DUA WAJAH DI BALIK CINTA
gannya dengan Melati semakin sulit dipertahankan. Namun, pertemuan mereka malam itu berjalan lebih baik dari yang ia harapkan. Arga berhasil
a meraih jas lain yang biasa ia pakai untuk pertemuan bisnis. Di saku dalam
enda ini, yang biasanya ia lepas setiap kali bertemu dengan Melati. Dengan cepat,
lebih tenang, seolah mencoba mengesampingkan kecurigaannya dari malam sebelumnya. Mereka berb
hendak meraih telepon dari saku jasnya, cincin kawin yang terselip di dalamnya melun
n itu dengan tatapan tajam
n yang masuk akal. Ia meraih cincin itu dengan cepat, lalu tersenyum lemah. "Oh, ini..." Dia tertawa kecil, me
enuhnya percaya dengan penjelasan tersebut. "Cinci
itip ini karena nggak mau cincin ini hilang pas dia p
ada yang tidak beres. Namun, melihat bagaimana Arga tetap tenang dan tersenyum seolah tidak ada masalah, dia me
tnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa penjelasan Arga masuk akal. Tetapi sesuatu y
u, Arga tidak pernah menyebutkan bahwa dirinya sudah menikah, dan Melati juga tidak pernah bertanya lebih lanjut. Selama ini, dia percaya sepe
sional, apapun yang mungkin memberi petunjuk tentang siapa sebenarnya pria yang telah mengisi hatinya. Namun, Arga pan
selama ini mulai terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Arga tahu bahwa menutupi kebohongannya dari Rina s
dengan tulus. Namun, di balik semua itu, ada Melati-wanita yang mampu membuatnya merasa hidup dalam cara yang berb
dak tenang. Bayangan Melati dan pertanyaannya terus membayangi. Ia tahu, Melati bukan wanita yang mudah dibohongi. Suatu saat, k
ai menyeruak di dadanya. Dia tahu dia telah mengkhianati wanita yang selalu ada untuknya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terus mencari Melati. Se
emegang secangkir teh yang sudah lama dingin. Firasatnya tidak bisa lagi ia abaikan. Arga menyembunyi
dan mulai mengetik pesan untuk Arga. Jarinya berhenti
a jujur. Ada sesuatu yang n
l dari akhir, tetapi ia tidak bisa hidup dengan keraguan yang terus menghantuinya. Jika memang Arga punya kehidupan
a-katanya yang singkat namun tegas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan sekadar percakapan biasa.
onsel, tetapi tak membalas pesan itu. Ia membut
sisi, dia merasa tertarik untuk segera menyelesaikan semuanya dengan Melati, agar hidupnya bisa kembali tenang. Di sisi
ari biasanya. Rina, yang peka terhadap perubah
ir ini. Ada masalah di kantor?" Rina bertanya
usaha menyembunyikan kegelisahannya. "Nggak, nggak
di wajahnya. "Kalau kamu butuh istirahat, bilang aja, ya.
tak akan menyelesaikan masalah ini. Kebohongan yang ia ciptakan sudah terlampau d
lalui menuju tempat kerja, ia mengambil keputusan mendadak. Bukannya langsung menuju kantor, Arga memutar s
erasa berat. Ia mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, d
s. "Aku nggak bisa hidup kayak gini. Aku tahu kam
danya. Ini adalah momen yang ia takuti selama ini
-kata terasa sulit keluar. "Ada banyak
nuh pertanyaan, menunggu penjelasan
nian untuk mengakui apa yang selama ini ia
seketika terasa berat. Wajah Melati memucat, dan matanya te
bergetar, penuh dengan luka
pelan. "Aku minta maaf. Aku
a menahan diri untuk tidak menangis di depan Arga
ntaimu, Melati. Aku cuma... aku bingung. Aku terjeba
inya. "Aku nggak peduli, Arga. Kamu menghancurkan kepercayaank
ti mundur, menolak disentuh. "Pergi, Arga.
linganya, menyadarkan bahwa tak peduli seberapa besar ia mencintai k
uar dari apartemen Melati, menyadari bahwa jalan di d
ambu