KAU SATU UNTUK SELAMANYA
rja lembur, sering kali pulang larut malam, dan bahkan saat berada di rumah, ia lebih memilih untuk duduk di depan komputer atau menatap layar ponselnya, sibuk dengan e
ercakapan panjang tentang hari-hari mereka, tidak ada lagi momen kebersamaan yang dulu mereka nikmati. Setiap kali Sita mencoba membuka percakapan, Raka selalu menj
ekerjaan Raka semakin menumpuk, dan Sita sudah terbiasa dengan keheningan yang datang dengan rutin
aku ingin bic
nya, tetapi kemudian kembali
waktu, Sita. Aku harus menan
di dadanya. Ia mencoba menahan diri, tetapi
ma, Raka? Setiap kali aku mengajakmu bicara, kamu selalu sibuk denga
presi wajahnya datar, tidak ada tan
berusaha keras untuk masa depan kita. Kamu ta
in di sepanjang jalan, Raka? Apa gunanya uang, karier, atau masa de
menatap Sita dengan wa
asa aku harus fokus pada pekerjaan ini. Aku merasa terteka
tahu lagi bagaimana menghadapinya. Dalam kebisuan yang panjang itu, Sita merasa seperti b
uah bayangan baginya sekarang? Apakah a
ng tamu. Sita duduk di sofa dengan sebuah buku di tangan, tetapi pikirannya melayang
rlalu membuatnya semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dalam hubungan mereka. Ketegangan itu sem
ut dari sebelumnya. Sita sudah menunggu di ruang tamu, duduk di sofa dengan secangkir teh di
u kelelahan, tapi hatinya tidak bisa mena
rus bicara. Aku mera
jang, lalu mengerang pe
u tidak punya energi lagi untuk
tan dalam suara Raka, tidak ada lagi perhatian dalam tatapannya. Ia merasa seperti
i meragukan apakah kita bis
saha, Raka. Tapi aku rasa aku sudah
dur mereka. Sita menatap punggungnya, merasa semakin kecil. Ai
u, kita selalu bisa mengatasi apapun bersama. Tapi kini.
an sepi. Tidak ada lagi pelukan hangat dari Raka, tidak ada lagi percakapan ri
rasa sunyi dan berat. Ia tahu, sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan mer
limut tebal, terlihat lelah seperti biasa. Sita menatap wajah suaminya yang tampak tenang, tetapi hatinya terasa hancur. Ia ingin membangunkan Raka, berbicara, menca
untuk tidak melanjutkan percakapan yang terbengkalai malam kemarin. Sita tahu, ada kalanya kata-kata tak lagi mampu me
ak kusut, namun matanya terbelalak lelah. Ia berjalan
Apa ada
annya, lalu duduk di seberang meja, mencoba berbica
kamu sedang sibuk dan aku mengerti itu, tapi... ak
esi di wajahnya tidak banyak berubah. Ia mena
ntuk pekerjaan ini. Kamu tahu betul ini bukan so
Kamu tidak melihatnya? Aku merasakannya setiap hari. Semua yang kamu
kopinya, menatap Sita
rja keras untuk kita, bukan? Untuk memberi yang terbai
tuhkan. Apa gunanya semua yang kamu berikan jika kita hidup bersama hanya dalam tubuh yang t
perasaan yang menumpuk. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun ia b
i dulu, Raka. Aku ingin kita saling mendukung, saling berb
, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. Namun, kata-kata
ngat panjang, Raka akhirnya berkata d
seperti dulu, Sita. Tapi aku
Tetapi di balik pengakuan itu, ia merasakan kebingungannya yang mendalam. Raka t
"Kita bisa cari cara, Raka. Aku tidak akan p
. Ada secercah kebingungan di matanya, seolah ia berjuang untuk mencari
enar ingin itu. Tapi aku takut... aku takut jika kita mencob
dari suaminya begitu menyentuh hatinya, namun di saat yang sama, ia juga merasa sema
ita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Kita sudah pernah
ertimbangkan kata-katanya. Akhirnya, ia mengangguk
untuk kita. Tapi aku tidak bisa janjikan semuanya akan ke
ipun rasa khawatir masih t
. Kita berdua berusaha bersa
asih ada, meskipun sudah ada pengakuan dari Raka untuk berusaha. Sita tahu, perjalanan ini belum berakhir-justru ini adalah awal dari perjuan
alan untuk kembali menemukan satu sama lain, meskipun itu me
ambu