi hari itu. Mungkin, memang, ia terlalu sensitif. Ardi memang sib
n masuk di ponselnya membuat jantungnya berdebar. Tapi, tidak ada satupun dari Ardi. Ia menatap
ersama. Ia merasa sedikit tenang dengan aktivitas itu, meski hatinya masih terus berdebar, menung
ma bunga untuk pernikahanmu?" ta
wab Nadia, mencoba tersenyum. "Mungk
s berbicara apa tentang pernikahan mereka. Ardi semakin menjauh, dan Nadia merasa dirinya terje
dipajang di rumah. Setibanya di rumah, ia meletakkan bunga-bunga itu di meja makan, berharap b
langsung bangkit dari tempat duduknya. "Ar
. "Hei, Nadia. Maaf kalau aku terlambat,"
" tanya Nadia, menatapnya dengan penu
erlalu mempermasalahkan. "Ada banyak yang harus a
ita sudah berencana ini semua bersama. Tapi kenapa aku merasa kita semakin
hadapinya. "Nadia, aku..." Ardi mulai berbicara pelan, namun kata-katanya seperti tertahan. "Aku tida
merasa tertekan dengan semua ini? Dengan kita? Dengan pernikahann begitu, Nadia. Aku... aku mencintaimu, tapi ada bagian dari diriku yang meras
berikan semua yang aku punya untuk kita. Aku menunggu dan berharap kamu akan ada di
ikirannya. "Aku tidak ingin membuatmu merasa sepert
emakin kecewa, suaranya semakin keras. "Aku sudah menunggu, aku sudah memberikan segalanya
Ardi. Kalau memang kamu sudah merasa seperti ini, lebih baik kita akui
s menjawab. Nadia menarik napas dalam-dalam, me
Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tapi aku takut,
rdi. Waktu untuk berpikir, bukan hanya kamu, tapi aku juga. Aku tida
ar, meninggalkan Ardi yang masih berdiri di ruang
ambu