SEPOTONG COKLAT UNTUK KAMU
uk menemui Mila lagi di taman belakang sekolah, di tempat yang tidak terlalu ramai. Namun, begitu ia berd
seru Beni dengan nada menggoda, membuat pe
ian, apalagi soal ini. "Eh, nggak... cuma buat camilan aja," jawa
aran dan memancing tawa teman-temannya yang lain. "Camilan, ka
seketika Fajar merasa malu. Ardi, yang biasanya mendukungnya, saat itu mal
ini romantis juga, ya," goda sal
t itu untuk Mila, tapi di sisi lain, ia merasa malu karena semua temannya sudah
snya, berusaha terlihat santai. "Iya, iya, buat camilan aja kok. Ngapain repot-repot buat
tawa semakin keras, merasa puas sudah menggodanya. "Awas aja nanti, Fajar! J
Ia berjalan keluar kelas dengan perasaan campur aduk, menuju taman kecil di belakang
Mila sekarang? Apa nggak sebaiknya aku tunggu
iba-tiba Ardi muncul di sampingnya. "Eh, Faj. Maaf, ya, tadi aku malah ik
a aku jadi ragu lagi mau kasih cokelat ini ke Mila. Aku nggak mau dia ju
g suka sama Mila, kasih aja. Lupakan yang lain. Kadang, nggak semua orang paham per
enar menyukai Mila, dan cokelat itu hanyalah cara kecil untuk menunjukkan p
di nggak nyaman karena godaan teman-teman?" tanya
erasaan yang sama, aku yakin dia nggak bakal peduli sama apa kata orang lain. Yang penting,
i dalam hatinya, meski masih ada sedikit keraguan. Namun, kali ini ia merasa siap
cari waktu yang lebih tenang untuk memberi cokelat itu pada Mila, tanpa harus memperhatikan apa yang orang lain pikirkan. Ia t
man-temannya menghentikan niatnya. Lagipula, mungkin suatu hari nanti, teman-teman itu akan me
perlahan berubah menjadi tekad, berkat kata-kata Ardi. Ia merasa lebih mantap untuk
t Mila duduk bersama teman-temannya di ujung kelas, tampak asyik bercanda. Fajar mengumpulkan keber
dekat dengan senyum penuh arti. "Eh, Fajar! Gimana, udah kasih cokelatny
, nggak usah ikut campur urusan orang. Kalau aku mau kasih cokelat, ya urus
Faj. Kita cuma penasaran. Lagian, kamu kan nggak biasa ka
terpengaruh. Ia hanya memfokuskan pandangannya pada Mila yang sedang berbicara dengan teman-temannya. Tanpa ragu, i
kelas seakan menghilang. Ia berdiri kikuk, lal
nyum lebar begitu melihat Fajar. "
n cokelat yang sejak tadi ia simpan. Ia menyerahkannya pada Mila, menatapnya dengan ragu tapi pe
biasanya. Ia menerima cokelat itu dengan lembut, lalu menatap Fajar dengan mata berbinar. "Wa
ila. Ia pun tersenyum, merasa lega karena berhasil memb
enang, seolah hanya ada mereka berdua di dalam kelas. Namun, momen itu terhenti ketika Beni
t ke Mila!" seru Beni dengan tawa k
rsorak, wajahnya memerah malu. Fajar juga meras
dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang, "Ya, aku
. Fajar merasa jantungnya berdebar semakin kencang, tetapi kali
yum manis. "Sekali lagi, terima kasih, ya, Fa
nya berbisik-bisik dan mencoba menahan tawa, Fajar tidak lagi peduli. Di saat itu, ia merasa bahagia dan yakin telah mengambil langkah y
ambu