Bertemu Kamu Saat Sudah Terikat
bil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Se
u nganter kamu, Ran? Takutny
a-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah t
nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kam
a terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahk
erhati-hati, "Tapi kamu baik-baik
as di pangkuannya. "Baik? Aku nggak
lum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau bu
. "Terima kasih, Ren. Kadang aku merasa lebih di
etika mobil berhenti di dekat rumah R
. Terima kasih udah ng
lum berbicara, "Jaga diri, Ran.
angkah menuju rumahnya dengan perasaan campur aduk, sementara
a memutarnya, dan suasana rumah yang sepi langsung menyergapnya. Mbok, pembantu yang suda
ng? Kemarin dari mana
kat. "Iya, Mbok. Kemarin ada urusan dadakan." Suaranya terd
uan Yoga belum pulang, Neng. Semalam pun tidak pul
inya. Dia terdiam sejenak, mencoba menahan perasaan yang mulai beggak ada dari semalam. Mbok kira
senyum kecil, berusaha menyembunyikan perasaan sakit yang ki
enghibur, "Neng nggak apa-apa? Mbok li
emas kedua tangannya di pangkuannya. "N
apa hari ini mengenal Rania, bis
au ada apa-apa cerita aja sama Mbok. M
nggak pernah peduli, Mbok. Bahkan nggak tahu apa yang terjadi sama aku. Dia... dia lebih
kepedihan. Mbok menatap Rania dengan penuh iba, tidak menyangka bahwa kehidupabok yakin Tuan Yoga sebenarnya sayang sama Nen
atuh. "Aku nggak tahu, Mbok. Yang aku tahu, aku merasa
un tidak tahu harus berkata apa lagi. "Neng jangan nyerah ya. Kalau a
meskipun dalam hatinya ada
harapan akan sebuah obrolan ringan atau setidaknya sapaan hangat, mendengar derit pintu kamar yang terbuka.
ah bagian dari rutinitas yang membosankan. Rania, yang sedang duduk di depan meja rias, memperhatikan suaminya dari pantulan cermin. Dalam hati, ia berharap Yoga aka
r menanyakan kabar. Setelah melepas jaket, ia melemparkannya begitu saja ke kursi, kemudian berjalan lurus menuju tempat tidur, tidak memandang
nya, melihat refleksi dirinya yang terlihat semakin redup. Di dalam hatinya, perasaan sepi dan terabaikan semaki
eberanian untuk memulai pembicaraan. Namun, lidahnya terasa kelu, dan ke
a hanyalah bayangan tak penting di kamar itu. Rania menelan kepahitan yang semakin mengental di dadanya,
empat tidur, Rania berdiri perlahan dari kursi meja rias, mematikan lampu kecil di meja
," jerit Rania dalam hati, menc
r dengan pikiran masing-masi